"Na, di mana?""Masih kejebak macet."
"Aku udah sampai."
"Mama sama adikmu juga udah?"
"Formasi lengkap."
"Aku absen ajalah. Udah tahu juga aku bakal dihabisi nanti."
"Telat nggak apa-apa."
"Mendadak perutku sakit."
Tidak mempan. "Alamat restonya aku shareloc."
"Nggak usah."
"Hati-hati." Telepon dimatikan lelaki di ujung sana.
"Hadapi, Na." Lala, asisten merangkap manajer merangkap sahabat, menatap prihatin. "Kalau lo mau kabur, inget gimana dulu lo berdarah-darah buat jadi mantunya Nyai Marlina."
Menyandar di jok dengan lelah. "Gue nggak mau inget apa-apa."
Lala memijat sebelah bahu Kana. "Setimpal banget. Lo dapet suami sebaik Satya."
"Baik?"
"Iya, 'kan?"
Kana tertawa sumbang. "Lo nggak tahu aslinya dia."
"Yang ada dia banyak istigfar punya istri kayak lo, Na."
"Kok jadi bela dia?!"
***
"Dua tahun kalian ngapain aja?"
"Bangun rumah tangga dong, Ma." Satya yang menjawab santai, padahal jelas-jelas tatapan mamanya tertuju ke sang menantu.
Seperti yang sudah-sudah, Satya sigap menyelamatkan istrinya dari 'sesi penghabisan' yang diadakan setiap sebulan sekali. Memang beberapa kali bisa absen, Satya yang manggung di luar kota dan Kana yang sibuk pemotretan.
"Kami belum ada kesepakatan perkara anak, Ma." Di luar dugaan, kali ini Kana berani menjawab. Setelah sebelum-sebelumnya hanya menghela napas dan membiarkan Satya membelanya. Dia hanya takut, sekali menjawab, emosinya tak terkendali. Jadi diam adalah jalan ninja Kana.
"Kesepakatan?" Mama mengerutkan kening tidak suka. "Memangnya tujuan kalian menikah hanya untuk status saja?"
Kana meremas garpu yang dia pegang. Hendak bersuara, tapi tangannya yang mengepal itu ditangkup oleh Satya. "Iya, sebelum mengambil keputusan, perihal anak pun, kami butuh kesepakatan, Ma. Bukan karena salah satu dari kami ingin anak, maka harus. Kami harus memastikan kalau masing-masing memang menginginkan anak."
Mama menggusah napas kemudian mengarahkan dagunya ke meja sebelah. "Lihat adikmu, anaknya hampir tiga. Nikahnya nggak beda jauh dari kalian. Beda setahun."
"Mama tentu nggak bisa membandingkan kami. Indi—" Kana nyaris kelepasan soal alasan Indira—adik perempuan Satya—menikah muda. Sedongkol apa pun dia, masih sadar diri bahwa sedang berhadapan dengan Mama mertua yang keras kepala. "Indi kan nggak punya tanggungan."
"Makanya, Kana, kamu berhenti dari model. Sudah saatnya jadi ibu rumah tangga. Kamu nggak pengin punya anak?"
Nggak. Kana hanya tersenyum, yang lebih pantas disebut seringai.
Ngomong-ngomong, kapan acara makan malam ini selesai? Kana rasanya tidak bisa menelan salad lagi. Lidahnya mendadak pahit. Apalagi anak kembar Indira mulai rewel. Yang satu menangis, yang satu menumpahkan jus. Papa anak itu juga terlihat kewalahan.
Sementara Nyai Marlina tetap memotong steik dengan tenang dan anggun. Sama sekali tidak terganggu dengan tangisan batita itu.
Tatapan Kana beralih ke perut buncit Indira. Perkiraan lahir satu bulan lagi. Maka makan malam bersama selanjutnya tentu akan lebih menyiksa. Kana akan lebih didesak untuk punya anak. Sementara, jangankan anak, hubungannya dengan Satya saja semakin ke sini semakin tidak jelas. Mereka terikat, tapi seakan-akan tidak. Sulit dijelaskan.
Satya dengan sigap menghampiri meja sebelah, mengambil salah satu anak Indira, untuk duduk kembali di sebelah Kana dan memangku anak itu. Ditimang-timang. Anak berumur dua tahun itu menatap Kana, tapi sayangnya Kana tidak tertarik dengan anak kecil.
Satu jam dilalui Kana dengan banyak diam. Mengangguk seperlunya. Mengiakan banyak petuah yang mama mertuanya titahkan. Menekan habis gejolak emosi. Padahal rasanya dia mau meledak saat itu juga.
Belum terlalu larut saat makan malam usai. Mereka terbiasa pulang dini hari. Pekerjaan yang tak mengenal jam kerja. Bagi mereka, pukul sembilan masih terhitung sore.
"Mau makan apa gitu?" Satya bertanya tanpa menoleh. Mobilnya meninggalkan restoran lima belas menit lalu.
"Tadi ngapain aja di restoran? Nggak makan?"
Satya tidak tertawa. "Kamu nyindir nih?"
Dijawab jutek. "Tanya beneran."
"Makan tadi. Cuma masih laper. Steik seupil gitu gimana kenyangnya sih. Perut kampungku nggak cocok makan di resto fine dining."
"Tapi mamamu suka!"
"Nah, itu." Satya mulai melihat kanan-kiri. "Mampir makan bentar ya."
"Terserah."
Satya tidak menegur istrinya yang terang-terangan menekuk wajah. Selalu membiarkan. Menikah dua tahun, membuatnya sadar jika Kana tidak berbakat poker face. Oh, kecuali di depan Mama tadi. Itu pasti karena sudah terlatih. Dan tentu, di depan kamera.
Mereka berhenti di deretan penjaja kaki lima. Satya menepikan mobil dan turun untuk memesan makanan. Kembali tak lama setelahnya sambil membawa kotak styrofoam. Dari harumnya sih, mi pangsit. Kana sempat melirik.
"Beneran nggak mau, Na?" Satya melepas topi hitamnya. Beruntung tidak ada fans yang mengenali dan mengikuti sampai ke mobil. Kana sedang malas memasang wajah ramah.
Sambil sibuk menggulir ponsel. "Nggak."
"Nggak usah diambil hati omongan Mama tadi."
"Udah kebas hatiku."
"Pangsitnya enak, Na. Mau nyoba?"
Kana menoleh, membuka mulut. Satya menyuapkan satu pangsit.
Mengunyah dalam diam, Kana mengangguk. Enak.
"Mau lagi?"
"Udah."
"Dietnya jadi?" Satya melanjutkan makan, sambil sesekali menatap ke keramaian di luar mobil dan beralih ke istrinya. "Padahal di mataku, kamu kurus. Apanya lagi yang mau dikurangi?"
"Pipiku."
"Imut. Segitu imut banget, Na. Kamu harus percaya sama aku."
"Aku penginnya tirus."
Satya berhenti mengunyah. "Tapi jangan dibikin kayak Maleficent ya."
"Seksi tahu, Sat."
"Horor kamu!"
Senyum terbentuk di sudut bibir itu, Satya diam-diam lega melihatnya, setelah istrinya hanya menekuk wajah sejak tadi.
***
Selamat datang di cerita baru~
Kalau udah kelar, cerita ini kemungkinan aku angkut ke Cabaca. Aku ditodong naskah mulu soalnya, huhu.Jadi, aku numpang di sini ya. Sambil jalan.
Aku gak ada outline. Cuma berpegang pada rumus ini:
Kana= Nina+Adel
Satya= Regan+Acid
Kamis/06.08.2020
KAMU SEDANG MEMBACA
restart: we're in trouble ✓
Romance[dark romance] Tidak mudah menjalani dua tahun pernikahan milik Satya dan Kana yang pelik. Restu dari mama mertua, cinta platonik yang menghantui Satya, hingga tiba di bagian masa lalu milik Kana yang nyaris terlupakan. Dua tahun milik mereka, apak...