Garis Luka💔

1.2K 112 0
                                    

Sejak kejadian tadi, Alana benar-benar menjadi pendiam. Bahkan, saat Altair memboncengnya, berbicara banyak, Alana tidak bersuara.

"Na, lo dengerin gue nggak si?" Altair menghentikan sepedanya, saat sampai di rumah Alana. Alana segera turun, tanpa basa-basi, ingin pergi. Namun, Altair menahan tangannya.

"Alana, lo kenapa? Diem aja, gue ada salah sama lo?"

Harusnya setelah kejadian tadi, Alana pulang saja. Bajunya juga basah kuyup, apalagi dengan wajah berantakan. Dia bisa izin sakit kepada guru. Namun, dia memilih tetap belajar. Dan membiarkan bajunya kering sendiri.

"Gapapa."

"Biarpun gue tolol, gue nggak bodoh soal bahasa perempuan. Lo gapapa, artinya lo kenapa-kenapa. Cerita, Na. Jangan bikin gue khawatir."

"Al, please. Aku udah nahan nangis, jangan kamu tanyain begitu."

"Lo bisa nangis di pundak gue. Cerita aja, Na. Siapa yang buat lo sedih? Belinda sama gengnya? Gue udah gertak mereka."

"Ini bukan masalah mereka Altair! Ini masalah aku sama kamu. Kamu sadar nggak, sama apa yang diomongin Siska dan yang lain itu bener. Aku sama kamu beda dari segi apapun. Aku malu bersanding sama kamu Altair!"

Alana yang sejak tadi menahan bendungan air di matanya, akhirnya, meluruh, di depan Altair. Altair segera, menyeret, Alana untuk duduk berdua di kursi depan rumah.

"Na, jangan dengerin kata mereka. Yang jalanin hubungan itu kita. Nyatanya, gue nggak pernah permasalahin itu semua."

"Karena kamu nggak dibully kaya aku, Al! Aku miskin, jelek, cupu, sedangkan kamu kaya, ganteng, populer, disegani banyak orang. Aku itu apa Altair? Ibarat, di antara berlian, aku cuma batu kerikil."

"Alana stop! Gue nggak peduli tentang omongan orang. Di mata gue lo sempurna, Na. Bahkan, saat banyak orang menyebut kekurangan lo, di mata gue, lo penyempurna."

"Aku malu, Al. Hubungan kita nggak direstui semesta. Apa memang harusnya aku nggak pernah cinta sama kamu?"

"Jangan ngelantur, gue nggak suka. Kalau lo gak cinta sama gue, lantas lo biarin gue linglung cari rumah yang buat gue nyaman? Gue tanpa lo hilang arah, Alana. Please, stay with me."

"Aku sama Siska jauh lebih sempurna Siska di mana-mana Al. Dia cantik, kaya, populer, pinter, sempurna deh. Aku insecure."

"Terus lo mau gue cintanya sama Siska dan milih untuk ninggalin lo gitu? Na, cinta nggak bisa dipaksain. Gue juga sakit, Na liat lo digituin kaya tadi. Jangan nangis, gue nggak bisa liat lo nangis, meski lalu-lalu gue sering buat lo nangis." Altair bersimpuh di depan Alana. Menghapus air mata Alana. Kemudian memeluk erat gadis itu.

"Aku takut kehilangan kamu, Altair. Aku takut, aku takut, semesta benar-benar tidak membiarkan kita bersatu."

"Percayalah, Na. Tuhan punya cara untuk membahagiakan segala ciptaannya. Meski, gue sama lo berbeda. Kita tetap sama-sama, ciptaan Tuhan."

***

Altair dengar ada pasar malam di sudut kota

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Altair dengar ada pasar malam di sudut kota. Malam-malam, Altair mengajak Alana untuk ke sana. Suasananya ramai, apalagi, dengan Lampur gemerlap terang, menghiasi tempatnya.

"Ayo kita bersenang-senang. Siapa tahu, besok gue nggak bisa ajak lo ke sini lagi."

"Kalau kamu nggak bisa ajak aku ke sini lagi, nanti gantian deh. Aku yang ngajakin kamu."

"Hahaha, bener ya. Gue pegang janji lo. Btw, lo duduk bentar, gue mau beli permen kapas."

Tidak lama, Altair kembali dengan permen kapas jumbo di tangannya. Dia duduk di samping Alana, tepatnya di depan wahana komedi putar melihat anak-anak menaiki kuda.

"Lucu ya."

Alana menoleh, kemudian bertanya, "Apanya yang lucu?"

Altair menatap Alana, lalu tertawa. Memberikan permen kapasnya pada Alana. "Kalau kita menikah nanti, lo mau punya anak berapa sama gue, Na?"

"Hah? Mabuk kamu ya. Bisa-bisanya tanya begituan. Nih, bagi dua, biar gak mikir aneh."

"Gimana ya anak kita nanti. Pasti kalau cewek manisnya kaya mamanya deh. Kaya lo. Terus kalau cowok, pasti gantengnya kaya papanya. Kaya gue. Punya anak empat, cewek cowok, enak kali ya, Na? Atau nambah lagi, dua, kembar?"

"Al. Ih udah deh, kok kamu jadi ngelantur gini si. Inget kita masih SMA tau!"

"Memang lo nggak mau jadi istri gue, Na? Kita berkhayal aja dulu hehe."

"Aku malu ih kamu ngobrolin soal menikah sama anak."

"Love you, Na. Gue gak tau mau bilang apa selain cinta, cinta dan cinta."

"Love you to, Altair. I love you then, now, tomorrow and forever."

"Naik bianglala yuk!" Altair berdiri, menjulurkan tangannya, untuk Alana gapai.

"Aku nggak berani, Al. Kalau jatuh gimana?"

"Kalau jatuh, bareng-bareng. Nanti kita mati bareng."

"Ih, dari tadi bercanda mulu. Takut, Al."

"Gak akan jatuh, Sayang. Ayo, nanti gue bilang sama bianglala nya, jangan bikin pacar gue takut."

***

"Al!"

Alana memanggil Altair yang hendak pergi saat mengantarnya kembali ke rumah.

"Ya? Udah kangen ya lo?"

"Bukan. Aku mau kasih ini. Murahan si, tapi bagus menurutku. Aku belinya pas kamu ke toilet tadi. Jangan dilepas ya, Al. Meski pun, abal-abal gini belinya pake perasaan."

Altair menatap pergelangan tangannya, yang baru saja dilingkari gelang hitam pemberian Alana. "Kaya bocah tau, Na. Couple ini?"

Alana mengangguk. "Gapapa, cocok kok sama kamu. Jangan dilepas ya. Kalau gelang ini putus, aku bakal sedih banget, Al. Sekarang, gelang ini lambang hubungan kita."

"Gak bakal. Gue akan jaga. Makasih pacar. Ya udah sana masuk, udah malem. Selamat tidur."











Up!
See you next part 🌛

Mari Kita Berdamai dengan Luka  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang