Aku membuka mataku. Hal yang pertama kali kulihat adalah Dara yang tertidur dalam posisi duduk dengan kepala berada di ranjang tempatku terbaring. Senyumku merekah ketika merasakan tangannya menggenggam tanganku. Aku memandangnya tanpa bosan. Entah kenapa seperti melihat banyak cerita di balik wajah teduhnya ketika tidur.
Dara membuka matanya, aku menyapa dengan senyum yang mungkin ia sudah bosan melihatnya. Setelah sepenuhnya sadar, Dara cepat-cepat duduk tegak dan melepas genggaman tangan. Aku terkekeh gemas melihat tingkahnya, seperti biasa dibalas dengan tatapan maut. Aku jadi berpikir kenapa ada cewek galak yang menggemaskan seperti Dara.
"Apa, sih. Senyum-senyum," ketusnya.
"Emang gak boleh?" godaku.
"Jijik, Jun." Aku tertawa mendengarnya. Kata-katanya mungkin menyakitkan, tapi aku tidak merasa demikian. Aneh memang, sampai Dara menatapku heran.
"Diem gak, lo!" Dara sudah mulai masuk mode galak.
"Iya, iya. Dasar bawel." Gadis itu melotot sebagai tanggapan dari ucapanku. Sekali lagi aku tertawa gemas melihatnya.
"Udah gapapa, kan?" tanyanya di sela tawaku.
"Emang gue kenapa?" Aku balik bertanya karena masih tidak tahu apa yang menimpaku.
"Kena bola basket," jawabnya. Aku melongo.
"Kena bola basket doang? Kok bisa sampe pingsan?" tanyaku yang masih tidak percaya.
"Lemah, sih," balasnya. Mungkin dia bermaksud mengejekku, namun dari cara bicaranya yang terlalu datar, membuatku tidak bisa memastikan apakah dia benar-benar mengejekku.
"Tapi gue gapapa, udah gak kerasa."
"Yaudah, bangun terus anterin gue pulang!" perintahnya setelah dia berdiri. Aku mengangguk, kemudian melakukan perintahnya. Setelah bangkit dari ranjang, aku mengambil tasku yang bersandar di kursi yang Dara duduki tadi.
Aku keluar dari UKS menyusul Dara yang sudah berjalan duluan. Menatap punggungnya saja aku tersenyum, dasar Dara, pakai pelet apa sih sampai buat aku sebegini jatuh cinta.
Kami sudah berada di parkiran, hanya tersisa beberapa motor yang terparkir. Mungkin milik anak-anak eskul yang begitu aktif di sekolah ini. Kulirik jam tanganku sudah pukul 5 lebih, pantas saja sepi. Baru saja hendak naik, hujan turun deras tanpa gerimis. Aku berdecak, perutku sudah sakit karena kelaparan dan sekarang hujan turun semakin deras. Kulihat Dara tidak ambil pusing karena hujan ini, dia berdiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada. Beruntungnya hari ini aku dapat tempat parkir yang ada atapnya, sehingga tidak perlu berlari ke teras untuk berteduh.
"Dingin?" tanyaku sesudah berdiri di sebelah Dara. Pacarku mengangguk, setelahnya tidak ada percakapan antara kami.
"Ra, kita pacaran berapa hari, sih?" Aku kembali bertanya untuk memecah keheningan. Sebenarnya tanpa dijawab pun aku sudah tau jawabannya.
"Sembilan," jawabnya cepat. Walaupun jarang menunjukkan wajah bahagia kepadaku, setidaknya dia ingat durasi pacaran kami.
"Selama sembilan hari apa yang lo rasain?" Dara menatapku.
"Kenapa nanya gitu?" sahutnya kesal.
"Loh, kan gue cuma nanya, Ra." Apa aku salah bertanya seperti itu?
"Juna, gue udah bilang kalau gak betah bilang aja," ucapnya.
"Gue nanya gitu salah, ya?" tanyaku bingung, namun Dara bungkam tidak berniat menjawab pertanyaanku.
Hujan mulai mereda. Dara berjalan mendekati motorku, mengambil helm dan melemparkan padaku. Aku bersyukur bisa menangkapnya, tidak perlu berpikir lama, aku pun memakainya.
"Cepet!" perintah Dara. Aku buru-buru naik ke motor dan menyalakannya. Setelah itu Dara naik, aku pun segera memacu dengan kecepatan sedang. Seperti biasa, tidak ada percakapan antara kami. Hari ini Dara sangat aneh, lebih aneh dari biasanya.
TBC.
Sebenarnya hidup itu sederhana, yang rumit adalah manusianya. Namun perasaan lah yang membuat seseorang menjadi begitu rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISSING US
Teen FictionBagaimana jika putra sekolah yang begitu membanggakan dengan prestasi-prestasi akademiknya menjalin hubungan asmara bersama seorang gadis dingin juga pemalas bahkan hanya memedulikan game di kehidupannya. Arjuna Dewana yang cinta mati kepada Adara...