Altair menepati janjinya. Setelah dari pulang sekolah, laki-laki itu mengajak Alana untuk pergi ke satu tempat. Sebenarnya Altair benci tempat ini. Karena selain dekat dengan panti, tempat indah ini juga saksi mata, bagaimana terlukanya dia. Bagaimana hancurnya kehidupan dirinya.
Keduanya saling memandang deburan ombak yang berlomba-lomba memandikan batu pantai. Iya, Altair mengajak Alana pergi ke pantai. Pantai, yang jarak di kunjungi orang, lantaran, tidak seindah pantai lainnya. Meski begitu, udaranya masih sejuk, dan asri menurut Altair. Apalagi, karena sepi, Altair suka. Suka karena tidak akan banyak orang yang menonton kesedihannya. Dari ujung pantai, burung-burung berbaris saling berterbangan menghiasi cakrawala. Alana membiarkan poni-poninya diterpa angin. Membiarkan hawa dingin air, membuat keriput jemari kakinya.
"Lo hebat, Na. Ngalahin banyak peserta. Gue yakin, pasti karena susu strawberry yang gue kasih. Iya kan?" Altair melirik Alana, yang menikmati indahnya pantai. Bahkan, Altair tidak sadar, jika sesuatu yang dilihatnya sekarang, membuat sudut bibirnya terangkat.
"Mungkin iya. Ngomong-ngomong, kamu beneran tulus sama aku?"
"Apa sampai di sini lo nggak percaya? Sebenarnya gue juga gak yakin si. Soalnya, masa iya gue cinta sama cewek cupu kaya lo?"
"Al, aku nggak suka dipanggil begitu meski keliatannya iya." Alana cemberut. Entah kenapa, sisi jelek Alana, ketika Altair sudah jatuh hati padanya, seketika hilang. Itu menjadi sisi gemas dalam diri Altair.
"Lo cantik, Na." Alana langsung menoleh saat Altair berucap seperti itu. Altair, gemas sendiri. Apa benar ini karma? Padahal, dekat dengan Alana paling tidak diwanti-wanti. Altair mengacak rambut Alana. Membuat gadis itu terhenyak, dan merapikan kembali rambutnya.
"Lo cantik, Alana. Meski nggak dengan fisik, tapi hati lo benar-benar cantik. Gue harus jujur gimana lagi biar lo percaya kalau gue udah terpikat pelet lo?"
"Aku nggak melet kamu, Al."
"Pelet cinta," kata Altair.
Altair sedikit menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Alana. Kemudian, jemarinya menggenggam tangan Alana. "Na, menurut lo. Tuhan lo, baik nggak?"
Alana menoleh. Mendapati Altair yang setia menatap ombak di depan sana. Matanya lurus, bahkan kalau Alana pikir, Altair tidak tahu jika gadis di sampingnya tengah memandangi dirinya. "Kenapa kamu tanya begitu?"
Altair terdengar mengeluarkan napas berat. Kemudian menjawab, "Soalnya Tuhan gue nggak baik, Na. Dia nggak adil. Masa gue gak pernah dikasih bahagia." Altair melempar batu kecil ke pantai. Dia terkekeh lalu menatap Alana. "Na. Sejatinya gue, hidup cuma penuh luka." Alana mendapati mata Altair yang berkaca-kaca. Sungguh, sangat terkejut Alana saat Altair memeluknya.
"Ceritakan bagaimana Tuhanmu, Na."
"Al. Tuhanku, dan Tuhanmu itu sama. Dia adil, dan sayang terhadap ciptaannya. Kalau kamu butuh teman cerita. Ada aku, Altair. Jangan dipendam sendiri." Alana membiarkan Altair di pelukannya. Mengusap punggung laki-laki tegap itu, yang nyatanya tidak setegap itu. Punggungnya hanya kebohongan semata. Nyatanya, laki-laki itu, sama seperti anak kecil yang kehilangan balon terbangnya.
"Gue nggak yakin ada orang yang mau dengerin keluh kesah gue. Di dunia ini, semuanya bulshit, Na."
"Dan kamu nggak percaya sama aku, Al?" Alana melepas pelukannya. Dia tersenyum, menggenggam tangan Altair. "Kamu bisa cerita sama aku. Meski apapun, aku tetap bodoh dalam percintaan Al. Nyatanya, sampai saat ini, hati ini, tetap berlabuh padamu."
Altair mengembuskan napas panjang. Dia menyenderkan kepalanya di pundak Alana. "Gue punya penyakit self injury. Luka yang sering lo obati, itu gue yang buat, Na. Itupun, gue lakuin, buat kesenangan diri gue sendiri."
"Bahkan kamu sadar hal itu dibenci sama Tuhan?"
"Karena Tuhan nggak pernah ada di pihak gue. Jadi, buat apa gue tetep patuh?"
"Setidaknya, sehancur-hancurnya kehidupan dirimu, Al. Masih ada Tuhan yang tetap melindungi mu."
"Nyokap dan bokap gue bercerai, Na. Lo tau karena siapa? Karena wanita murahan yang Gema sebut mama. Sejak hadirnya wanita itu, kehidupan gue hancur, Alana. Nyokap gue sendiri, gue yang yang jadi temannya. Di rumah, gue selalu dibandingin sama Gema. Di rumah, gue selalu mendapatkan perlakuan tidak baik dari Papa. Dan sekarang, mama gue, Na. Mama gue udah nikah lagi. Dia hamil, dan itu sama sekali nggak buat gue bahagia. Yang ada, gue stress, Na. Mama sama Papa, punya kebahagiannya, sedangkan gue?"
"Aku nggak pernah ada di posisi kamu, Al. Tapi, aku juga sama. Di posisi broken home. Ayah sama ibu, adik-adik aku juga meninggal. Hanya aku yang tersisa. Aku tinggal sama bibi di Bandung. Dan SMA, aku memutuskan untuk merantau. Aku di rumah sendiri, ngandelin kue-kue yang dijual buat kebutuhan sehari-hari sama uang saku olimpiade. Kalaupun begitu, aku tetap percaya sama Tuhan. Percaya, jika dengan sakit apapun hari ini, pasti sesuatu yang bahagia akan datang. Aku sering berdoa. Meminta Tuhan, untuk menghadirkan kesabaran yang besar agar aku tidak menjadi orang yang cepat mengeluh. Di sini, yang terluka bukan hanya aku, dan kamu, Al. Tapi juga semesta. Karena sejatinya, sesuatu kebahagiaan akan didapatkan saat kita udah benar-benar terluka."
"Berjanjilah, Na. Seburuk apapun gue. Lo tetap di sisi gue. Gue nggak akan rela lo deket sama siapapun termasuk Gema. Gue nggak suka, Alana. Lo harus jadi milik gue. Biarpun, semesta, bahkan agama dinding pemisahnya."
Alana tersenyum kecut. Dia lupa, jika hubungannya itu LDR agama. Sulit memang. "Altair, udah mau magrib. Aku harus pulang," kata Alana.
"Oke. Kita di panti aja ya? Ada seseorang yang harus gue kenalin."
Selamat hari Minggu
Sudah up. See you next part 🌛
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Berdamai dengan Luka (TAMAT)
Novela JuvenilStart : 15 April 2021 Selesai : 11 Juli 2021 Cerita ini hanya tentang luka. Tentang laki-laki, perempuan dan semesta yang saling mendapat luka. Ketiganya berjuang untuk hidup bahagia. Meski pada akhirnya salah satu mereka tetap terluka di jalur baha...