Syarat

25 7 2
                                    

"Tidak peduli seberapa hebat seseorang, kalau dia saja tidak memiliki rasa hormat kepada ibunya, bagaimana bisa dia memiliki rasa hormat untuk mengangkat kepala di hadapan Tuhannya."

~Lsnaulya~

°-----------------°

Suara hentakkan pelan sandal pada lantai terdengar begitu mengerikan bagi Zain untuk saat ini. Ibunya menatap Zain dengan sorot yang tidak terbaca dan Zain hanya bisa menunduk tanpa berani untuk menatap balik ibunya itu.

"Jelaskan," pinta Nia dengan nada berat. Permintaan yang menurut Zain terdengar seperti perintah itu membuatnya terlonjak kaget.

Bagaimana caranya Zain menjelaskan perihal pasaran yang dia sembunyikan kepada sang ibu, sedangkan ibunya itu sudah mengetahuinya beberapa waktu yang lalu.

Karena tidak memiliki persiapan, akhirnya Zain hanya terdiam sambil tertunduk merasa bersalah. Zain menyesal karena telah menyembunyikan sesuatu dari ibunya sehingga membuat dirinya terjebak dalam suasana tegang seperti ini.

"Zainida Almera," panggil Nia sekali lagi lebih menuntut. Zain tahu kalau orang tuanya sudah memanggilnya dengan nama lengkap berarti mereka sedang mode serius, jadi Zain harus segera menjawab pertanyaannya.

"Emm, Zain ... Zain mau ikut pasaran di pe-pesantren, Bu," jawab Zain ragu pada akhirnya. Dalam hati dia merutuki mulutnya yang tidak bisa diajak kompromi sehingga berbicara gagap.

Nia terdiam mendengar pengakuan putrinya. Walaupun terlambat, tapi Zain berani mengatakannya. Meskipun begitu Nia tidak bisa langsung memberikan izinnya pada Zain. Masih ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, salah satunya adalah keputusan suaminya.

"Kenapa kamu mau ikut pasaran?" tanya Nia setelah beberapa saat terdiam. Kali ini giliran Zain yang terdiam ketika mendapat pertanyaan seperti itu dari ibunya.

Otaknya berhamburan mencari jawaban dari pertanyaan ibunya, tapi tidak ketemu. Zain baru sadar kalau dia masih belum memiliki alasan yang kuat untuk ikut pasaran bersama kedua sahabatnya.

Ya, itu dia alasannya. Tapi alasan itu tidak cukup untuk mendapatkan izin dari Ibu apalagi Ayah.

"Zain mau buat Ramadhan kali ini lebih bermanfaat, Bu. Mau nyari ilmu sama pengalaman juga," ucap Zain masih tetap menunduk. Kedua tangannya terkepal sempurna di bawah meja.

"Lalu bagaimana sama sekolahmu?" tanya ibunya dengan nada yang sedikit menarik.

Kedua mata Zain mulai memanas. Dia sudah tahu kalau akhir dari keinginan yang satu ini akan seperti apa. Hanya membuat hatinya sakit dan berakhir dengan dia yang menangis memendam keinginannya.

Meski begitu Zain tidak bisa berbuat apa-apa. Tugasnya sebagai putri adalah menuruti kedua orang tuanya untuk mendapatkan ridha dari-Nya, bukan bersikap egois dan melawan orang tuanya.

Nia berdiri dan meninggalkan Zain sendirian di ruang keluarga. Sebelum benar-benar pergi, dia mengatakan sesuatu yang membuat Zain sadar kalau masalah ini akan berkepanjangan.

"Nanti kita bicarakan lagi kalau Ayah udah pulang."

Kini bahu Zain semakin merosot ke bawah. Harapannya sedikit-sedikit mulai tertutup rapat. Setelah ini mungkin dirinya harus menguatkan diri lagi dan meminta maaf kepada kedua sahabatnya karena tidak bisa ikut bersama mereka.

****

"Ira, katanya kitab buat pasaran nanti udah ada. Kita harus cepet balik lagi ke pondok, biar enggak kehabisan kitabnya," kata Zara ketika di jalan sehabis pulang ngaji.

Aku padamu, Mang Santri!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang