Aku buru-buru memasukkan beberapa buku latihan soal ke tas. Hari ini ada jam tambahan untuk para peserta olimpiade karena seminggu lagi akan seleksi ke Provinsi. Dara pasti menungguku, padahal aku sudah bilang untuk pulang duluan saja, tapi dia tidak mau. Dengan langkah tergesa, aku keluar dari ruang latihan, namun Keisha menghalangiku.
"Juna, aku boleh nebeng pulang, gak?" Aku menggeleng dengan cepat.
"Gue sama Dara." Setelah itu aku kembali berjalan. Lagi-lagi ada saja yang menghentikanku, kini giliran getaran ponsel di saku. Rupanya pesan dari Dara yang memberitahu bahwa dia ada di rooftop. Aku tersenyum singkat lalu melangkah menyusul Dara. Tidak tahu apa yang dia lakukan di sana, mungkin melihat sunset.
Rasa lelah seusai mendaki anak tangga hilang begitu aku melihat sosok Dara yang menatap lurus ke arah matahari terbenam. Dengan langkah ringan aku menghampiri dia, dan berdiri di sisinya. Kami sama-sama memandang langit yang perlahan gelap dengan semburat lembayung.
"Senja gak pernah bosenin ya," kataku. Dara diam saja tidak menanggapiku.
"Rabu ke tiga, ya. Gue seneng akhir-akhir ini lo bisa nerima gue." Dara tetap bergeming.
Aku tidak ambil pusing dengan diamnya Dara. "Oh, iya. Mulai besok gue gak masuk kelas gara-gara harus fokus sama olimpiade. Kita bakal jarang ketemu seminggu," ucapku lesu.
"Tapi ntar kalau gue gak lolos, gue mau download PUBG biar bisa mabar sama lo," lanjutku sambil memamerkan senyum. Akan tetapi Dara masih bungkam, tatapannya pun masih lurus sejak tadi. Tidak seperti biasanya, jika dengar kata game, dia pasti menyahut.
"Ra, lo kenapa?" Aku menatapnya lekat. Dia masih tidak mau membuka mulutnya.
"Dara." Tidak ada jawaban.
"Adara Miller." Akhirnya dia menoleh dengan raut muka datar.
"Ada apa?" tanyaku lembut dengan memegang kedua bahunya yang langsung ditepis oleh si pemilik.
"Ra?" Aku masih bingung dengan sikapnya sekarang.
"Aku mau kita selesai." Ucapannya membuatku terhenyak.
"Becanda, kan?"
Dara menggeleng.
"Kita selesai, Jun."
Aku berusaha menetralkan emosi.
"Kasih tau alesannya." Dara kembali menggeleng.
"Jelasin, Ra. Kenapa lo tiba-tiba gini?"
"Kita.udah.selesai," ucapnya penuh penekanan.
"Lo gak lupa kan ciuman kemarin?"
"KITA.UDAH.SELESAI!" Kali ini dengan berteriak lalu berjalan tergesa meninggalkanku. Aku sempat mendapati manik coklatnya yang berair. Aku tahu dia menahan tangis, pasti ada yang tidak beres.
Kini aku hanya bisa diam menerima keputusannya. Iya, keputusan sepihak. Bahkan ini sangat mendadak, kemarin kami menikmati waktu dengan indah, tadi pagi dia masih bersikap biasa. Barusan dia bilang 'aku', ini pertamanya dia mengunakan kata 'aku'. Air mata yang tertahan keluar seperti menyiratkan banyak cerita. Aku yakin pasti ada yang Dara sembunyikan. Kenapa tidak terus terang saja, sih!
Aku berjalan menuju pembatas atap. Aku tidak mengejar Dara karena masih linglung atas apa yang baru saja terjadi. Kenapa hubunganku dengan Dara seperti senja? Indahnya hanya saat akan berpisah. Waktu awal jadian tidak ada manis-manisnya, dan ketika dia sudah bisa menerimaku, kami berpisah begitu saja.
Aku mengusap wajahku lalu menurunkan pandanganku ke bawah. Tanpa sengaja mataku menangkap Dara berjalan ke arah mobil yang pernah kulihat di rumahnya kemarin. Dan ada seorang lelaki paruh baya. Dari penampilan sederhananya, aku menebak dia adalah sopir dari keluarga Dara. Pria itu menghampiri Dara, dan meragkul bahunya, seperti membantu berjalan. Apa Dara sakit? Tapi kemarin terlihat sehat.
Aku beranjak dari tempatku berdiri setelah mobil yang ditumpangi Dara melaju. Selepas ini, aku akan ke rumah Dara untuk memastikan dia baik-baik saja.
TBC.
Kejutan dari Tuhan memang tidak pernah gagal. Dan satu hal yang harus kamu tahu, tidak ada yang sia-sia atas takdir yang telah di tulis oleh-Nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISSING US
Teen FictionBagaimana jika putra sekolah yang begitu membanggakan dengan prestasi-prestasi akademiknya menjalin hubungan asmara bersama seorang gadis dingin juga pemalas bahkan hanya memedulikan game di kehidupannya. Arjuna Dewana yang cinta mati kepada Adara...