Perasaan Samuel

38 3 0
                                    

Kelas ramai sekali. Jam istirahat pertama disambung dengan jam kosong setelahnya, gue duduk bengong menghadap depan. Tidak ada siapapun di sebelah gue. Herlin entah kemana sejak bel istirahat berbunyi dia sudah tidak ada. Gue juga tidak tau kapan dirinya menghilang. Setelah kemarin Samuel mengatakan itu, gue jadi banyak melamun. Memikirkan perkataannya soal apa iya gue suka kepadanya? apa iya gue ini sudah tidak waras? padahal jelas manusia di muka bumi masih banyak yang jomblo terus kenapa gue malah memilihnya? ditambah lagi apa gue ini sudah buta jelas-jelas ada sosok manusia menganggur hatinya yang selalu mengintili gue kemana-mana tapi malah gue saltingnya sama dia? Apakah Anendra kurang, apakah sosoknya tidak perhatian, apakah dia tidak ganteng sampai gue meletoynya ke sosok setan yang menghantui hidup gue sejak permainan T or D waktu itu? gue ini sudah gila apa gimana!

Ngomong-ngomong soal Anendra, tadi pagi gue tidak berangkat ke sekolah bersamanya. Dia tidak menjemput gue. Entah karena apa yang pasti sepertinya dia sudah mulai malas berhadapan dengan gue yang aneh ini. Buktinya sekarang Anendra selalu menghindari keberadaan gue dimanapun itu, baik di lapangan, di koridor, di kantin, bahkan sampai di kelas. Anendra memilih sampai tukar tempat duduk. Dia jauh di pojok bertukar kursi milik Tio. Rasanya gue jadi merasa bersalah timbang merasa tidak nyaman. Apakah pertemanan kami akan berakhir seperti ini gara-gara tidak menyelesaikan masalah perasaan masing-masing. Gue rasanya kepingin nangis jika meresapi permasalahan diantara kami berdua.

"Ssttt," bunyi desis itu di dekat telinga. Gue yang masih melamun langsung terlonjak kaget. Celingak-celinguk, tidak ada siapapun. Mungkin salah dengar. "Juni." langsung reflek gue berteriak. Semua anak yang ada di dalam kelas menoleh, memandang ke arah gue dengan kebingungan.

"Kenapa Jun?" Arisa teman bangku paling depan bertanya.

"Hah nggak, nggak apa-apa. Gue ngelindur, hehe." alasan yang gue berikan mengasal. Dia kembali ke aktivitasnya awal. Sekeliling gue lihat, masih tidak ada siapapun dan teman-teman gue mulai tidak peduli lagi sampai pandangan mata berhenti di satu titik, di kursi sebelah gue yang mana itu adalah kursi Herlin. Samuel duduk disana menghadap depan.

"Halo Juni."

Gue langsung mendelik, sekali lagi meniti sekitar untuk mencari aman. "Ngapain lo disini?" tanya gue pelan berusaha untuk tidak sampai terdengar oleh siapapun.

"Nengokin kamu. Padahal baru empat jam tapi saya sudah rindu. Boleh ya duduk disini sambil nunggu kamu pulang." Samuel merubah posisi, menyelonjorkan setengah badannya diatas meja sambil mengarahkan pandangan matanya ke arah gue. Ditatap begitu gue jadi merinding, bukan merinding karena takut tetapi geli. Bulu roman yang meremang disekujur tubuh. Lagi-lagi gue salting!

"Nggak. Nggak boleh." Gue menggeleng, mencoba menyadarkan diri. "Pulang sana gue nggak mau lo disini. Nggak aman."

"Awh Juni perhatian. Jadi makin suka." dia memasang wajah imut. Sejak kapan Samuel jadi bertingkah seperti ini, siapa yang mengajarinya? Sungguh gue tidak tahan! 

"Sam pulang sekarang."

"Nggak mau Juni saya mau disini."

"Pulang nggak!"

"Enggak." Dari posisi selonjoran Samuel langsung berganti menyenderkan kepalanya di bahu gue. Seketika gue diam membatu. Semua tingkahnya sangat berbeda dari yang selama ini dia tunjukkan. Dia benar-benar tidak seperti Samuel yang gue kenal. "Jun saya juga suka sama kamu. Entah sejak kapan tapi rasanya saya bisa menghilang dari dunia ini jika kamu bersama dengan orang lain." katanya di senderan bahu gue. Suaranya berganti sendu. Samuel mengatakannya dengan serius karena gue bisa merasakan itu. Gue tidak bisa melakukan apa-apa selain mendengarnya. Hati gue meleleh, tidak bisa menolak untuk bilang tidak mau tapi juga tidak bisa mengatakan iya. Tetapi jauh di lubuk hati, Samuel sudah mencurinya setengah dibuktikan dengan gue menerima semua yang dia lakukan dan dia katakan kepada gue. Logika sudah benar-benar kalah.

GhostbaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang