"Juni jawab jujur!"
Anendra menampilkan wajah serius yang tidak bisa ditawar. Gue menelan ludah dengan susah payah. Tidak ada cara untuk mengelak soal pertanyaan itu. Semua ini gara-gara Samudra. Kenapa pula dia senang sekali mengusik kehidupan orang yang damai seperti milik gue ini.
"Kita masuk rumah dulu." jawab gue berharap-harap cemas.
Nendra menurut. Kita masuk rumah dan dia memilih duduk di sofa depan. Duduk dengan raut wajah yang sulit gue artikan antara cemas atau sedang marah yang dibalut rasa takut jika gue akan kenapa-napa. Kejadian itu sudah lama terjadi tapi suasana runyam yang ada di sekitaran Nendra masih kentara. Dia benar-benar takut jika hal tersebut menimpa gue lagi karena selama ini telah baik-baik saja dan gue tanpa sepengetahuannya berbuat lancang mendatangi mara bahaya.
Segelas air putih dingin gue berikan kepada Nendra untuk dia minum. Gue ikut duduk di sofa sembari menata kata-kata yang tepat untuk dikatakan. Meski tidak bisa mengelak setidaknya gue bisa mengatakannya dengan pilihan kata yang baik agar dia tidak terlalu cemas memikirkan gue yang telah bersinggungan dengan dunia lain selain dunia manusia.
"Maaf."
"Kenapa lo bilang maaf--" ekspresi cemas yang terkubur perlahan muncul lagi tepat saat gue mengatakan maaf, "--Juni lo beneran melakukan sesuatu yang dikatakan sama orang tadi?"
Gue menghela napas, Anendra keburu panik dan takut jika gue melakukan hal berbahaya diluar ekspektasinya. Omongan Samudra sudah mencemari otaknya sehingga dia percaya sekalipun tidak semuanya salah, "Dengerin dulu."
"Jangan macem-macem Juni serius ini itu bukan hal yang bisa dilakukan sembarang orang. Lo nggak ada bakat lahir buat berinteraksi dengan mereka. Lo bukan indigo yang bisa mengontrol atau bisa tau tata cara agar lepas dengan sendirinya. Hal-hal begini tidak sesederhana yang terlihat di akun youtube orang-orang."
"Gue tau Nendra makanya dengerin dulu gue mau ngomong!" Nendra terdiam mendengar ucapan tadi. Helaan napas panjang keluar sebagai tanda bahwa gue sebenarnya bingung mau menjelaskannya darimana, "Iya." malah satu kata tersebut yang keluar.
"Iya apa?"
"Itu jawaban gue buat menjawab jujur soal kekhawatiran yang lo rasakan."
"Juni?" mata Nendra membulat. Dia kehilangan kata-kata sampai berdiri dari posisi duduk.
"Tapi tidak seburuk yang lo bayangin Nendra!" kalimat yang keluar dari mulut gue tekankan bahwa apa yang ada di pikiran orang-orang tidak semuanya benar, "Buktinya gue sampai sekarang baik-baik saja. Dia malah menjaga gue selama ini. Lo ingat waktu kesurupan masal di sekolah? dia Nendra, dia yang ngelindungin gue. Satu lagi, pas ketika gue jatuh dari motor dan koma, dia juga berusaha melindungi gue tapi sayangnya takdir berkata lain. Ada batasan yang nggak bisa dia lewati sehingga gue harus masuk rumah sakit. Yang gue katakan tidak semuanya, hanya beberapa contoh kasus yang dia lakukan jadi lo jangan berpikir aneh-aneh soal apa yang telah gue lalui."
Anendra tidak menjawab, dia terlalu syok karena ternyata gue sudah sejauh itu bahkan rela membela dia yang belum diketahui siapa maksudnya, "Juni, lo--" Nendra jatuh terduduk di sofa kembali.
"Jangan khawatir gue gak kenapa-napa Nendra. Lo lihat kan gue baik-baik aja selama ini." gue mencoba menenangkan dirinya. "Minum dulu biar lo bisa berpikir jernih soal apa yang sedang kita bicarakan."
Minuman yang telah gue sediakan untuknya Nendra minum sampai habis. Ekspresi wajahnya masih sulit dijelaskan. Baru kali ini gue melihatnya sampai seperti itu. Entah apakah karena dia merasa telah gagal mengemban tanggung jawab yang dia katakan sendiri soal menjaga gue atau karena dia tidak percaya dengan apa yang gue lakukan tanpa sepengetahuannya. Setelah beberapa lama kita terdiam, Nendra menyenderkan punggungnya di sofa lalu memejamkan mata sembari wajahnya menghadap langit-langit.
"Kenapa lo nggak ngomong apa-apa soal ini sama gue." katanya. Dia masih dengan posisi yang sama.
"Kalau gue ngomong lo mau apa?"
Nendra merubah posisi untuk melihat langsung ke arah gue, "Juni gue tau lo bisa jaga diri tapi gue juga tau kalau lo sering salah ambil langkah. Kadang lo terlalu berani sampai lupa kalau nggak semua keberanian itu baik untuk kondisi saat itu atau kedepannya." dia mendekat, "Gue nggak tau apa yang akan gue lakukan saat itu jika lo kasih tau tapi setidaknya gue akan siap jika lo kenapa-napa. Gue bisa jaga lo kalau lo perlu atau kita bisa cari solusi bareng misal lo kesulitan untuk cari jalan keluar soal masalah ini. Tapi kalau boleh gue minta lo sudahi apa yang lo lakukan, bisa?"
Gue tertawa kecil, lebih ke menertawakan diri gue sendiri mungkin, "Udah lama Nend, gue udah gak berurusan lagi. Dia udah gak ada." entah rasanya gue seperti sedih saat mengatakan bahwa dia sudah tidak ada.
"Dia itu siapa? kenapa sejak tadi lo selalu bilang soal dia?"
"Samuel."
Nama yang gue sebut membuat hati gue bergetar. Sudah lama sekali nama itu tidak gue ucapkan langsung apalagi di depan orang lain. "Siapa Samuel?"
"Dia yang gue ceritakan."
"Ceritain detailnya sekarang." pintanya.
Darisana gue memulai menceritakan detailnya dari awal sampai akhir. Bagaiaman pertemuan itu terjadi, kedekatan, sampai hal-hal kecil yang sudah kami berdua lewati. Tentang kejadian-kejadian yang diluar nalar soal dirinya atau apapun yang menimpa gue saat kami masih bersama. Gue juga menceritakan latar belakang Samuel yang gue ketahui secara berkala selama mengenal dirinya. Hingga pada cerita mengenai dia yang mengungkapkan perasaannya terhadap gue. Nendra mendengarkan semuanya dengan seksama.
"Samuel suka sama lo?"
"Seperti yang gue ceritakan, itu yang gue dengar dari dirinya sendiri."
Selesai. Semuanya telah terbongkar. Jalinan pertemanan atau entah apa yang bisa dideskripsikan dari hubungan gue dengan Samuel, semuanya sudah terbongkar. Samudra benar-benar membuka jalan untuk membongkar segalanya kepada Anendra. Dan Nendra adalah satu-satunya orang yang saat ini mengetahuinya, mungkin karena gue tidak tau lagi siapa orang lain yang lebih tau dari dirinya mengenai siapa Samuel dan ada hubungan apa gue dengannya. Gue tidak tau harus marah kepada Samudra atau malah berterima kasih karena gue tidak perlu menyembunyikannya lagi.
"Terus lo gimana?"
Pertanyaan itu membuat gue mengalihkan pandangan mata darinya, "Nggak tau."
"Sepertinya lo juga udah mulai suka sama dia." ucapnya. Tepat kalimat itu selesai diucapkan gue langsung menoleh.
"Kenapa lo bisa bilang kayak gitu."
"Terlihat jelas di wajah dan cara lo menjawabnya Jun. Lo bahkan ragu untuk mengucapkan tidak dengan tegas. Berarti tandanya lo tanpa sadar juga suka sama dia. Perasaannya berbalas." jelas Nendra menyadarkan diri gue bahwa baik perkataan Samuel dan dirinya sama-sama membuat gue untuk bisa menyadarinya. Hanya saja bedanya, Samuel ingin gue sadar tentang perasaan gue kepada Nendra, akan tetapi Nendra sebaliknya, "Jun bahkan lo gak segininya sama gue."
"Gue nggak tau." kedua telapak tangan gue tutup ke muka. Apa iya, pertanyaan itu terus berputar di kepala. Kenapa perihal perasaan gue selalu rumit dalam mengatasinya? Tidak Anendra tidak juga Samuel. Bahkan untuk hal yang seharusnya mudah gue putuskan juga tidak bisa segampang itu. Samuel seharusnya menjadi kandidat pertama yang menerima ketegasan dalam menolak perasaan yang ada di dalam hati gue ini, karena dia bukan manusia, sudah jelas!
"Juni--"
"Sebentar, boleh gue sendirian sebentar? Gue pusing."
Nendra tidak menyelesaikan kata-katanya, dia menurut, "Oke. Yaudah gue balik dulu. Semoga lo gak selamanya begini. Gue akan menunggu sampai lo gak bingung lagi." entah ucapannya terdengar menenangkan di hati. Dia tidak menghakimi atau menuntut. Meski dirinya meminta ketegasan soal keputusan yang akan gue ambil mengenai permasalahan yang terjadi dan rumit ini, Nendra masih memberikan waktu untuk gue berpikir dengan tenang. Agar gue tidak salah ambil jalan.
Meski sebenarnya pun gue tidak tau jalan apa yang harus gue tempuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghostbaper
Teen Fiction"Lo itu hantu, hati lo udah lama gak berfungsi tapi kenapa masih bisa baper?"