Ketahuan

39 3 0
                                    

"Kalian kenapa sih?" Herlin mengernyitkan dahi mendapati dari pagi gue dan Anendra diam-diaman tidak seperti biasanya. Meskipun paginya gue dan dia berangkat bareng tetapi baik gue maupun dirinya tidak melontarkan kata selain iya sama enggak, jadi tidak heran jika Herlin bertanya sebegitu bingungnya.

Gue diam. Tidak menanggapi pertanyaan Herlin begitupun dengan Nendra. Meski duduk kami terpisah, aura kecanggungan yang tercipta diantara kami berdua melebar ke seluruh ruangan hingga orang-orang yang mengenal kami akan merasa aneh jika melihat hal tak biasa ini.

"Jun lo lagi ngambek sama Nendra atau gimana?" Jujur hati ingin menjawab tapi gue tidak enak.

"Nen, Samsudin ngajakin main basket lo ikut nggak?" seruan dari arah pintu kelas. Nendra menengadah karena saat itu bolpinnya yang digunakannya untuk coret-coret di kertas terjatuh.

"Yoi." balasnya seratus sembilan puluh derajat berbeda dari vibenya yang gloomy. Dari situ gue bisa sedikit bernapas lega saat Anendra melipir pergi. Setelahnya Herlin dengan seribu pertanyaan memberondong gue karena rasa keponya belum terjawabkan.

"Lo berdua marahan kan."

Gue menggeleng, "Enggak."

"Nggak mungkin! Biasanya juga haha hihi sekarang enggak, pasti lo lagi berantem."

"Enggak Lin serius." Gue tidak tau harus menjelaskan seperti apa. Rasanya masalah ini hanya perlu untuk diketahui oleh kita berdua.

"Terus kenapa?"

"Entahlah. Complicated."

Herlin menoyor lengan gue, "Yaudah cerita aja sama gue."

"Andai gue bisa cerita."

"Bisa ah, hayuk ada apa? Apa jangan-jangan Nendra nembak lo?" telak gue kemudian terbatuk karena tersedak dengan dugaan tepat yang tidak terduga.

"Pertanyaan lo lama-lama ngelantur!" balas gue sewot dengan nada gemetar akibat gerogi yang gue tahan-tahan agar tidak begitu kentara. Herlin kemudian menyerah karena gue tak kunjung memenuhi rasa ingin tahunya.

Pelajaran jam kedua setelah istirahat dimulai. Kelas berjalan lancar sampai jam terakhir hingga bel sekolah berbunyi. Sejauh itu gue dan Nendra juga belum ada kemajuan. Bahkan hampir tidak pernah berinteraksi selama berada di kelas. Jika dilihat apa yang gue lakukan dengan Anendra saat ini lantas masih berangkat bersama terlihat aneh, itu karena saat gue sakit kemaren, Nendra sudah berjanji jika dia siap berangkat dan pulang sekolah barengan. Nendra hanya berusaha untuk menepati janji meski tengah terjadi hal semacam ini. Gue salut tapi gue juga kasian dan merutuki diri gue sendiri karena sudah membuatnya harus seperti itu.

"Langsung pulang apa mampir dulu?" Akhirnya ada kata terpanjang yang gue dengar. Nendra bertanya saat sudah siap membonceng gue pergi.

"Langsung pulang aja."

"Iya." Suasana kembali seperti semula.

Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan. Rasanya perjalanan yang ditempuh tidak lebih dari dua puluh menit terasa berjam-jam. Begini ya rasanya diam-diaman sama orang yang selama ini bahkan saat sakitpun dia tidak bisa diam untuk tidak cerewet kepada lo. Gue gak tau akan bertahan selama apa. Jujur ini sangat tidak nyaman tetapi gue juga tidak berani untuk menyerukan isi hati. Belum berani karena mungkin entah hati gue atau dirinya masih sensitive jika mendengar kata-kata yang kurang pas. Gue takut jika salah bicara akan merusak apa yang sudah kami lewati berdua sejauh ini.

Nendra pergi. Motornya masih bisa gue pandang sejauh ini. Gue menghela napas panjang. Andai saja, itu yang terlintas. Tapi hanya itu yang dapat gue lakukan.

Pagar depan gue buka, masih terkunci tanda mama dan papa belum pulang. Seperti biasa rumah masih saja sepi. Tapi lagi-lagi gue tidak apa-apa karena sudah terbiasa. Sepatu gue lepas satu-satu. Lalu gue menaruhnya di rak depan. Pintu rumah gue buka dengan kunci ganda yang selalu gue bawa kemana-mana. Genap selesai membuka pintu, hal pertama mata gue ketika melihat isi rumah adalah dengan munculnya sosok Samuel yang berdiri di turunan tangga lantai atas menyambut kedatangan gue dari sekolah.

GhostbaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang