Sinar Bulan

190 7 0
                                    

"Lima menit aja nggak lama ayo cepet!" suara cekikikan Anendra dan teman-teman yang lain mengudara kala akhirnya nasib gue yang malang harus berakhir disini.

"Cepet Jun lama amat. Kan lo sendiri yang minta."

"Gue rekam nih biar jadi kenang-kenangan atau mungkin lo pengen lihat nanti sebagai apresiasi kalau lo bukan orang cemen."

"Mayan bisa buat konten youtube."

"Bentar anjir gue takut." Omel gue akhirnya ketika mereka pada nggak bisa diem.

Sekarang ini gue sedang ada di halaman besar sebuah rumah mewah pada jamannya yang kini dibiarkan kosong, mangkrak, berdebu, kotor dan tentunya berhantu katanya. Rumah ini berdiri kokoh di ujung komplek perumahan Anendra yang mana dekat juga dengan tempat tinggal gue yang masih satu daerah tetapi beda blok saja. Gue tinggal di perum Pahlawan blok 5 sedangkan rumah Anendra ada di blok 4 kota Kediri.

For your information gue dipojokkan disini karena opsi permainan ToD sedang jatuh bergilir digiliran gue. Sialnya gue salah pilih dare daripada truth. Niatnya tadi mau pamer kalau gue tipe orang yang berani mengambil resiko tapi nyatanya malah bikin susah sendiri.

"Cepet malah bengong." mulut Anendra pengen banget gue sumpal pakai kaos kaki.

"Gak asik ah lo kelamaan Jun."

"Iya iya nih gue masuk." sedikit terpaksa akhirnya gue bergerak maju. Melangkah sejengkal ke depan menuju pintu yang terlihat rapuh. Sumpah disana gelap banget gak ada sedikit pun cahaya yang berpendar kecuali dari sorot flash ponsel teman-teman gue.

Pintu tua berderit nyaring menambah bulu kuduk kian berdiri tegak. Gue menelan ludah kepahitan atas ego yang membiarkan gue tetap berdiri disana. Sekali lagi gue toleh teman-teman di belakang, mereka cengar-cengir tanpa dosa padahal dari sini gue sudah bener-bener mau pingsan saking takutnya.

"Ayo ayo." Bibir Dewa bergerak tanpa suara tapi gue masih bisa melihatnya jelas.

Oke gue memantapkan diri sembari mengumpulkan keberanian. Jika tidak segera gue lakukan maka akan terus begini.

Pintu sekali lagi gue dorong. Lorong gelap yang terlihat amat panjang seperti tidak ada ujungnya itu terlihat di depan mata. Entah hanya ilusi optik atau memang karena gelap membuatnya seperti tak berujung. Gue akhirnya masuk.

Drett.. jantung gue sialan!

Kaget gara-gara vibrasi ponsel sendiri nggak lucu banget. Ponsel gue bergetar di kantong celana. Saat gue keluarkan cahayanya langsung menusuk mata. Anjir batin gue mengumpat. Disana sebuah pesan dari Isti muncul sebagai notifikasi chat whatsapp yang bisa langsung gue baca. Isinya sih menyuruh gue buat merekam semua aktivitas yang sedang gue lakukan.

Lagi-lagi demi ego, kegengsian gue menuruti permintaan itu.

Hati-hati gue mulai menjelajah. Rumah ini ada dua lantai. Di lantai pertama yang bisa gue lihat ada dua kamar dan ruang keluarga super longgar. Di tengah-tengah yang menempel pada tembok ruangan itu terdapat tungku perapian seperti kebanyakan yang pernah gue lihat di rumah-rumah bergaya eropa. Selebihnya tidak ada yang menarik. Lantas gue memutuskan untuk explore ke lantai atas.

Anak tangga demi anak tangga gue naiki satu persatu. Suara decit kayu pelapis pijakan anak tangga mengiringi setiap langkah menuju bagian atas rumah ini. Semakin ke atas entah jantung gue kian berdegup kencang padahal sejauh ini masih aman-aman saja. Sesampainya diatas hampir sama dengan lantai bawah. Tidak ada apa-apa. Hanya ruangan yang dibiarkan berantakan dan berdebu. Namun ketika gue ingin menyudahi itu semua, gue tertarik pada satu titik. Mata gue bergerak sendiri menatap sebuah pintu kamar bercat kuning yang masih tertutup rapat. Rasa penasaran tiba-tiba membuncah. Gue tiba-tiba kepo di situasi yang seharusnya tidak terjadi. Sialnya gue menuruti keinginan itu.

Buka nggak, buka nggak!

Pergolakan batin berdebat dengan logika yang terus mengejar rasa keingintahuan mendalam. Gue berdiri tepat di depan pintu itu. Tidak ada perasaan apa-apa selain gue menyadari sesuatu jika suasana malam yang sedang bergulir maju kian hening, sepi senyap padahal waktu itu masih pukul sembilan. Udara mendadak berubah dingin tapi gue acuh akan perubahan aneh tersebut.

Pintu gue buka lebar-lebar lantas pada waktu yang bersamaan kinerja semua organ-organ tubuh gue berhenti mendadak. Mata gue terkunci namun perasaan takut itu tidak muncul.

Tapi gue tidak bisa bergerak! Seperti tersihir.

Disana ada seseorang tengah duduk membelakangi gue. Hanya punggungnya yang terlihat. Dia laki-laki seorang diri menatap keluar jendela besar dengan gorden plastik transparan berkibar-kibar tertiup angin. Gue tidak begitu jelas melihatnya. Semenit gue rasa lalu gue bisa melihat punggungnya bergerak seperti tersentak kaget akan kehadiran gue disana.

Lantas dia menoleh perlahan membuat degup jantung gue kembali bergetar. Bahkan lebih dari yang sebelumnya membuat gue kelimpungan seperti akan kehilangan keseimbangan.

Seperti adegan slow motion, tatapan mata gue yang terus melihat pergerakan dirinya yang memutar penglihatan, bertepatan dengan kejadian itu entah bagaimana kegelapan rumah suram yang dibiarkan teronggok lenyap digantikan dengan cahaya rembulan yang mengisi tiap-tiap sudut ruangan. Disana dengan sadar penuh gue melihat jelas wajah anak laki-laki itu. Kita berdua saling bertatapan kemudian sepersekian detik selanjutnya dia kembali terkejut oleh sesuatu yang gue tidak mengerti.

Tiba-tiba dari arah yang berbeda, dari ruangan bawah ada suara yang memekakkan telinga sampai tanpa sadar kedua tangan gue sudah menutupi telinga mengalihkan fokus antara gue dengannya.

"Suara ketawa!" kata gue dengan kesadaran penuh tetapi tidak sadar bahwa gue sudah kembali bisa bergerak.

Perasaan takut datang menyerbu. Gue langsung lari menuju tangga pontang-panting. Menabrak pinggiran tembok saat akan menuruni tangga membuat gue hampir berguling disana. Gue sudah tidak peduli lagi dengan apa yang barusan terjadi sesampainya kembali di teras depan rumah tempat awal kami berempat berkumpul tadi, ketiga teman gue sudah tidak ada.

"Isti! Dewa! Anendra lo dimana?" Keringat mengucur deras. Sesampainya di luar perasaan takut semakin membabi buta. Entah ada apa dengan diri gue padahal tadi biasa-biasa saja. "Istiii lo dimana? Kalian diamana?"

"Juni!" samar-samar gue dengar suara itu. Suara Dewa.

"Wa gue disini, gue masih disini lo dimana?"

"Jun lo dimana?"

"Disini, gue masih disini!"

"Oh oke oke gue lihat. Diem disana gue kesana sekarang." dari kejauhan gue bisa melihat Dewa dan Anendra berlari menghampiri gue yang gemetaran.

"Ya tuhan Jun lo darimana aja. Puji Tuhan akhirnya lo kembali lagi. Gue takut banget lo ilang." Anendra memeluk gue saat itu juga. Kata-katanya serat dengan kekhawatiran tapi gue tidak tau kenapa mereka jadi seperti itu padahal jelas-jelas tadi ninggalin gue.

Pelukan itu lepas gara-gara gue mendorongnya sedikit, sehalus mungkin. "Tunggu maksudnya?"

Anendra dan Dewa mengerutkan kening, mereka saling berpandangan sebentar. "Lo bercanda atau emang nggak tau atau pura-pura gak tau?"

"Maksudnya?"

Dewa meremas rambutnya sendiri terlihat frustasi. "Kita balik aja dulu nanti gue ceritain."

"Hah kenapa sih, ada apa? Apa yang terjadi?"

"Balik aja dulu." Anendra menarik lengan gue untuk diajaknya pergi dari sana.

Kepergian gue malam itu dari rumah kosong besar yang tidak berpenghuni selama hampir lima puluh tahun membawa awal kisah gue dengannya. Pada malam itu juga dare yang gue lakukan membuat gue merasa sangat senang sekaligus sedih berkepanjangan. Tetapi satu hal yang dapat gue ambil dari semuanya, gue akhirnya tau makna arti dari cinta itu sendiri berkat bertemu dengannya. Sungguh gue berterima kasih atas itu semua.







🎑

Selamat datang di cerita pertama teenfiction saya, semoga kalian suka.

Selamat membaca ♡

ehyulet
15 April 2021

GhostbaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang