Garis Luka 💔

6.6K 356 116
                                    

Alana menatap kekasihnya dengan bingung. Laki-laki di hadapannya itu terlihat sangat marah. Melihat matanya yang kian menajam, Alana memilih untuk mengakhiri kontak mata mereka.

"Lo tau salah lo apa Alana?" Suaranya begitu dingin. Alana secepatnya menggeleng.

Laki-laki itu mendekat. Kemudian melepaskan ikatan rambut milik Alana. "Gue udah bilang kan, jangan ikat rambut lo tinggi-tinggi! Lo lupa atau memang sengaja biar orang mandang lo lebih dari itu?"

Alana memegang rambutnya. Dia kembali menatap laki-laki itu dan menggeleng kuat. "A-aku—"

"Kenapa si? Lo capek berhubungan sama gue karena gue cuma manfaatin kepintaran lo? Terus lo sengaja goda banyak laki-laki dengan dandan nggak jelas begini?" potongnya.

"Bukan gitu, Al. Aku nggak berpikiran kaya gitu," bantah Alana.

Altair tersenyum mengejek. Lalu botol air yang digenggamnya sejak tadi, ia siram ke wajah Alana. "Lo lebih cocok jadi cupu, gue nggak mau orang-orang jadi suka sama lo. Lagi pula dandan juga nggak buat lo cantik. Oh, ya. Jangan lupa, kerjain pr matematika punya gue. Udah gue selipin di laci meja." Altair langsung pergi. Meninggalkan Alana yang sudah basah kuyup karenanya.

***

Alana menatap Altair yang tengah bermain futsal bersama teman-temannya. Tanpa sengaja bibir Alana melengkung. Altair itu laki-laki yang berbeda dengannya. Dia kaya, tampan, populer. Sedangkan Alana sendiri, dia perempuan cupu, miskin, hanya modal pintar saja dia di sini. Andai dia tidak pintar, mungkin dia akan sekolah mengambil paket.

"Tumben di sini, Na?" Alana menoleh. Sudah menemukan temannya—Siska—yang baru saja duduk.

"Em, cuma cari angin. Di dalam panas," alibinya.

"Beda banget sama gue. Biasalah, gue mau liat calon pacar," kata Siska.

"Hah? Siapa?"

"Altair dong. Siapa lagi? Eh bentar-bentar. Gue kan laki deket nih sama si Al. Doain gue ya bisa pacaran. Tenang aja, kalau gue pacaran sama dia. Lo gue comblangin sama temennya Al," jelas Siska.

Altair memang menyuruh Alana untuk menyembunyikan hubungan mereka. Altair hanya malu saja. Siswa sepopuler dirinya memacari siswi yang biasa-biasa saja. Bisa jadi bahan bullyan dia nanti. Namun, ini yang Alana tidak nyaman. Altair banyak yang suka. Bahkan temannya sendiri pun mengakuinya. Di saat seperti ini, Alana hanya memaksakan senyumnya.

"Kamu dekat sama Altair?" tanya Alana.

"Dia duluan yang deketin gue. Lo tau nggak si? Dia manis banget anaknya. Apalagi pas gue pas-pasan di kantin. Gila, dia senyumin gue dong. Sampe anak-anak kantin langsung ngerubungin gue kayak wawancara aja." Siska begitu bersemangat. Hingga tidak bisa membaca raut wajah Alana yang semakin berbeda.

"Bahkan lo tau nggak si. Katanya si, Lucas. Nanti malam si Al, bakal kasih kejutan buat gue. Ck, apa dia mau nembak gue ya, Na?"

"Em, a-aku, ngga tahu. Siska, aku duluan masuk kelas ya. Ada pelajaran yang belum aku pahami."

Alana memilih untuk pergi. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Tentang Siska dan Altair.

"Alana, lo dipanggil kepala sekolah!"


"Alana, lo dipanggil kepala sekolah!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.










Cerita iseng. Makin lama makin sepi aja wkwk.
Gapapa lah.

Mari Kita Berdamai dengan Luka  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang