Chapter 31

9.3K 1.6K 133
                                    


Reza tidak bisa fokus sejak satu jam sebelum mereka naik pesawat. Satya membeberkan fakta yang membuatnya tercengang. Saking terkejutnya, dia tidak bisa bereaksi apa-apa selain mencerna apa yang dikatakan Satya. Masalah ini jauh lebih besar dari masalah yang mereka ributkan kemarin-kemarin, bahkan urusan Rayya tidak ada apa-apanya.

Hal yang kemudian membuat Reza mendadak frustrasi adalah membayangkan bagaimana nasib rumah tangga Satya. Apalagi, tentu saja, Satya akan banyak diam seperti sekarang. Tersenyum hanya saat ada fans yang menyapa dan minta foto. Selebihnya, Satya kembali termenung. Seolah semua masalah cukup dipendam dan dibiarkan terlupakan sendiri. Atau Reza salah? Tidak ada yang tahu perang batin seperti apa yang sedang dialami Satya.

Namun, dia tahu maksud Satya bercerita padanya. Satya ingin dimengerti dan diberi sedikit permakluman. Sehingga Reza tidak akan bingung dengan perubahan sikap Satya. Seperti sekarang, Reza duduk tenang dan tidak berani mengusik Satya. Memberi waktu Satya untuk menenangkan diri. Kalau saja Satya bicara ini sejak kemarin-kemarin, mungkin dia bisa memundurkan jadwal ke Malaysia. Kondisi mental Satya lebih penting.

Namun, entah karena sudah terbiasa atau bagaimana, selepas pesawat mendarat di Bandara KLIA, Satya melepas atribut sedihnya. Tanpa diingatkan Reza, dia mengerti kalau akan disambut fans di bandara. Kabar jika dirinya akan bertandang ke Malaysia sudah terdengar sejak minggu lalu. Fans memang tidak berjubel, tapi mereka mengiringi langkah Satya dari pintu kedatangan hingga ke halaman bandara. Satya berhenti sebentar, menerima uluran buku, membubuhkan tandatangan. Memasang senyum terbaik saat dengan tertib para fans bergiliran berfoto dengan Satya.

Hal seperti ini memang tidak bisa menghapus kesedihan yang dirasakan Satya, tapi cukup untuk mengalihkan sesaat. Sejenak dia bisa lupa dengan kosong yang menggerogoti hati.

Di hadapannya, ada begitu banyak ekspresi bahagia. Senyum lebar, jerit gemas, bahkan tangis haru. Hati Satya menghangat. Dia masih ingin lama di sana, mengobrol sebentar, tapi mobil yang menjemput mereka sudah tiba. Satya tersenyum, berpamitan meninggalkan kerumunan para fans. Saat mobil akan melaju, Satya membuka separuh jendela, melambaikan tangan.

"Merasa lebih baik, Sat?"

Jendela diturunkan kembali dan Satya menyandarkan punggung. "Ya."

"Bilang apa pun yang lo butuhin. Oke?"

"Nyesel gue cerita kalau lo jadi anteng dan jinak begini."

Reza berdeham. Menatap ke jendela. Bibirnya bergetar pelan.

"Lo nangis, Ja?"

"Kagak."

"Kenapa suara lo begitu?"

"Siapa juga yang nangis." Tapi tangannya bergerak untuk menyeka pipi.

Satya menatap sahabatnya. Mengembuskan napas pelan. "Ja, jangan ikutan sedih. Niat gue cerita bukan bikin lo sedih juga."

"Terus gue mesti apa?" Reza tersedu. "Lihat kemarin lo sama Kana bahagia, terus tiba-tiba kayak gini, sakit rasanya."

"Ujian lagi buat hubungan gue sama Kana, Ja."

"Gue yang nggak ngejalani sakit banget rasanya. Lo gimana. Selama ini, rumah tangga kalian penuh masalah. Sekalinya bahagia cuma sebentar. Itu juga langsung ditiban masalah lagi, gede pula."

"Udah nggak sesakit itu, Ja. Kemarin-kemarin mungkin iya, sakit banget. Tapi setelah beberapa hari, gue banyak mikir."

"Dengan kasih izin dia buat pergi ke Bali lo merasa lega?"

"Kana lagi nemuin salah satu sumber kebahagiaan dia. Mestinya gue ikut dukung. Dia ngelakuin apa yang seharusnya dia lakuin. Dia sedang memenuhi tanggungjawab sebagai ibu."

restart: we're in trouble ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang