Tolong Jangan Pergi

56 4 0
                                    

Apa yang coba lo sampaikan pada gue Sam?

Mobil terus melaju tapi fokus mata gue tetap pada satu objek yang tertinggal di belakang. Gue tidak berhenti melihatnya sampai belokan jalan memisah pandangan rumah tersebut dan mengharuskan gue mengakhirinya. Jauh di dalam hati gue terus bertanya-tanya. Bahkan debaran jantung yang ditimbulkan satu kali lebih cepat dari keadaan normal.

Lima puluh meter selanjutnya mobil papa tanpa gue sadari telah berhenti di pelantaran rumah Pak De. Disana gue masih belum menyadarinya bahwa rumah Pak De gue tidak jauh dari tempat itu.

"Ayo turun." kata mama membuat gue tersadar dari lamunan sesaat. Buru-buru gue membuka pintu setelah melihat keluarga dari Pak De menyambut kita di teras rumah. Mereka tersenyum cerah padahal sebentar lagi matahari tenggelam.

"Dek Rahman." sapa Pak De sembari berjabat tangan dengan papa. Mama menyusul dan mereka semua saling menukar pelukan. Barulah gue setelahnya.

"Juni tambah tinggi rek." Budhe merangkul tanpa malu-malu. Di keluarga Batu, gue sudah dianggap seperti anak sendiri karena sebelum mereka pindah ke rumah ini sebenarnya rumah mereka dulu juga tinggal satu blok dengan rumah gue. Waktu kecil sering banget gue habiskan bermain bersama Gege anak Pak De Budhe yang sepantaran. Tapi setelah pindah dua belas tahun yang lalu jadi tidak bisa sering-sering bermain lagi. Pak De ini berasal dari keluarga mama, dia adalah kakak kedua mama dari empat bersaudara.

Gue kemudian nyengir. Di depan mereka gue tidak perlu jaga image.

"Ayo masuk semuanya."

"Gege dimana Budhe?" tanya gue waktu berjalan memasuki rumah.

"Keluar tadi gak tau kemana nggak pamitan soalnya. Sejak jam dua sampek sekarang gak pulang-pulang." jawabnya menjelaskan. Gue manggut-manggut dan tidak membahas Gege lagi. Sisanya gue cuma meneliti rumah dengan halaman super besar itu tanpa berkedip. Lantas tanpa disangka-sangka, gue familiar dengan ciri khas halaman yang ada disana.

Cepat tanggap gue berbalik badan. "Budhe ini masih area perumahan Mekar Atas?" nama area perumahan elit yang baru saja kita lewati.

Budhe mengerutkan kening sebentar lalu menjawab. "Iya, memang kenapa Jun?"

"Nggak papa." sambar gue cepat lalu buru-buru rasanya gue perlu memastikan sesuatu, "Budhe Juni boleh pinjem sepeda?"

Lagi Budhe tampak kebingungan dengan tingkah gue yang bersemangat tapi sedikit aneh, "Boleh aja tapi sepedanya di belakang."

"Nggak apa-apa biar Juni ambil sendiri."

"Eh tapi--" kata-kata Budhe tidak terselesaikan ketika gue sudah berlari ke belakang rumah untuk mengambil sepeda. Gue memang anak kurang ajar karena tidak sopan gara-gara meninggalkan orang tua yang masih belum selesai bicara. Meski begitu yakin Budhe gue tidak mempermasalahkan itu semua.

Sesampainya di belakang rumah, mata tidak henti-henti mencari objek yang perlu gue gunakan untuk mencapai tujuan. Lima detik mengamati sekitar disanalah gue menemukan sepeda yang gue cari-cari. Kemudian tidak perlu waktu lama, gue mengambilnya dan mengendarai sepeda itu menuju tempat yang membuat penasaran setengah mati.

Sepeda gue kayuh cepat. Hawa dingin sore hari membuat hidung mampet tapi gue tidak peduli. Persetan dengan itu semua, hal penting kali ini adalah rumah itu!

Sepeda yang terkayuh cepat cukup membuat napas memburu. Rasanya seperti sedang berolahraga sore-sore. Tidak bisa dibilang sore juga sih karena jam tangan yang gue kenakan di pergelangan tangan telah menunjukkan angka 17.25 WIB yang mana artinya sebentar lagi adzan magrib. Entah apa yang terpikirkan di kepala, gue si cemen ini nekat pergi ke rumah yang tidak gue ketahui bagaimana latar belakangnya di kala seharusnya gue berdiam diri demi agar terhindar dari hal-hal buruk ketika pergantian pagi ke petang. Mitosnya di jam-jam itu adalah jam "mereka" memulai mengawali kegiatan.

GhostbaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang