Seorang Dihyan/Pertemuan Pertama

889 91 0
                                    

copyright ©2021

Baju longgar yang kupakai terlihat pudar dari warna awalnya, hijau muda. Terik matahari menerpa kulitku yang sudah tampak memerah karena sudah hampir tiga jam bersepeda di bawah teriknya matahari untuk sekedar menghindar dari ibu panti yang akan terus mendebatku untuk mengambil jalur beasiswa gratis.

Aku tidak akan melanjutkan sekolahku. Itu keputusan final yang tidak bisa mereka ganggu gugat. Tapi pria paruh baya di dalam balutan jas mahalnya itu terus mengancam ibu Sarti untuk segera mengeluarkannya dari panti jika tidak menerima beasiswa itu, tentu itu adalah permasalahannya.

Tangan kurusku menyeka keringat yang keluar dari pori-pori, sepeda besi yang kubawa melaju dengan kencang menuju jalan pulang. Di depan rumah telah berjejer motor-motor besar dan satu mobil sedan hitam melintang. Dengan segera aku turun dan membiarkan sepeda tua itu jatuh menghantam bebatuan di samping teras.

Pria tua itu datang lagi!

Tanganku mengepal dibuatnya, emosi yang selama ini sudah kujaga mengepul menjadi kata yang mengganjal di tenggorokan, siap untuk dilontarkan. Tapi yang kudapatkan adalah hal lainnya, bukan seorang pria paruh baya yang kubenci wajahnya.

Seorang pria yang berumur tiga tahun di atas umurku, seorang pria yang kumimpikan akan menjadi suamiku kelak dan membawaku pergi dari sini dan pindah ke sebuah rumah minimalis pinggir pantai. Imajinasi semu yang semakin membuat pikiranku makin memuja kesempurnaannya.

Senyumannya terlalu sayang untuk dilewatkan, memang, aku berpikir untuk memberikan julukan manusia termanis sepanjang masa untuknya yang bersedia membuang waktu berharganya untuk mengunjungi kelompok kumuh kami dan tentu saja, aku termasuk di dalamnya.

Lihatlah setelan mahal yang melekat pas di sekeliling bisep kuatnya, atau lihatlah betapa pedulinya dia kepada Ida, perempuan kecil spesial berumur delapan tahun, dengan memeluknya juga menyuapinya bubur sayur yang kami buat tadi pagi.

Apapun yang Dihyan lakukan terlihat tegas dan menjelaskan betapa pedulinya ia pada anak-anak kecil yang tidak mengenal apa rasanya cinta dari pertama kali mata mereka mengenal warna tanpa nama di dunia ini. Lagi-lagi, aku termasuk di dalamnya.

Aku masih tidak mengerti lebih dalam ketika kaki panjang itu membawa tubuhnya menuju kearahku. Mungkin ia merasa jika aku menatapnya sangat lama sekali sambil menempel di dinding, persis seperti cicak.

Mataku segera bergerak untuk mencari titik terjauh yang bisa kulihat, menjauhkan tatapanku dari tatapan lembutnya yang menusuk. Tatapanku jatuh pada beberapa anak panti yang menyantap makanan mereka dengan lahapnya di samping tubuh Ida.

"Kau terlihat seperti burung hantu kecil yang mengamati tikus-tikus kecil dengan tatapan lapar." Suara berat dan serak itu terdengar ketika bunyi derap sepatunya berhenti dan udara disekitarku terhalang oleh tubuh tegapnya. "Aku belum pernah melihatmu. Siapa namamu?" Ucapnya tenang setelah berhenti melangkah.

Aku merasakan kegembiraan yang luar biasa meluap, dengan suara gemetar aku menjawabnya, "Maravey, tuan." Pria itu mengernyit sebagai balasannya, terlihat lebih dewasa ketika kerutan-kerutan halus terlihat di antara kedua alisnya yang lebat dan kecoklatan.

"Panggil aku dengan nama depanku, manis. Aku yakin kamu mengenalku." Terselip nada sombong di dalam suaranya ketika ia mengatakannya.

Panas merambat di kedua pipiku, warna merah merambat dengan cepat ketika ia menambahkan 'gula' di kata-katanya. Aku semakin jatuh dibuatnya. "Ya, Dihyan." Aku bergumam sendiri dan menatap kedua kakiku yang kotor terkena tanah sehabis berlari tadi. Sial, memalukan sekali.

"Kau.. anak yang menolak beasiswa itu ya? ternyata." Ia duduk di sebelahku, ada sebuah sofa kecil yang hanya cukup untuk ia duduki. "Bukan." Balasku cepat, rasanya euphoria yang awalnya kusenangi lama kelamaan menjadi sakit yang melilit. "Kau akan menerimanya, paham?" Ucapnya sedikit memaksa.

Tangannya mencengkram pergelangan tanganku, gemetar menguasai seluruh jariku. Aku meringis karena jari-jarinya mencengkram tanganku begitu kuat hingga tulangku menimbulkan bunyi gesekan.

Dia memainkan jari-jariku. "Kau akan menerimanya jika kau mau kita bertemu kembali," senyumannya terbit dan kepalaku dengan cepat mengangguk seperti kegirangan. Rasa gembira dan cinta semakin mengental di dalam darahku walau Dihyan tersenyum misterius.

"Sampai bertemu lagi, manis."

Ya, sampai bertemu lagi Dihyan.

Man, Over LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang