6. Kakakku?

102 8 35
                                    

Tahu rasanya melewati tirai api kemudian diceburkan ke sungai es? Tidak? Abra dan Celle juga tidak. Tapi, sekarang mereka pernah merasakannya, atau setidaknya yang menyerupai itu.

Seluruh tubuh mereka menjadi sangat panas dalam satu detik, lalu kemudian dihempaskan kepada kedinginan yang mutlak. Embun dan uap mengelilingi mereka sesaat setelah suara denging memekakkan telinga yang mengiringi terperosoknya mereka ke dalam lumpur berhenti. Lalu mereka mencium bau tanah basah, sesuatu yang familier menusuk-nusuk pipi beserta tangan dan bagian tubuh lain yang tidak tertutupi baju.

"Apa-apaan monster lump-"

"Celle!"

Seperti sebuah kawanan burung yang berebut pakan di satu titik, orang-orang yang sedari tadi berlutut menghampiri mereka. Tapi Abra terlalu lelah untuk mengangkat kepala dan menengok siapa. Dia jatuh pingsan (atau mungkin tidur) tanpa menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi. Dia pikir, mereka mungkin sudah keluar dari hutan dan akan kembali ke rumah, tapi bagian lain dirinya menjadi penuh antisipasi saat matanya tak sengaja menangkap kaki telanjang orang-orang itu.

Siapa orang gila yang mau pergi ke hutan di malam hari tanpa alas kaki?! Sepertinya hanya dia dan Celle, dan orang-orang ini. Dia mungkin akan sedikit senang kalau kaki-kaki itu bersepatu boot kokoh seperti milik bapak polisi yang sering dia lihat di penyebrangan jalan ke sekolah.

Meski begitu, semua bagian dari dirinya setuju untuk mengistirahatkan diri lebih dulu sebelum menghadapi dua kemungkinan yang terlintas di otaknya itu. Maka dia tertidur dengan lumayan tenang.

Sementara itu, Celle dan kepala berisi segala konspirasinya berpikir mereka mungkin monster lain sehingga dia bangkit duduk, kemudian melongo saat mendapati wajah-wajah asing di sana. Dia menggaruk tengkuk, lalu mengerang sendiri saat merasakan tekstur lengket dari lumpur. Dia bergidik, mencoba mengusapkan tangannya ke rumput agar lumpurnya hilang. Saat itulah sorakan memenuhi mereka.

"Dewa Cahaya memberkatimu!"

Celle bersyukur itu bukan monster, tapi mereka terus-terusan berseru begitu. Berulang-ulang sampai seorang anak lelaki keriting berompi biru tua membelah kerumunan dan menatap Celle nyalang.

"Celle!"

"Hmm, ya, aku?"

"Sudah kubilang, jangan berkeliaran di hutan!" Bocah keriting itu berkacak pinggang setelah menyerahkan segelas air ke Celle

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Sudah kubilang, jangan berkeliaran di hutan!" Bocah keriting itu berkacak pinggang setelah menyerahkan segelas air ke Celle. Wajahnya merah menyala nampak lebih berapi-api dibanding lentera di sudut ruangan. Mata secoklat madunya melotot, bibirnya lurus, alisnya berkerut. Dia lebih tampak ingin memakan Celle hidup-hidup daripada merawatnya seperti yang diperintahkan.

"Aku ndak, kok," bela Celle sambil melirik cemas ke arah pintu yang semi terbuka di belakang anak cowok itu. Dia duduk di dipan, menekuk lutut, dan menyangga kepala di sana. Tangan kirinya memainkan cuping telinga Abra sementara yang lain memegang gelas, memutarnya sambil bergumam tidak jelas. Rambut basahnya yang habis dikeramas tergerai canggung ke bahu. Bajunya baru diganti, tampak lebih baik dan layak dibawah siraman lentera.

HijauWhere stories live. Discover now