Hari-H

4 0 0
                                    

Sudah seminggu aku tidak pergi ke kelas karena sibuk mempelajari materi. Selama tujuh hari juga aku tidak melihat keberadaan Dara. Tidak, aku tidak boleh memikirkannya sekarang. Hari ini saatnya berperang untuk sekolah, dan aku harus memberi hasil yang terbaik.

"Sudah siap, semua?"

"Siap!" Kami semua menyahut dengan semangat.

"Baik, kalian harus berusaha semaksimal mungkin, oke?"

Kami mengangguk sebagai jawaban, setelah itu olimpiade pun dimulai. Aku berniat memusatkan pikiran hanya untuk olimpiade ini. Harus bisa, harus menang, tidak boleh mengecewakan. Begitulah yang ada di otakku sekarang. Memenangkan OSN sudah menjadi impianku sejak lama, dan ini saat yang tepat untuk meraihnya.

Tahap per tahap dapat kami lalui dengan sukses. Kini tinggal menunggu pengumuman pemenang. Aku memeriksa ponsel untuk sekedar menghilangkan rasa bosan. Wallpapernya masih sama seperti dua minggu yang lalu—foto Dara yang tertidur di kelas. Aku menarik kedua sudut bibir. Oke, setelah ini aku akan ke rumah Dara. Ini rindu paling serius. Berlebihan memang, tapi itulah yang aku rasakan sekarang. Ingin bertemu dan memeluknya erat, lalu akan kupaksa dia untuk bercerita tentang apa yang terjadi sampai memutuskanku begitu saja.

Saat-saat mendebarkan tiba, semua orang yang awalnya rehat kembali digugupkan oleh suara MC dari atas panggung di auditorium. Banyak pasang mata yang terfokus penuh pada kedua pembawa acara tersebut, namun tak sedikit pula yang sibuk memperkirakan pemenangnya, sisanya berdoa.

Kami pulang dengan trofi yang teramat membanggakan. Kotaku terpanggil sebagi peringkat pertama untuk Fisika, dan peringkat kedua untuk Kimia juga Matematika, sedikit kecewa karena tidak bisa menjadi perwakilan provinsi untuk bersaing di tingkat nasional. Aku menghela napas, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 22.30, dan butuh waktu setengah jam untuk sampai sekolah. Iya, aku harus ke sekolah dulu karena motorku masih di sana. Jika begini, apa tidak masalah jika pergi ke rumahnya. Mungkin besok saja, deh.

"Jun." Seseorang memanggilku, aku menoleh ke sumber suara yang berada di jok tengah.

"Kenapa, Kei?" sahutku.

"Kamu daritadi melamun mulu, ada masalah?" Aku langsung menggeleng.

"Iya, juga. Dari kemarin-kemarin juga sering melamun, tuh," sambung seorang cewek di samping Kei yang aku tidak ingat namanya. Aku hanya tersenyum singkat. Setelah itu tidak ada yang mengajakku bicara lagi.

Mobil yang kami tumpangi berhenti di depan gerbang sekolahku. Aku dan Pak Toni—pembimbing dari sekolahku, turun dari mobil sedangkan Kei serta yang lain akan diantar sampai rumah mereka masing-masing karena mereka tidak membawa motor ke sekolah. Meskipun sama-sama malam, namun suasana sekolah di jam-jam ini sangat berbeda dibanding saat masih pukul 7 malam.

"Bapak harus naruh dulu trofinya di lemari ruang guru, kamu langsung pulang, ya." Aku mengangguk menanggapi pesan dari Pak Toni. Setelah itu hanya ada aku di parkiran. Tidak mau membuang waktu lebih banyak, aku langsung memakai helm dan menaiki motor. Namun getaran ponsel di saku menghetikanku, aku mengambilnya untuk diperiksa. Ternyata ponselku yang tadinya tidak tersambung ke internet, kini ototmatis tersambung pada Wi-Fi sekolah yang menyebabkan datangnya berbagai notifikasi masuk.

33 panggilan masuk dari Liya. Aku menautkan alis, lalu membuka WhatsApp untuk memastikannya. Ada 58 pesan masuk darinya, tidak pikir panjang langsung saja kuketuk nama itu.

TBC.

Hidup ini seperti teka-teki, apakah kamu ingin membiarkannya menjadi misteri atau mencoba mencari jawaban yang pasti, itu adalah pilihanmu.

MISSING USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang