Bukan Solusi

26 3 0
                                    

Minggu pagi. Pagi-pagi sekali. Udara dingin, kabut tipis turun. Semalam hujan sangat deras, bergemuruh petir dan sedikit berangin. Gue tidak suka kondisi tadi malam yang mencekam karena badai tapi suasana pagi ini sangat menenangkan. Seperti kata orang-orang, setelah badai berlalu pasti akan ada kebahagiaan. Mungkin kebahagiaan yang dimaksudkan adalah ini.

Pagi itu gue duduk melamun di balkon kamar, bengong menatapi kabut yang membasahi dedaunan pohon rumah bu Amri. Meski dingin gue tidak peduli karena gue suka suasana tenang yang damai sembari menatapi semua pepohonan hijau yang basah. Bau tanah masih kentara padahal hujan telah berhenti subuh tadi.

Di sela lamunan yang tidak gue sadari, di balik kaca jendela lantai atas yang bersebrangan dengan balkon kamar, sekelebat gue menangkap pergerakan dari dalam sana, awalnya gue tidak notice tapi lama-kelamaan gue merasa ada seseorang yang terang-terangan memandangi dari arah kejauhan. Setelah gue tengok ternyata Samudra tengah berdiri tegak menatap ke arah gue sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Batin gue, kenapa dia berlagak sok kenal sampai berani terang-terangan menatap bahkan saat gue tau dia tidak berhenti mengalihkan pandangannya. Lama-kelamaan dia makin aneh jika dipikirkan.

Sialnya setelah itu, pada pukul sembilan pagi, gue malah disuruh mama untuk memberikan kue pukis ke rumah bu Amri. Ceritanya mama pamer karena berhasil membuat kue pukis itu tanpa gosong atau dengan rasa yang kurang pas. Mama berhasil membuat rasanya sesuai dengan resep yang dicontoh dari buku. Percobaan pertama yang sukses harus dibanggakan kepada orang-orang karena itu adalah pencapaian langka untuk orang-orang yang tidak terlahir di bakat memasak.

Gue tidak bisa apa-apa selain menurut dengan setengah hati.

Pintu rumah bu Amri gue ketuk. Sembari menunggu gue berdoa semoga mereka tidak mempersilahkan gue masuk. Cukup dengan memberikan kue itu lalu gue akan pamit. Tapi semesta memang suka mempermainkan diri gue, semua hal yang gue doakan tidak terwujud karena ya bu Amri kekeh meminta gue untuk main sebentar di rumahnya. Di dalam batin gue menangis karena gue merasa dihianati oleh doa gue sendiri.

"Ini beneran mama kamu yang bikin sendiri? Wah wah tante sampe kaget. Enak bangeeett dek Juni, nanti boleh lah pesen biar tante bawa ke tempat arisan." katanya. Gue cuma meringis-meringis canggung. Sukses besar mama pamer ke bu Amri. Kalau dengar sendiri bu Amri bilang begini bisa jadi selama sebulan penuh mama bakal bikin kue pukis terus.

"Makan apa?" suara berat tiba-tiba terdengar dari belakang. Gue langsung ngeh itu suara siapa. Seketika gue mengumpat di dalam hati. Kenapa pula orang yang tidak ingin gue temui malah datang sendiri.

"Kue pukis, kamu mau?"

"Mama beli?"

"Enggak, ini tadi di kasih mamanya dek Juni. Cobain enak. Mama nggak bohong." Samudra berjalan mendekat. Dia sempat melirik ke arah gue sebelum mengambil kue pukisnya.

Samudra mengangguk-angguk, dia tidak bicara saat memakan kuenya. Ekspresinya juga tidak aneh karena mungkin memang kue pukis mama enak jadi dia tidak perlu berbohong untuk menunjukkan bahwa kue pukis itu enak dalam artian lain.

Di sela-sela mereka tengah asik memakan kue pukis sedang gue hanya melihatnya, pintu rumah bu Amri terdengar ada yang mengetuk. Buru-buru beliau berdiri dari kursi duduk dan menuju ke arah depan meninggalkan gue bersama Samudra sendirian. Sempurna sekali kesialan yang terjadi hari ini. Gue seperti mengumpankan diri ke kandang harimau secara suka rela.

Tidak ada pembicaraan sampai Samudra memakan dua potong kue. Bu Amri sendiri entah kenapa tidak kunjung kembali. Gue jadi canggung setengah mati.

"Santai aja gue gak gigit."

Gue tersentak, mungkin tanpa sadar gue melamun. Samudra membuat gue kaget. Akhirnya dia mengajak berbicara duluan tapi karena gue tidak terlalu suka dengannya, ucapan itu hanya gue respon dengan ringisan tidak peduli.

GhostbaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang