Rumah Dara

5 0 0
                                    

"WOIII! GURU-GURU RAPAT!" teriak Geri, agen FBI di kelasku. Dia adalah sumber informasi yang beritanya selalu faktual. Dari razia sampai rapat guru, dia selalu tahu. Kami bahagia mendengarnya, apalagi ketika ada pengumuman dari loudspeaker pojok kelas yang memberi kabar baik bahwa semua siswa bisa meneruskan belajarnya di rumah.

"Jun, ntar baliknya ke rumah aja." Aku yang sedang memasukkan buku dan alat tulis menoleh.

"Hah? Gue gak tau rumah lo," sahutku.

"Kan ada gue," jawabnya. Aku mengangguk lalu kembali menyelesaikan pekerjaanku sebelumnya.

"Yuk." Aku menggandeng tangannya. Akan tetapi Dara langsung melepas genggamanku.

"Dasar," ketusnya sambil berlalu keluar. Aku mengedikkan bahu dan menyusulnya.

Aku dan Dara duduk diam di samping parkiran, menunggu tempat itu sepi agar motorku bisa keluar. Karena bosan, aku mengeluarkan buku kimia untuk sekedar mengingat materi. Sesekali kulirik Dara yang tidak melakukan apa-apa membuatnya melamun.

"Ra." Dara sempat terkejut sebelum dia mengubah ekspresinya seperti biasa. Akting yang buruk.

"Mikirin apa, sih?" tanyaku.

Dia menggeleng lalu menjawab, "enggak, kok."

"Cerita sini." Meski dia berkata tidak, aku tahu sebenarnya dia punya masalah.

"Gue bilang gak ada, ya gak ada!" Galaknya keluar lagi. Aku terdiam lalu melanjutkan belajar. Ketika meliriknya sekilas, sudah ada ponsel yang menemaninya. Tidak apa-apa, yang penting dia tidak melamun. Aku lebih suka melihatnya mengumpat di depan ponsel daripada melihatnya melamun.

Oke, Juna. Fokus ke materi. Aku kembali membaca buku tebal di tanganku ini.

"Jun, udah sepi." Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat parkir. Hanya ada beberapa motor di sana. Kulirik jam tanganku, 14.35. Baru jam segini.

"Yaudah, ayo!" Aku berdiri mengajak Dara, dia mengangguk lalu berdiri, kami pun berjalan bersama ke arah motorku.

Aku mengendarai motor dengan lambat mengikuti intruksi yang Dara berikan. Jalanan ini asing bagiku yang notabennya anak rumahan. Tidak pernah ke mana-mana kecuali untuk hal-hal penting.

"Jun, berhenti." Dara menepuk-nepuk pundakku menyuruh berhenti. Aku menepikan motor di depan rumah, belum sempat bertanya alasan Dara menyuruhku berhenti, dia sudah turun dan berjalan membuka gerbang rumah disampingku.

"Rumah lo?" Dia menggeleng, "rumah orangtua gue," jawabnya sambil berlalu melewati gerbang. Aku mengikutinya dengan membawa motor ke halaman rumah.

"Gila, gede banget rumah lo," ucapku ketika sudah berada di dalam rumah. Dara diam lalu berjalan maju entah ke mana, aku hanya bisa mengikutinya.

Kami tiba di taman belakang, ada seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di gazebo.

"Ma." Wanita itu menoleh ke arah kami, seketika senyumnya mengembang lalu menghampiri kami. Begitu pula dengan Dara yang menyunggingkan senyum tipisnya.

"Ara, kamu kok nggak bilang mau pulang?" tanya wanita itu memeluk Dara. Gadis itu hanya tersenyum lalu membalas pelukan mamanya.

"Ma, ini Juna," ujar Dara setelah melepas pelukan. Aku mendekati mereka, dengan ramah mencium tangan mamanya Dara sebagai wujud kesopanan.

"Pacar kamu?" Dara tersipu mendengar pertanyaan mamanya.

"Ara ke kamar dulu. Ayo, Jun." Apa itu? Dara mengajakku ke kamarnya? Aku melirik sungkan ke mamanya Dara. Beliau hanya mengangguk mengizinkan.

Langkahku melewati pintu kamar Dara. Aku terpatung melihat kamarnya. Sangat rapi dengan piagam dan medali yang cukup banyak di ruangan ini. Aku berjalan mendekati lemari dengan beberapa trofi di sana. Semua dari e-sport. Walau ada juga yang dari lomba-lomba masa kecilnya. Aku salah menilai, ternyata hobinya selama ini membuahkan hasil.

"Ini semua bukan gue yang naroh," kata Dara yang membuatku terkejut. Dia sudah memegang joystick dan bersiap untuk meluncur ke dunianya.

Aku berjalan menghampiri cewek itu, setelah aku duduk, Dara memberiku satu joystick yang lain. Aku mengernyit menatapnya. Apa aku diajak main? Tapi terakhir main PS saja tujuh tahun yang lalu.

"Ra, gue udah lama banget gak main ini," ucapku.

"Sesekali lo musti seneng-seneng, Jun. Gak mikirin masa depan mulu. Emang lo tau di masa depan masih bisa hidup?"

"Kok ngomongnya gitu, sih."

"Gue salah?" tanyanya

Aku hanya menggeleng.

"Yaudah nurut aja kenapa, sih." Dara mulai galak lagi.

"Iya, iya." Aku hanya pasrah menurutinya.

Kami mulai bermain, Dara memilih game bola yang entah tadi dia menyebutnya apa. Awalnya aku tidak terima karena pasti dia sudah berpengalaman. Tapi katanya ia juga jarang main game seperti ini, biasanya dia main PUBG atau apapun itu namanya.

Namun, pro player tetaplah pro player. Entah apa saja game nya, jika joystick adalah teman setiap hari, maka akan jago di game apapun. Seperti saat ini, belum ada setengah permainan tapi 'gawangku' sudah kemasukan bola sembilan kali. Dara tertawa bahagia melihat aku yang tidak bisa apa-apa.

Akan tetapi bukan berarti aku menderita karena skor yang terpaut jauh. Justru aku sangat bahagia melihat Dara yang tertawa lepas seperti ini. Pandanganku tidak beralih dari wajahnya, dia yang saat ini ada di pangkuanku. Menjadikan pahaku sebagai bantalnya. Kutatap paras yang sudah lama membuatku candu. Bola mata coklat merupakan favoritku, hidung yang tidak terlalu mancung tapi menggemaskan, dan bibir pink tanpa lipstick memberi kesan polosnya.

"Ra." Dara memalingkan wajahnya ke arahku, dia berhenti tertawa begitu mata kami bertemu. Aku menatap manik coklatnya dalam, indah sekali. Cukup lama kami saling tatap, perlahan wajah kami semakin dekat. Dara memejamkan mata saat aku menghembuskan napas, mungkin dia bisa merasakan udara yang keluar dari hidungku. Aku mendekatkan wajahku lagi sampai akhirnya bibir kami berrtemu. Dara tidak bereaksi apa-apa setelahnya, aku juga hanya diam menikmati kedua benda lembut milik kami ini bersentuhan tanpa pergerakan apa pun. Ini seperti mimpi.

Tunggu? Apa ini sungguhan? 

TBC.

Percayalah, Tuhan menciptakan segalanya di dunia ini. Termasuk rahasia yang tidak kalian duga.

MISSING USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang