H-2

15 5 0
                                    

“Pepatah lama mengatakan, 'tertawalah sebelum tertawa itu dilarang', tapi takdir bilang berbahagialah sebelum kesedihan itu datang.”

~Lsnaulya~
°-----------------°

Apa Ayah enggak salah ngasih persyaratan kayak gini?

Pertanyaan itu terus saja terucap dari bibir Zain sejak mendapatkan izin serta syarat dari Ayah. Konsentrasi belajar Zain jadi buyar memikirkan persyaratan dari sang Ayah.

Zain senang mendapatkan izin dari ayahnya untuk mengikuti pasaran di pesantren, tapi syarat yang diberikan ayahnya membuat Zain kebingungan atau bahkan menjadi ragu untuk mengikuti pasaran itu.

"Apa Ayah sengaja ngasih persyaratan itu supaya aku enggak jadi ikut pasaran?" ujar Zain bermonolog, "Kalau gitu aku harus bisa buktiin kepada Ayah kalau niatku untuk ikut pasaran itu kuat dan aku bisa memenuhi persyaratan darinya."

Zain sudah memutuskan untuk maju, namun beberapa saat kemudian dia mulai ragu lagi. Zain mulai berpikir kalau menjadi remaja itu gampang-gampang-susah. Ketika dia memutuskan sesuatu pasti ada aja yang membuatnya jadi labil seperti saat ini.

"Emm, tapi kalau persyaratan Ayah ini bukan cuma akal-akalan gimana? Akh, pusing!"

Tiba-tiba terdengar suara dering panggilan masuk dari ponselnya yang ada di atas meja. Zain segera bangkit dari posisi rebahannya untuk mengangkat panggilan telepon itu.

"Hallo, gais! Kangen enggak sama aku?" tanya Ira dari seberang telepon dengan wajah centilnya. Langsung saja Zain dan Zara berkata 'Enggak' secara bersamaan.

"Is, kompak banget julidnya."

Mendengar itu Zara tertawa renyah, tapi tidak dengan Zain yang masih terlihat galau. Hal itu menarik perhatian Zara sekaligus Ira. Pasti ada yang tidak beres dengan pembicaraan Zain dan Ayahnya. Setahu Zara harusnya tadi Zain sudah selesai disidang sama ayahnya.

"Kenapa, Zain? Kayak orang galau aja," tanya Zara membuat Zain mendengkus pelan.

"Iya, kayak habis dijodohin sama orang yang enggak dikenal aja, haha," timpal Ira mencoba menggoda Zain.

"Emang iya," jawab Zain dengan sedikit kesal. Baik Zara ataupun Ira, mereka kini tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah Zain yang sudah benar-benar menjiwai.

"Oke, kalau gitu jangan lupa undang kami berdua sekeluarga, ya, Zainku."

Zain hanya menjawabnya dengan deheman singkat sebagai tanda persetujuan. Zara mengacungkan jempolnya ke depan kamera dan Ira bertepuk tangan senang.

"Jadi, ada apa kalian telepon malem-malem gini, mana VC lagi," ujar Zain mencoba untuk beralih ke tujuan inti mereka saat ini.

"Ya, mau ganggu kamu, lha. Mau ngapain lagi?"

"Yaudah, kalau gitu aku matiin aja VC-nya. Dasar bocah, ganggu aja!" putus Zain kemudian berniat mematikan panggilan vidio itu. Saat ini Zain sedang membutuhkan otak yang jernih untuk bisa memikirkan persyaratan dari ayahnya itu.

"Eh-eh, tunggu dulu. Kita bukan cuma mau itu, Zain," instruksi Zara dengan cepat, "Gimana hasil sidangnya?" tanya Zara kemudian setelah Zain benar-benar stay di panggilan Vidio mereka.

Ira mengangguk membenarkan ucapan Zara membuat Zain berpikir antara harus memberi tahu sahabatnya atau menyembunyikannya.

Suasana panggilan Vidio itu menjadi hening. Zara dan Ira menunggu Zain menceritakan. Bagaimana sidang yang dijalaninya tadi, sedangkan Zara masih menimang bagaimana cara memberitahu mereka tanpa belibet.

"Aku ... diizinin." Dua kata yang keluar dari bibir Zain membuat Zara dan Ira berteriak senang, sampai ketika mendengar kelanjutannya mereka terdiam lagi.

"Tapi ada syaratnya."

"Apa syaratnya?" tanya Ira kemudian.

"Ya, tadi itu syaratnya," jawab Zain dengan memutar bola matanya.

Sontak saja Zara dan Ira dengan kompak mengatakan 'Hah, yang mana?' pada waktu yang berdekatan. Zain mendengkus kesal, berarti mereka tidak serius dengan ucapannnya tadi.

"Ayah kasih tiga syarat. Aku enggak tahu apa ini cuma akal-akalan nya aja atau emang beneran," jelas Zain yang masih memberikan tanda tanya bagi Zara dan Ira.

"Tunggu dulu, jadi maksudnya gimana? Ayah kamu cuma bercanda gitu?" tanya Ira kebingungan.

"Bukan gitu, Ra."

"Terus gimana, Zain?" ucap Zara yang ikutan kesal karena Zain seperti memberi teka-teki kepada mereka.

"Susah jelasinnya," keluh Zain, "kita ketemu aja besok," putus Zain pada akhirnya.

"Yah, gimana, sih. Aku tidurnya enggak bakalan nyenyak ini," protes Zara sedikit tidak setuju dengan usulan dari Zain.

"Iya, Zain. Kita nelpon bahkan sampai Vidio call gini itu pengen dengernya sekarang. Bukannya nanti. Lagian besok aku sama Zara mau beli keperluan buat di pondok nanti."

"Ya udah, besok aku ikut aja. Lagian Ayah juga udah setuju, jadi aku juga harus beli keperluan buat pasaran, kan?" jawab Zain masih kekeuh dengan usulannya.

"Ya udah, oke. Tapi janji besok harus cerita. Awas aja kalau sampai ngelak lagi," ancam Zara.

"Iya, iya. Udah sana , tidur! Udah malem juga. Awas kalau masih on itu WhatsApp sama Facebook," ancam balik Zain pada mereka berdua.

Mereka berdua terkekeh, pasalnya sudah berapa kali Zain mengingatkan mereka untuk tidak tidur terlalu malam, tapi tidak didengarkan oleh mereka. Zain tidak tahu saja gimana jadi santri yang satu tahun enggak bisa nyentuh ponsel.

Panggilan video itu diputuskan. Zain kembali merebahkan diri di atas kasurnya. Dia masih memikirkan gimana kelanjutan dari kisahnya besok nanti.

Haruskah aku ikuti semua persyaratan dari Ayah?

****

"Bu, Yah, Zain pergi dulu," pamit Zain kepada ibu dan ayahnya yang sedang duduk di meja makan. Tidak lupa dia menyalami keduanya dengan mengecup tangan mereka.

"Pergi ke mana, Zain?" tanya Ibu yang sedang menemani Ayah minum teh pagi ini.

"Zain mau beli keperluan buat pasaran lusa, Bu," jawab Zain dengan senyuman ceria seperti biasanya.

Ayah langsung mengalihkan pandangannya dari koran kepada Zain. Dia menerka-nerka kalau Zain sudah setuju dengan syarat yang dia ajukan. Sedangkan Ibu, dia bersikap biasa-biasa saja. Zain pikir ibunya sudah mengetahui semuanya dari sang ayah.

"Kamu masih punya uangnya?" tanya Ibu memastikan. Zain mengangguk sebagai jawabannya.

"Ya udah, kalau gitu Zain berangkat. Ibu mau nitip apa?" tanya Zain.

"Emm, enggak ada kalau sekarang. Eh, ada, tapi nanti aja Ibu beli sendiri."

Setelah mendapat jawaban dari ibunya, Zain kemudian melangkahkan kakinya ke luar rumah. Kedua sahabatnya sudah menunggu dirinya di depan kompleks sejak tadi.

"Menurut Ibu, Zain setuju sama persyaratan dari Ayah?" tanya Ayah setelah tubuh Zain menghilang di balik pintu.

Ibu menjawab pertanyaan Ayah dengan deheman, tapi Ayah masih belum puas dengan jawaban yang Nia berikan. Ayah terus bertanya mengenai Zain setuju sama syaratnya atau tidak dengan susunan kata yang berbeda-beda.

"Ayah, Ibu enggak tahu. 'kan Ibu bukan Zain. Kenapa enggak Ayah tanya sendiri aja tadi sama Zain?" jawab Ibu dengan senyuman yang menyiratkan bahwa dia sedang kesal.

Akhirnya Ayah terdiam mendengar jawaban itu dari Nia. Dia takut kalau istrinya itu akan marah dan berakhir dengan mendiamkan dirinya selama seharian penuh.

°-----------------°

#menulis30hzukzezjabar

Aku padamu, Mang Santri!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang