Hadiah

36 4 0
                                    

"Duluan Jun."

"Iya, hati-hati Lin." gue melambaikan tangan sembari mengantarnya dengan pandangan sampai gadis itu hilang tertutup oleh pintu mobil ayahnya.

Senyum gue memudar digantikan oleh lenguhan kecil ketika teringat Nendra yang benar-benar tidak masuk sekolah. Apa harus gue samperin dia ke rumahnya? Bisa gue pikirkan nanti setelah sampai di rumah. Toh rumah Nendra dengan rumah gue tidak jauh.

Motor gue kendarai. Di tengah perjalanan gue merasakan jok belakang bertambah berat lantas gue tengok dari sepion kaca. Samuel. Dia duduk manis sembari melihat sisi kirinya. Samuel gue biarkan seperti itu sampai tiba di pelantaran rumah.

Gerbang masih terkunci. Gue harus membukanya sendiri karena memang mama papa belum pulang dari kantornya. Seusai terbuka, gue masuk dan menguncinya kembali.

"Hari ini cukup seru." celutuk Samuel yang mengekori gue dari belakang. Seru apanya, batin gue membalas ucapan tersebut. "Iya seru aja Juni. Saya bisa ikut belajar. Rasanya sudah lama sekali tidak melakukan itu."

Gue mendelik. Oiya Samuel itu bukan lagi manusia! Kapan aja bisa baca isi kepala. "Iya iya seru." gue meringis.

"Sepertinya kamu tidak senang."

"Nggak." balas asal sembari mencopoti sepatu di teras rumah.

"Apa karena Anendra tidak masuk hari ini?"

Sekali lagi gue mendelik dibuatnya, "Nggak, ngadi-ngadi."

"Tapi ada sesuatu yang membuatmu tidak senang."

Gue menghentikan pergerakan. Apa iya? Tapi apa? Lantas gue memandang Samuel "Enggak kok. Kan ada lo disini." perkataan yang terlontar begitu saja murni tanpa gue rencanakan. Entah kata-kata itu terbentuk dengan sendirinya. Dan sekarang gue melihat Samuel yang berganti menghentikan pergerakan.

"Boleh berikan tanganmu sebentar?" pintanya.

"Kenapa? Mau ngeramal? Kamu bukan Dilan."

"Sudah berikan saja." katanya. Lantas tangan gue digenggamnya. Di luar dugaan, Samuel bisa menyentuhnya meskipun matahari masih bersinar terang. Tangan itu begitu dingin menyentuh kulit. Samuel seperti mencoba membaca apa yang tengah gue rasakan. Disana ada remasan kecil seakan-akan dia berusaha menyampaikan kembali sebuah makna yang tidak bisa dia sampaikan melalui kata-kata. Suasana menjadi hening karena terlalu menyelami apa yang tengah terjadi, "Terima kasih Juni."

Mendengar itu, ekspresi gue langsung berubah. "Untuk apa?" alih-alih menjawab pertanyaan, dia hanya tersenyum membuat gue bertambah bingung. Samuel benar-benar seperti teka-teki yang sulit gue pecahkan.

Obrolan berhenti sampai disana. Selebihnya hanya gue yang sibuk membersihkan diri seusai pulang dari sekolah. Setengah jam kemudian gue rebahan di tempat tidur sambil bengong menghadap langit-langit.

"Tidak jadi pergi bertemu Anendra?"

"Entahlah." jawaban otomatis sambil masih berbaring menghadap langit-langit. Kebiasaan Samuel yang muncul tiba-tiba sudah menjadi biasa bagi diri gue.

"Pergilah. Barangkali memang dia perlu kehadiranmu."

"Kenapa lo berpikir begitu."

"Entahlah." gue langsung menoleh mendengar jawabannya.

"Jangan ikut-ikut!" balasan yang gue berikan dengan sedikit sewot. Samuel mengangkat kedua bahunya tanpa menjawab lagi. Lantas setelah gue pikir-pikir sepertinya memang lebih baik jika gue benar-benar menemui Anendra. Demi persahabatan. Mungkin. Tapi kalau boleh jujur memang sebagian besar hati gue sedikit banyak menghawatirkan keadaannya yang menghilang tiba-tiba tanpa kabar. Anendra bukan tipe orang yang seperti itu jadi gue menyimpulkan bahwa kehadiran gue memang diperlukan seperti apa yang dikatakannya.

Pukul empat sore gue pergi ke rumah Anendra. Dari rumah ke rumahnya, sepeda menjadi pilihan karena rumah Nendra memang dekat. Selama di perjalanan, gue memikirkan apa saja nanti yang harus gue katakan dan tanyakan kepadanya. Karena setelah belajar bareng malam itu rasanya agak sedikit canggung jika harus berdua saja.

Tidak sampai memakan waktu sepuluh menit untuk tiba di rumah berdominan dengan cat warna biru muda milik orang tua Anendra. Rumahnya tampak sepi tapi gerbangnya terbuka jadi gue langsung masuk tanpa permisi. Lagian sudah biasa juga.

Sepeda gue parkirkan di dekat pintu garasi. Pintu diketuk sebanyak dua kali tapi tidak ada yang datang menemui. Sekali lagi pintu gue ketuk dan akhirnya dari balik lemari besar ruang tamu Anendra datang dengan rambut acak-acakan, baju sekenanya, mata sayu, dan wajah pucat seperti mayat hidup.

"Iya bentar." Kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar lemah dan pelan. Gue tidak tega melihatnya. Anendra belum sadar jika yang menjadi tamunya adalah gue.

"Lo sakit?" pertanyaan yang langsung terucap.

Anendra tersadar. Dia sempat terkejut sampai berhenti tiga langkah dari depan pintu. "Juni."

"Lo sakit?" ulang gue sambil mendekat tapi dia malah mundur ke belakang.

"Ngapain kesini?"

"Jangan bilang lo sakit tapi di rumah sendirian."

"Nggak."

"Kenapa nggak ngabarin. Kalau gini kan gue bisa nemenin dari pagi."

"Jun.."

"Jangan protes lo diem aja sambil duduk." Gue menyeret Anendra ke sofa tanpa memperdulikan setiap kata yang dia ucapkan. Lalu keningnya gue pegang, panas. Suhu badannya naik. Pantas dia lemas. "Udah makan?"

Anendra mengangguk tapi ragu-ragu.

"Dasar tukang bohong. Sana rebahan. Gue bikinin bubur dulu tapi gak janji hasilnya enak. Palingan kalau nggak asin ya pahit. Yang penting gak bikin lo sampai keracunan." Nendra meringis pasrah, dia hanya bisa menuruti setiap perintah yang gue berikan. Kali ini kecanggungan yang gue perkirakan akan terjadi diantara kita berdua sirna. Rasa belas kasih yang tercipta jauh lebih besar daripada kecanggungan yang membuat jarak tipis.

Kemudian setelah berucap begitu, kulkas Anendra gue buka lebar-lebar. Mencoba mencari-cari bahan yang bisa gue masak. Sesekali googling di internet karena gue tidak tau bagaimana cara memasak bubur yang baik dan benar. Usai memilah-milah dan cocok, panduan di blog memasak gue ikuti sesuai prosedur. Lima belas menit kemudian berhasil. Bubur sederhana dengan bahan seadanya matang. Rasanya sih tidak begitu mengecewakan meskipun tampilannya mengerikan.

"Dihabisin."

Nendra mengernyitkan dahi, "Perasaan gue gak enak."

"Nggak gue racun Nendra."

"Jadi gak nafsu makan."

"Jahat banget."

"Bercanda jangan ngambek. Apapun yang lo bikin pasti gue makan." ujarnya membuat gue mesem-mesem.

Nendra menyendok bubur itu lalu berhenti setelah menelan suapan pertama. Lagi dia menyendok dan berhenti setelah menelannya.

"Nggak enak--" ucapnya memelas, "--enaknya disuapin kamu." dia tertawa kecil sedang gue mencerna baru kemudian tertawa.

"Anjir sa ae lo bambank." reflex tangan gue ini memukul-mukul lengannya. Lupa kalau dia sedang dalam kondisi kurang sehat.

"Aduh! aduh! sakit Jun. Orang sakit malah digebukin."

"Oiya lupa." gue masih tertawa.

Nendra diam sejenak sembari memakan buburnya. Suasana hening. "Gue seneng banget hari ini." disana gue mulai menyimak tanpa berkomentar karena memang tidak ada yang perlu dikomentari. "Meski sakit tapi gue bersyukur sama Tuhan."

Gue masih tidak berkata-kata.

"Mau sakit sampek kapan pun enggak apa-apa asal gue seseneng ini. Kedatangan lo kesini bagai hadiah dari Tuhan, makasih ya Juni Pratiwi. Semoga setelah ini lo bisa menerima apa yang ingin gue berikan tanpa mencoba menolaknya paksa." tutupnya yang kemudian membuat gue susah menelan saliva sendiri.

.
.
.
.

Up! Selamat membaca 👻🌻

GhostbaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang