"Kakak nangis?"Kana menunduk, menyeka pipi dengan punggung tangan. Hanya dengan melihat wajah Mama di layar ponsel, desakan untuk menangis datang begitu saja. Dia ingin pulang dan mengadu ke Mama. Belakangan hari-harinya terasa berat sekali.
"Mama berangkat ke sana siang ini. Kangen sama Mama ya?"
Lala menatap prihatin. Hanya ada dirinya di ruangan ini yang menemani Kana. Dia pun tahu tangis Kana bukanlah semata bentuk rindu, tapi lebih karena tidak tahu cara memberitahukan mamanya tentang Allisya. Seperti halnya Kana, kabar itu pasti akan mengejutkan untuk keluarganya.
Setelah beberapa kalimat Mama dan Kana hanya sanggup mengangguki tanpa banyak bicara, sambungan videocall itu selesai. Lala mendekat. Mengambil alih ponsel Kana untuk diletakkan di meja samping ranjang. Lala kemudian duduk di tepian. "Gue tahu berat buat ngasih tahu ke keluarga lo. Tapi paling nggak lo mulai dulu dengan Satya. Jangan sampai dia dengar dari orang lain."
"Gue nggak ada niat bohongin Satya atau bahkan keluarga, La. Sampai detik ini gue bahkan masih nggak percaya." Menggeleng. "Gue cuma belum nemu waktu yang tepat buat ngomong." Karena bagi Kana, percakapannya dengan Satya semalam adalah momen indah yang tidak ingin dia rusak.
Menepuk-nepuk tangan Kana yang tidak terpasang selang infus, Lala tersenyum. "Boleh gue tanya soal ponakan gue? Lo kemarin jadi ketemu?"
Pikiran Kana sedikit teralihkan. Yang tadinya mendung karena sempat menangis, kini menyungging senyum. Lala ikutan antusias.
"Dia cantik banget, La. Lebih cantik dari gue pas masih remaja." Menyentuh lengannya sendiri. "Tingginya kira-kira segini. Rambutnya panjang sepunggung."
"Terus, terus apa lagi?"
"Suaranya gemes. Nggak cempreng, agak serak basah."
"Terus?" Lala tanpa sadar meremas jemari Kana, ingin dengar lebih banyak. "Kalian sempat bicara? Ngobrolin apa aja?"
Senyum langsung sirna dari wajah Kana. Lala awalnya menatap heran, tapi kemudian paham. Rupanya di sana letak tidak beresnya. Tentu saja pertemuan itu tidak berjalan lancar. Mengingat kemarin Kana pulang ke apartemennya dalam keadaan kuyup, ditambah pingsan di parkiran. Lala seharusnya tidak tanya ini sejak awal. Tapi wajah berbinar Kana tidak bisa bohong kalau Kana bahagia bertemu dengan putrinya.
"Sori." Lala menyingkirkan tangannya dari Kana.
"Kapan-kapan kita ketemu dia sama-sama ya."
Lala menoleh cepat. "Lo mau nyusulin ke Bali?"
Kana mengangguk. "Cepat atau lambat, iya."
"Satya gimana?"
"Gue perginya bakal seizin dia."
"Kalau dia nggak kasih izin?"
Kana terdiam cukup lama. "Gue ngomong apa sih. Izin dari Satya? Iya kalau gue masih jadi istrinya."
"Jangan gitu dong, Na!"
"Ya realistis aja, Lala. Fakta gue punya anak bakal nyakitin dia."
Lala berdiri dari ranjang, menggamit kedua lengan Kana, menatap lurus-lurus. "Kenapa lo berpikir sedangkal itu? Satya nggak akan begitu, Na."
Terdengar pasrah. "Satya juga cuma manusia biasa, Lala. Berhenti menganggap dia malaikat yang bakal menerima gue secara utuh."
Pintu berkerit. Lala melepas lengan Kana dan mundur dari ranjang.
Kana menelengkan sedikit kepalanya agar bisa melihat ke pintu. Satya sudah kembali. Tadi pamit ada urusan sebentar. Ternyata suaminya kembali lebih cepat dari yang dia duga.
KAMU SEDANG MEMBACA
restart: we're in trouble ✓
Romance[dark romance] Tidak mudah menjalani dua tahun pernikahan milik Satya dan Kana yang pelik. Restu dari mama mertua, cinta platonik yang menghantui Satya, hingga tiba di bagian masa lalu milik Kana yang nyaris terlupakan. Dua tahun milik mereka, apak...