Keringat dingin mengucur deras. Debaran jantung tak beraturan. Kendali diri benar-benar lepas hingga akhirnya gue tak sadarkan diri pada saat itu juga.
"Mama pasti jemput Sam."
Lirih suara lemah menuntun mata gue dari sisi gelap pada area dengan cahaya terang, dari terang itu muncul sesosok remaja berusia tujuh belas tahun sedang sekarat di teras rumah seorang diri. Rumahnya hancur, terbakar api di beberapa sudut bagian. Dia terkapar dengan luka tembak di dada sebelah kanannya. Selain itu, di pelipis terdapat memar keunguan disertai goresan dan bercak darah yang sudah menggumpal.
Ini dimana?
Gue seperti orang bodoh. Berdiri di satu tempat hampa yang luas tanpa bisa bergerak bebas. Tempat abu-abu yang memiliki dinding pembatas. Di depan mata gue, gue bebas melihat kejadian-kejadian apa saja tetapi tubuh gue hanya bisa berdiri tegak, kaku seperti kayu kering tanpa sisa-sisa kehidupan.
Belum genap gue mencerna, tubuh yang tergeletak sekarat kemudian benar-benar sudah tidak bergerak. Di saat itu juga gue melihat jiwanya lepas dari tubuh manusianya. Lantas gue tercengang ketika mengenalinya sebagai Samuel yang gue kenal.
Awalnya jiwa yang keluar tampak sama seperti saat pertama kali dia hidup. Namun kejadian yang diperlihatkan pada gue terus bergerak maju dan berada di titik dimana gue melihatnya marah.
Tampilan Sam berubah. Dia tidak lagi terlihat seperti manusia. Sekujur tubuhnya berubah menjadi kebiruan. Ada rembesan darah di dada tempat peluru bersarang. Bola matanya menjadi hitam dan bercekung dalam. Dia terlihat seperti mumi hidup yang penasaran. Apalagi ketika dia mengamuk, gue melihatnya mengamuk disana. Dengan hati yang bergetar hebat, tanpa sadar gue menitikkan air mata. Seperti bisa merasakan apa yang dirasakannya ketika marah.
"Kenapa kamu ada disini!" suara berat itu menggema di telinga bertepatan dengan genggaman tangan di lengan, gue terjingkat kaget. Gue menoleh menatap pada sosok yang berdiri di samping, Samuel.
Gue ditariknya pergi dari tempat itu. Seperti kilat yang lenyap saat berganti dengan gemuruh petir, gue membuka mata. Hanya langit-langit kamar yang menjadi pemandangan pertama. Gue ada di kamar.
"Juni sayang kamu sudah sadar nak." mama langsung memeluk gue tanpa basa-basi. "Kamu kenapa? Maafin mama perginya lama. Maafin mama." mama menangis khawatir menyalahkan dirinya sendiri padahal gue tidak apa-apa.
"Nggak ma, nggak apa-apa. Juni baik-baik aja." balas gue sembari menepuk-nepuk punggungnya.
"Apa yang terjadi saat mama papa pergi?" sekarang ganti papa yang menanyai.
Gue tidak tau harus berkata apa untuk menjelaskan kenapa sampai pingsan. Kalau gue bilang gue kelelahan pasti mama akan dua kali lipat menyalahkan dirinya sedangkan kalau gue jelaskan karena melihat penampakan sepertinya tidak keren sama sekali. Dan akhirnya sampai akhir pun gue tidak jadi menjelaskannya selain berdalih gue tidak ingat kenapa.
Malamnya, tengah malam tepatnya gue sakit. Demam tinggi. Beberapa kali gue mengigau memanggil nama Samuel. Darimana gue bisa tau jika beberapa kali memanggil namanya adalah dari mama yang bertanya siapa Samuel, apa dia teman sekolah gue atau pacar gue yang gue sembunyikan selama ini. Paginya gue memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Kali ini mama juga tidak pergi ke kantor karena memilih untuk menjaga kondisi gue, beliau takut jika gue kenapa-napa lagi.
"Makan dulu ya?"
Gue menggeleng, "Masih kenyang ma."
"Udah waktunya makan siang."
"Belum, masih jam sebelas."
"Jangan ngeyel mama ambilin sekarang." Begitu katanya. Yah gue tidak bisa apa-apa kalau mama sudah overprotective. Mau bagaimanapun niatnya memang baik, sayang ke anaknya yang cantik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghostbaper
Teen Fiction"Lo itu hantu, hati lo udah lama gak berfungsi tapi kenapa masih bisa baper?"