Kepergian Dara membuatku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Benar-benar hancur. Karenanya, sudah lima hari aku tidak keluar rumah, sampai-sampai guru di sekolah mencariku bahkan menghubungi orangtuaku. Walaupun hanya tiga minggu aku menghabiskan waktu bersama Dara, namun setelah dia pergi, aku merasakan kekosongan yang luar biasa. Apalagi mamanya yang sudah bersama Dara sejak gadis itu lahir, pikirku.
Teringat tante Luna, aku berpikir pasti dia sedang terpuruk sekarang. Kehilangan anak tunggal pasti sangat menyedihkan. Aku tidak boleh seperti ini, jangan hanya karena Dara, aku menjadi menderita. Aku bangun dari tempat tidur, melangkah keluar berniat ke rumah Dara untuk bertemu mamanya.
"Ke mana?" suara seseorang membuatku mengalihkan pandangan. Ternyata bunda yang sedang duduk di ruang kecil bawah tangga sembari membaca buku.
Aku menghampiri perempuan paruh baya yang kini menjadi perempuan satu-satunya yang kucintai. "Mau ke rumah Dara," jawabku kemudian.
Bunda meletakkan buku, dan menepuk bagian sofa yang masih tersisa di sebelahnya. Mengisyaratkanku untuk duduk di sana. Aku menurut. Begitu duduk, tubuhku langsung di dekap olehnya. Aku membalas pelukannya.
"Pasti banyak hal dari Dara yang bikin kamu jadi begini," ujarnya sambil mengelus rambutku.
"Maaf, Juna gak pernah cerita, Bun." Bunda terkekeh mendengar ucapanku.
"Kenapa minta maaf untuk hak yang udah kamu pilih?" Aku diam mendengar tuturan dari Bunda.
"Juna, yang bertemu pasti berpisah, yang datang pasti hilang. Itu udah jadi hukum alam. Kalau itu terjadi lagi, jangan kaget kaya gini, ya." Aku mengangguk menanggapinya.
"Mau ngapain ke rumahnya?"
"Ketemu mamanya," jawabku.
"Yaudah." Bunda melepaskan pelukannya setelah mengatakan itu. Aku melakukan hal yang sama.
"Bun, makasih." Bunda tersenyum lalu kembali mengelus pucuk kepalaku.
Aku pergi setelah mencium tangan bunda, butuh waktu cukup lama untuk sampai di rumah Dara. Begitu melewati jalanan yang sering kami lalui, tiba-tiba dadaku sesak. Muncul perasaan yang aneh, mungkin ini rindu? Aku tidak menghiraukan perasaan itu, yang terpenting aku harus sampai di rumahnya.
Sampai di rumah besar yang menjadi kediaman keluarga Dara, aku di sambut oleh pria paruh baya yang pernah kulihat tempo hari. Saat Dara memutuskan hubungan sepihak di atap sekolah.
"Maaf, Mas. Cari siapa?" tanyanya.
"Tante Luna," jawabku.
"Silahkan duduk dulu, Mas. Saya panggilkan Bu Luna." Pria itu masuk rumah. Aku mengangguk, kemudian duduk di kursi yang ada di teras.
Tidak lama aku menunggu, pria itu datang lagi.
"Maaf, Mas namanya siapa?" tanya pria itu.
"Juna," jawabku.
"Silahkan masuk, Mas." Aku berdiri mengikutinya, sampai di belakang rumah, kudapati tante Luna yang sedang duduk merenung di gazebo. Persis seperti saat pertama aku datang ke rumah ini.
"Makasih, Pak."
"Sama-sama," balas pria itu kemudian pergi.
"Tante Luna?" panggilku. Perempuan itu menoleh, sedetik kemudian sebuah senyum tercetak di wajah sendunya.
Aku menghampiri dia, duduk di sebelahnya tanpa izin. Setelah itu aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata apa.
"Dara, dia renal agenesis." Kami diam cukup lama sampai akhirnya Tante Luna mengatakan hal tersebut. Aku terkejut, bahkan aku tidak tahu kalau Dara lahir dengan satu ginjal?
"Dia persis papanya, keras kepala, gengsinya tinggi. Paling gak mau kalau dikasihani." Aku diam tertunduk mendengar cerita dari Tante Luna.
"Sejak beberapa tahun yang lalu, saya sama papanya sering bertengkar. Sampai Dara mau hidup sendiri karena gak betah sama kami." Aku meneguk ludah, inikah alasan Dara tinggal di kost?
"Dia itu susah banget dibilangin. Gak kehitung berapa kali kami nyuruh dia pulang karena khawatir sama kesehatannya."
"Suatu saat, dokter kami bilang kalau fungsi ginjal Dara menurun. Dan dia tetep milih tinggal di kost. Cuma pulang kalau mau check up."
Aku menyesali hal yang tidak kutahu, andai aku mengetahui hal ini. Mungkin akan lebih protektif dalam menjaganya.
"Saya minta maaf," ucapku penuh sesal.
"Dara memang tertutup, mungkin hanya keluarga kami yang tahu kondisinya," balas Tante Luna dengan sedikit tersenyum. Kemudian ia menyodorkan benda kotak berwarna hitam yang sangat familiar.
Dengan ragu, aku menerimanya.
"Itu HP Dara, dia bilang mau minjemin ke kamu biar kalau kamu mau main game nggak usah repot-repot download."
Aku menunduk memandangi ponsel itu, lalu kugenggam kuat-kuat.
"Saya gak tahu kenapa dia bisa berakhir begitu. Operasinya berjalan lancar, bahkan dia transplatasi ginjal dari papanya. Habis operasi pun dia masih cerita soal kamu."
Pandanganku mulai buram, tertutup oleh genangan air yang berkumpul di pelupuk mata.
"Waktu itu dia bilang pengen cepet-cepet ketemu kamu. Minta maaf sama kamu. Tapi kata Liya kamu masih lomba, saat itu juga dia marah-marah. Bilang kalau kamu pasti berduaan sama siapa, temenmu lomba."
Kali ini air mataku tidak bisa terbendung lagi. Mereka terjun membasahi pipi.
"Akhirnya dia tidur habis minum obat. Tapi..." Tante Luna tidak bisa melanjutkan ceritanya. Kami berdua benar-benar berduka, hanya isak tangis yang terdengar dari tempat kami. Larut dalam kesedihan dari orang yang sama dan perasaan yang sama-sama kami rasakan.
TBC.
Akan tetap ada baiknya Tuhan memberikan sebuah kejutan, walau kejutan tersebut cukup menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISSING US
Teen FictionBagaimana jika putra sekolah yang begitu membanggakan dengan prestasi-prestasi akademiknya menjalin hubungan asmara bersama seorang gadis dingin juga pemalas bahkan hanya memedulikan game di kehidupannya. Arjuna Dewana yang cinta mati kepada Adara...