“Ketika yang jauh terasa dekat dan yang dekat terasa begitu jauh, maka jangan pernah lupa kalau ada yang selalu membersamai kita tanpa memandang jauh-dekatnya kita terhadap-Nya.”
~Lsnaulya~
°-----------------°
Zain termenung sendirian di kamarnya dengan tangan memegang selembar kertas berisikan format pendaftaran untuk ikut pasaran beberapa hari lagi. Dia masih belum bisa mengutarakan keinginannya itu kepada orang tuanya. Bukan karena apa-apa, hanya saja dia sudah tahu apa jawaban dari orang tuanya nanti. Dia terlalu takut untuk mendengar kata ‘tidak’ sebagai jawaban dari keinginannya.
Kemarin ketika reuni, Ira sudah mengingatkan Zain untuk segera meminta izin orang tuanya. Dia mendapat kabar kalau pendaftaran akan ditutup lebih cepat dua hari sebelum kegiatan dimulai, mengingat jumlah santri yang mendaftar begitu banyak. Sekarang Zain mulai meragukan niatnya ikut pasaran bersama Zara dan Ira.
Dari cerita yang Zain dengar, pasaran itu tidak mandang usia. Siapa pun boleh mengikutinya. Baik itu santri junior seperti dirinya, maupun santri senior yang sudah lama tinggal atau bahkan yang sudah menikah. Sedangkan Zain belum memiliki pengalaman mondok di pesantren manapun selain mondok di tempat dia ngaji waktu kecil sampai sekarang.
“Zain,” panggil Ibu dengan membuka pintu kamar yang tidak dikunci. Sontak hal itu membuat Zain terkejut dan segera menyembunyikan formulir pendaftaran itu di belakang tubuhnya. Tubuhnya berubah menjadi tegang dan kaku. Dia takut kalau ibunya mengetahui tentang hal yang belum sempat diberitahukan.
Merasa heran dengan sikap yang ditunjukkan putrinya, Nia mengurungkan niat awal kenapa dia mencari Zain. Bukannya merasa tenang Zain mala semakin gugup ketika ibunya itu mendekat dan duduk di sampingnya.
“Kamu kenapa, Zain? Itu apa yang ada di tanganmu, sini Ibu liat,” ucap Ibu membuat Zain membulatkan matanya, Apa Ibu tadi melihatnya? batinnya.
Belum sempat Zain mengelak Ibu sudah mengambil kertas itu tanpa bisa Zain tahan. Sekarang Zain merutuki nasibnya yang sudah seperti maling yang tertangkap basah saja. Dia hanya bisa pasrah ketika ibunya mulai membalik kertas itu bersiap untuk membacanya. Dalam hati Zain berdoa semoga ibunya tidak membaca kertas itu, kalaupun dibaca semoga ibunya bisa memberikannya izin.
Beberapa detik kemudian terdengar suara ketukan di pintu yang terbuka. Zain mengela napas lega dan tersenyum senang, Allah tela mengabulkan doanya. Zara berdiri di depan pintu dan berujar kalau ada tamu ibunya di depan. Zain tidak tau sejak kapan Zara ada di rumanya, tapi yang pasti Zara suda menyelamatkannya saat ini.
Ibu meninggalkan kamar dan Zara mengampiri Zain dengan setengah berlari. Dia tahu pasti ada sesuatu yang terjadi sebelum dirinya datang sehingga Zain memeluknya begitu erat sekarang. Zain memekik tertahan dan memutar pelukan mereka membuat Zara merasa pusing tuju keliling.
Setelah mendapat protes dari Zara akirnya Zain mengentikan aksinya itu dan tertawa geli meliat wajah pucat Zara. Zain kemudian membawa Zara untuk duduk di tepian kasur dan memberikannya minum.
"Gila kamu, Zain! Pusing ini kepala" omel Ira ketika keadaannya mulai berangsur normal. Tangannya bergerak memukuli Zain tanpa ampun sebagai balasan dari apa yang Zain tadi lakukan kepadanya.
Zain hanya tertawa dan berusaha menghindar dari serangan Zara. Tidak terlalu keras Memang, tapi cukup untuk membuatnya sakit kalau dilakukan terus-menerus. Saat lelah mulai menyergap, mereka baru berhenti dan duduk lesehan di samping tempat tidur Zain.
"Hah-hah, Zain tadi pas lagi ada ibumu kayak seneng banget lihat aku," ujar Zara dengan nafas yang masih terengah-engah.
Zain tidak menjawab, dia malah mencoba mengalihkan perhatian Zara dengan mengangkat topik pembicaraan lain. Zain tidak mau memberitahu Zara dulu untuk saat ini. Dia takut kalau nanti Zara malah bicara langsung kepada ibunya.
Zara mengerti kalau Zain sedang mencoba mengalihkan perhatiannya, tapi dia tidak bodoh untuk sekedar tahu kalau sahabatnya sedang mempunyai masalah. Dia akan mengikuti alur yang dibuat Zain, berpura-pura tidak menyadari masalah Zain.
Ketika asyik-asyiknya menonton film, tiba-tiba pintu kamar diketuk seseorang. Zain berdecak malas karena harus membukakan pintu kamarnya. Tokoh utama perempuan dalam film yang dia tonton bersama Zara sedang menghadapi masa kritis akibat tabrakan yang dialaminya.
Perjuangan antara hidup dan mati si tokoh utama membuat Zain dan Zara sama-sama ikut tegang. Bahkan sebelumnya Zain sampai menggigit ujung bantal yang ada dipangkuan ya untuk melepaskan rasa gemasnya.
Pintu kamar diketuk lagi. Kali ini sedikit lebih keras dari yang tadi dan lebih tidak sabaran. Zain akhirnya bangkit dari posisi rebahan dengan rasa kesal yang melingkupinya. Dia membuka pintu dengan sedikit kasar, menunjukkan kekesalannya pada orang yang mengetuk pintu tadi.
Saat pintu terbuka, Zain langsung dihadapkan dengan raut wajah datar sang ibu yang mengangkat tinggi-tinggi kertas berisi formulir pendaftaran pasaran.
Seketika raut wajah yang tadinya kesal berubah menjadi pucat pasi. Apa ini artinya … tidak, batinnya berteriak menolak kebenaran. Tidak mungkin kalau ibunya telah membaca formulir itu, sedangkan tadi formulirnya–.
°-----------------°
#menulis30hzukzezjabar
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku padamu, Mang Santri!
Duchowe#2 in salafi [15-04-2021] Ini kisah dia, Mang Santri yang tidak akan pernah disebutkan namanya dalam cerita ini. Namun, akan selalu terpatri indah dalam hati seorang Zain. #menulis30hzukzezjabar