Garis Luka💔

1.8K 195 31
                                    

"Kamu berantem lagi sama Papa?" Vera mulai bertanya pada putranya yang tiba-tiba datang dengan keadaan babak belur.

Altair tertawa pelan sedikit meringis saat mamanya mengobati luka itu dengan obat merah. "Kali ini bukan sama papa, Ma. Maaf ya, Al berantem sama anak geng motor di jalan."

Vera membuang napas berat. Kemudian, wanita itu menekan lebih pada lukanya hingga membuat Al berteriak. "Al, Mama itu khawatir kamu berantem terus setiap pulang. Kenapa si? Kamu ada masalah sama mereka? Setiap ditanyain pasti rahasia."

"Memang rahasia, Ma. Oh, ya. Al nggak bisa tidur di sini. Gapapa kan, Ma?"

"Iya, gapapa. Jangan berantem sama Papa ya. Jangan jahat sama Mama Lila. Dia baik lho."

"Baik apanya, Ma? Kalau baik kan nggak mungkin ngerebut suami sahabatnya sendiri," celetuk Altair.

"Jangan gitu, Al. Mungkin memang ini jalannya. Mama bisa tahu gimana papa kamu kan. Tapi terlebih dari situ, papa ya tetap papa kamu dan sekarang kamu punya Mama Lila. Lagi pula sebelumnya kamu akrab kan sama Mama Lila? Apalagi ada anaknya juga di rumah, bisa buat temen."

"Ma, kenapa si tetep jadi orang baik meski dijahatin? Padahal Al setengah matinya benci dua orang itu. Lagi pula itu dulu, Ma. Sebelum dia rebut kebahagiaan kita. Sok baik, munafik."

"Kalau di dunia ini semua orang jadi jahat, terus gunanya kebaikan apa? Mama jadi baik juga bukan buat mereka. Masih banyak orang-orang yang mau lihat Mama jadi orang baik. Termasuk anak mama ini. Memang kamu mau mama jadi jahat? Terus nggak sayang kamu?"

"Ma ... cukup buat Al jadi hancur lewat perceraian kalian."

***

"Na, lo tinggal sendiri atau gimana?"

"Em, sendirian, Kak. Ayah sama Ibu udah lama pergi karena kecelakaan."

Gema yang mendengarnya lantas merasa bersalah. Laki-laki itu langsung meminta maaf padanya.

"Makasih ya udah mau diajak gue jalan-jalan. Oh ya btw, lo nggak pernah dandan Na? Sayang lho, muka lo tu imut. Jadi, menurut gue, ketutupan sama poni dora lo."

Alana jadi teringat ucapan Altair yang menyuruhnya hanya untuk memakai bedak bayi saja selebihnya parfum itupun tidak boleh banyak-banyak. Asal wangi saja.

"Na, diem aja. Gue yang cerewet di sini."

"Hehe, nggak tau mau bilang apa, Kak. Em, ngomong-ngomong, Kakak udah belajar sampe mana?"

"Setengahnya mungkin. Agak susah si untuk fokus. Apalagi pas gue tau partnernya lo."

"Aku? Emang aku kenapa, Kak?"

"Imut."

***

"Sialan. Lo kalau jalan selain pake kaki, gunain mata juga!" Altair marah saat seorang gadis menumpahkan air minumnya. Bajunya basah, Altair tidak suka. Dia mendorong gadis itu hingga jatuh.

Alana. Gadis itu menatap Altair. Sungguh perbedaan yang benar-benar tidak bisa dipertanyakan. Seharusnya Alana memang sadar dari dulu. Al menganggapnya tidak lebih dari babu yang dijadikan pacar saja. Namun, begitu, Alana tetap menyukainya. Bodoh!

"Al, tenang. Cuma basa dikit doang. Lo nggak perlu dorong dia berlebihan." Altair berdecih. Lucas membantunya berdiri. Kemudian Altair bertanya, "Kenapa lo bela gadis cupu ini? Lo suka sama dia heh?"

"Ini bukan masalah suka atau nggaknya, Bro. Cuma sebatas kasian aja. Cukup yang lain dirinya dibully. Gue nggak mau lo ikut-ikutan," terang Lucas yang berhasil membuat Alana sakit hati. Sebatas kasihan? Serendah itukah dirinya? Sampai pantas disebut terkasihani.

"Bilang aja lo mulai suka. Lo liat. Cupu, jelek, miskin. Mata lo buta jangan-jangan. Lo pernah dikasih apa sama dia memang?" Altair menatap sengit Lucas yang langsung meremas kerah bajunya.

"Jaga mulut lo, Al! Lagi pula kalau gue suka dia kenapa? Lo bener-bener keterlaluan kalau ngomong!"

Altair menepis kasar tangan Lucas darinya. Kemudian laki-laki itu pergi dengan emosi yang tidak terkendali.

"Terima kasih." Alana menatap Lucas yang sama hal menatapnya. Kemudian Lucas tersenyum. "Lain kali kalau jalan hati-hati. Nggak capek lo dibully tiap hari? Gue aja bosen liatnya. Masak lo kesenengan." Alana tertawa kecil sebentar. Kemudian menggeleng dan menjawab, "Insiden kecil yang nggak bisa aku hindari. Kalau tadi nggak terjadi, aku juga nggak bakal dimarah sama Altair."

"Berhubung minum lo tumpah. Gue ganti, jangan nolak. Uangnya nggak seberapa buat gue."

***

"Na!" Alana menoleh. Di kelasnya jam kosong. Gadis itu berniat untuk ke perpustakaan mengembalikan buku. Namun, di tengah jalan. Rombongan Altair seperti biasa duduk di depan kelas dengan rupa berantakan.

"Lo nggak bawa sepedanya lagi?" Revian berdiri dan bertanya.

Alana menggeleng. "Aku belum terbiasa nerimanya. Berhubung sepedaku rusak. Jadi, tadi pagi aku berangkat dengan bus sekolah."

Revian manggut-manggut. Kemudian dia menawarinya sesuatu, "Pulang bareng gue aja ya?" Tawaran dari Revian sontak membuat Alana menoleh ke arah Altair yang juga ada di sana. Nampak Altair hanya diam dengan tatapan yang sungguh menusuk. Diamnya Alana membuat Revian salah paham. Laki-laki itu berujar, "Tunggu di parkiran ya. Tenang, gue beliin sesuatu juga sebelum sampe ke rumah."

Alana ingin bersuara. Revian sudah pergi duluan mengajak teman-temannya ke kantin. Yang terakhir pergi adalah Altair. Namun, sebelum pergi. Dia mendekati Alana.

"Caper tau nggak si. Seneng gitu temen-temen gue deketin lo? Jadi cewek tuh jangan sana-sini mau. Kesannya kaya permen seribu dapet lima. Lo paham kan?"









Up lagi.

Mari Kita Berdamai dengan Luka  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang