Asrama

12 4 0
                                    

"Segala sesuatu itu tentang keilmuan, bukan hanya tentang kemampuan apalagi soal kesombongan."

~Lsnaulya~

°-----------------°

"Zain," panggil Ibu dari pintu kamar yang terbuka setengahnya.

Zain yang sedang membereskan barang-barangnya segera menoleh dan tersenyum manis. Ibunya mendekat dan duduk di kursi belajar Zain dengan posisi saling berhadapan.

"Kamu sudah siap?" tanya Nia mencoba memastikan niat dari putrinya. Zain tersenyum lagi sebagai jawaban.

Dari raut wajahnya, Zain tahu kalau ibunya sedang mencemaskan dirinya. Zain segera menyelesaikan pekerjaannya lalu menghampiri Nia. Dia kemudian berjongkok di hadapan sang ibu dan merebahkan kepalanya di atas kedua paha Nia.

Nia kemudian mengusap pelan kepala Zain yang tertutup kerudung jingga itu. Rasa berat untuk melepaskan anak semata wayangnya pergi jauh walau hanya satu bulan, tidak bisa ia tutupi dengan mudah.

Berbagai macam pemikiran sudah beberapa kali hampir menggoyahkan keputusannya membiarkan Zain pergi ke pesantren. Namun, semua itu dia tepis secara mentah-mentah. Melihat raut bahagia yang terpancar dari wajah putrinya sudah lebih dari cukup untuk mengobati kecemasannya selama beberapa minggu ke depan.

"Ibu jangan khawatir sama Zain, ya. Di sana Zain enggak sendiri, kok. Ada Zara, Ira, sama temen-temen yang lainnya," ucap Zain, "Mereka pasti orangnya baik-baik, 'kan mereka udah dibekali ilmu agama."

Nia menahan deru napasnya yang sedari tadi ingin memuntahkan isak tangis. Dia mengerti dengan keinginan Zain yang satu ini, tapi dia tidak mengerti dengan keputusan Zain yang menerima persyaratan dari sang Ayah dengan begitu mudahnya.

Nia saja yang membayangkan mendapat persyaratan seperti itu sudah merasakan bagaimana nanti kedepannya. Tapi putrinya ini terlalu penurut untuk sekedar menolak permintaan sang Ayah yang mungkin membuat hatinya meraung-raung kesakitan.

"Zain," ucap ibu memberi jeda, "Kamu yakin sama persyaratan dari Ayah?" lanjut Ibu membuat napas Zain mendadak berat.

Namun, sedetik kemudian dia tersenyum masih dalam pangkuan sang ibu dan mengatakan kalau dirinya tidak keberatan dengan syarat yang diajukan Ayah. Dia menganggap kalau ini memang sudah takdir lalu bagaimana dia bisa melipir.

Suara langkah kaki masuk ke indera pendengaran Zain dan juga Nia. Ketika mereka menolehkan wajah ke sumber suara, mereka langsung menemukan sosok Ayah yang sedang mereka bicarakan tadi. Beliau berpakaian rapi dengan kemeja-koko berwarna navy-nya juga celana hitam bahan yang menambah ketampanan Ayah di mata Zain.

"Zain, itu Zara ada di depan. Dia udah mau berangkat tuh," seru Ayah, "Kamu udah siap 'kan?"

"Iya, Yah. Zain udah siap," jawab Zain kemudian mengambil barang-barang yang dia bereskan dan pergi menuju ke luar, seperti kata ayahnya tadi. Ketika melewati Ayah, beliau mengambil alih tas yang Zain tenteng dan menyuruhnya untuk pergi duluan. Zain setuju dan pergi meninggalkan Ayah dan Ibu.

Ayah melihat ke arah Ibu yang terlihat begitu sedih harus ditinggal Zain. Dia mendekat kepada Ibu dan merangkulnya, mencoba menguatkan dan meyakinkan Ibu.

****

Suasana ramai mengusik ketenangan Zain yang sedang memainkan ponsel pintarnya di dalam mobil. Dia sudah sampai di area pondok pesantren beberapa menit yang lalu. Sekarang dia sedang mencoba menghubungi Zara dan Ira agar mereka bisa bersama-sama masuk ke pondoknya.

Aku padamu, Mang Santri!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang