Hilang

4 0 0
                                    

Jujur, aku sedikit panik mendapatkan banyak pesan dan panggilan suara dari Liya. Dadaku sesak ketika aku ingat kenyataan bahwa Liya adalah sahabat Dara. Apakah terjadi sesuatu padanya? Dengan gemetar, aku membaca pesan-pesan dari Liya.

Liya

Jun

Junaaa

Juna

Lo masih lomba?

Kalo udah selesai langsung ke sini cepet

Liya send location

Jun, cepet pulang

Ini gawat

Juna

Juna

Junaaa

Begitu lo baca ini

Langsung ke sini

Dara butuh lo

Aku berhenti membaca rentetan pesan dari Liya yang masih banyak itu, ku tekan lokasi darinya. Saat mendapati nama Dara, aku semakin panik. Pasti ada yang aneh, dan benar saja lokasi menunjukkan Liya ada di rumah sakit. Pesan itu dikirim dua jam yang lalu, mungkin terlambat tapi aku harus ke sana. Aku memasukkan ponsel ke saku, setelah itu menghidupkan mesin dan menarik pedal gas. Tidak peduli angin malam yang dingin menerpaku, aku tetap melaju dengan kecepatan tinggi.

Sampai di depan rumah sakit, kuperiksa rentetan pesan dari Liya yang belum sempat kubaca tadi, ada informasi ruang rawat Dara di sana. Aku melangkahkan kakiku lebar-lebar agar cepat sampai, karena ini pertama kalinya Dara membutuhkanku. Iya, aku harus cepat sebelum waktu mengalahkanku.

Aku melangkah cepat menuju tempat Dara. Sudah hampir sampai, namun aku mendengar tangisan dari dalam ruangan yang sepertinya ruang rawat Dara. Semakin dekat semakin keras suaranya, hingga aku berdiri tepat di depan pintu, dan suaranya sangat jelas. Dengan lemas aku membuka pintu ruangan ini. Lututku lemas kala melihat Tante Luna, Liya, dan beberapa orang yang tidak kukenal di sini, terlebih lagi mereka menangis.

"Jun, lo telat," ucap Liya sesegukan lalu memelukku.

"Dara kenapa?" Aku melepas pelukannya, memilih mendekati ranjang Dara. Selama ini aku tidak tahu Dara sakit. Aku bahkan tidak tahu kenapa Dara tiba-tiba berada di rumah sakit. Aku memang tidak tahu apa-apa tentang Dara. Bodoh sekali.

Firasatku sudah buruk saat sekujur tubuh Dara mulai dari ujung kepala hingga kaki tertutup kain. Perlahan kubuka kain itu dan terlihat wajah pucat Dara yang tampak tenang, diiringi tangis mamanya yang semakin pecah. Masih tidak percaya apa yang terjadi, aku mencoba menepuk pelan pipinya beberapa kali sambil sesekali memanggilnya dengan lirih. Namun Dara masih bergeming. Tidak, Dara belum pergi. Aku yakin Dara belum pergi. beberapa hari yang lalu dia masih baik-baik aja. Bahkan kami masih menikmati waktu bersama dengan begitu bahagia sebelum dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan di rabu ketiga.

"Dara, gue di sini."

"Ra, bangun."

"Ra, lo gak kangen gue apa?"

"Please, bangun."

"Jun." Itu suara serak akibat tangis milik Liya. Aku menarik napas dan perlahan menutupkan kain itu pada Dara setelah aku mencium keningnya. Tidak ada air mata yang jatuh di wajahku. Meski begitu, bukan berarti aku tidak sedih kehilangan Dara. Hanya saja entahlah, banyak perasaan tidak mengenakkan dalam diriku. Sedih, menyesal, marah, kecewa, semua beradu yang menahan air mata untuk keluar.

Aku menegakkan tubuhku, mamanya Dara langsung memelukku erat dengan tangisan yang masih belum berhenti. Aku membalas pelukannya, untuk menguatkan seorang ibu yang baru saja kehilangan putrinya. Sampai akhirnya beberapa perawat datang untuk membawa Dara ke kamar jenazah. Saat itulah aku benar-benar berpisah dengan gadis judes dan galak yang punya wajah menenangkan saat tidur. Dia, cinta pertamaku, sudah pergi.

TBC.

Banyak yang mengatakan, cinta pertama akan menumbuhkan luka yang begitu dalam. Ternyata betul. Dan luka itu menjadi sebuah kekosongan yang pasti akan sulit terisi oleh orang lain.

MISSING USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang