Chapter 30

9.3K 1.6K 143
                                    


Kana membuka mata dan yang pertama dia rasakan adalah dekap hangat yang melingkar di perutnya. Gorden di jendela-yang mungkin luput tidak ditutup rapat-menghadirkan seberkas cahaya matahari yang mencuri masuk dan jatuh di atas lantai kayu. Kana sesaat bergeming. Menikmati pagi yang semestinya indah jika jalan hidup tidak membuatnya berada di situasi yang rumit.

"Selamat pagi." Terdengar suara serak dari belakangnya. Juga usapan lembut di lengan. Diakhiri dengan kecupan di kepala yang cukup lama. Kana memejamkan mata.

Sekeras apa pun Kana meminta Satya untuk menunjukkan kemarahannya, semakin Satya menunjukkan hal yang berkebalikan. Semalam, mereka tidur dengan saling memunggungi. Entah masing-masing terlelap pukul berapa. Dan pagi ini Kana terbangun dengan menerima perlakuan manis Satya. Seolah tidak pernah ada pertengkaran di meja makan. Pada kenyataannya, mereka harus tidur membawa hati yang berat.

Beberapa menit berlalu, tidak ada respons apa pun dari Kana. Satya melepas pelukan dan turun dari kasur. Langkahnya terdengar menuju kamar mandi. Kana menyibak selimut, bangun dan duduk di tepian ranjang. Kedua tangannya bergerak untuk menyibak rambut panjangnya. Menatap sebentar ke arah jendela yang tak terlindungi gorden. Sedikit silau. Tapi mampu membuat pikiran Kana mengawang. Banyak hal melintas di kepalanya. Dirinya hanya bisa pasrah.

Selang lima menit, Satya keluar dari kamar mandi. Sudah berganti kaus dan celana jins. Langkahnya terdengar mondar-mandir di bekakang Kana, mengumpulkan barang yang dia perlukan untuk dimasukkan ke dalam ransel.

Tanpa menoleh, Kana menggumam. "Satya."

Kegiatan Satya terhenti dan menoleh ke istrinya. "Ya?"

"Minggu depan aku berangkat ke Bali." Kana melanjutkan. Kepalanya masih tertunduk. "Kali ini bukan urusan pekerjaan. Aku boleh pergi?"

Satya menatap punggung Kana cukup lama. Dia tahu ke mana tujuan istrinya. Justru karena dia tahu maka dia tidak bisa melarang. Meski hatinya berat mengatakan. "Iya."

Kana tersenyum getir. Satya pamit dan keluar dari kamar. Menyisakan Kana yang dihujani rasa perih yang menyakitkan. Satya membuat segalanya terasa mudah bagi Kana. Dia tidak banyak tanya kenapa Kana ke Bali, hal yang mungkin Satya bisa simpulkan sendiri. Tapi tidakkah ini menyakitkan untuk Satya?

Memutus pikiran-pikiran, Kana meninggalkan tepian kasur, berlari menyusul Satya. Menuruni anak tangga dengan terburu. Tergesa membuka pintu utama. Hampir tersandung ketika menuruni tangga di teras.

Suara pintu yang terkuak membuat Satya urung membuka pintu mobil. Dia melihat Kana berlari ke arahnya. Hingga istrinya berdiri persis di hadapannya.

Tatapan Satya turun ke kaki telanjang Kana sebelum kembali ke wajah istrinya. Rambut panjangnya sedikit berantakan. Napasnya tersengal.

"Ada yang ingin kamu katakan?"

Kana menggeleng. Dia hanya ingin memeluk Satya. Menenggelamkan wajah di bahu itu. Mengadu lewat tangis yang dia larang jatuh. Merebah lelah dan pulang sejenak. Merasakan tenang yang hanya bisa dia temui di diri Satya.

Tanpa kata, tanpa usapan. Namun, pelukan itu begitu berarti untuk keduanya.

***

Satu minggu berlalu begitu cepat. Satya diam-diam menghitung hari keberangkatan Kana. Hubungan mereka masih sama seperti kemarin. Kana yang ingin menciptakan jarak karena perasaan bersalah, sementara Satya yang ingin memudahkan urusan istrinya. Memilih untuk mengerti.

"Kamu ke bandara sendiri?" Satya menghampiri mobil dan menahan Kana yang hendak menutup pintu kemudi.

Diamnya Kana dianggap Satya sebagai jawaban iya.

restart: we're in trouble ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang