CHAPTER 02

697 94 2
                                    

HIS MADNESS
not edited.

Keesokan harinya, aku menemukan tubuhku terbaring di atas ranjang panti. Ibu panti duduk di samping nakas, perempuan itu membawa sebuah nampan dari logam dengan satu gelas kaca berisikan susu. Oh, dan ia bisa mencium bau roti yang baru keluar dari panggangan diletakkan di atas piring.

"Selamat pagi, Mara." Ibu panti menepuk puncak kepalaku beberapa kali, matakut yang terasa memberat dan pandanganku menjadi terbatas, aku hanya bisa menebak, akan ada memar di sekitar kelopak dan kantung mataku. "Maafkan ibu, ibu beruntung karena mereka berhasil menyelamatkanmu walau sedikit terlambat." Tatapannya berkaca-kaca, aku membuang muka dan mendengus.

Bagus, sekarang sudut bibirku berkedut dan terasa perih tertarik ketika aku melengkungkan bibirku. "Aku tidak apa-apa." Aku memaksakan senyum kecut, ketika ibu panti menepuk dahinya pelan. "Astaga seharusnya aku membuatkanmu bubur, bukan roti. Maafkan aku Mara, aku akan kembali dengan sedotan bambu dan bubur ayammu." Perempuan itu membawa nampanku pergi.

Jadi ini rasanya menuju kematian, rasanya semua tubuhku mati rasa tapi menyimpan perih yang tak bisa kutolong dengan kata-kata dalam pengungkapannya. "Kak." Bayu berada di sana di dalam balutan kemeja putihnya yang kusam, tangan kecilnya memainkan kancing-kancing bajunya. "Kemari." Ucapku dengan serak sambil menggerakkan tangan.

"Kak Dihyan datang kemari tadi." Bayu tersenyum kikuk setelah berhasil mendudukan tubuhnya ke atas kasur. "Dia menitipkan surat ini." Bayu mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya, sebuah amplop putih dengan lilin sebagai perekatnya. 'D' tercetak di perekatnya.

Aku menepuk kepala Bayu dan membiarkan bocah kecil itu pergi dan bermain bersama yang lain sementara rasa pusing kembali memenuhi kepalaku. Ketika aku membukanya, di dalam amplop ada lipatan kertas berwarna hitam dengan kata-kata yang berwarna putih. Sangat indah, huruf sambung, sepertinya pria itu dididik keras dalam menulis. Karena teman pria di kelasnya hanya menulis seperti sandi morse.

Tapi pria ini, tulisannya tidak terlihat kaku dan rapi.

'Aku bukan orang yang bisa mengucapkan kata maaf begitu saja dengan surat, jika aku melakukannya, aku memang tulus bermaksud mengatakannya. Maafkan aku, aku memang salah, kau bisa membalas segala perbuatanku nanti besok hari.

Itu semua karena aku sangat tak suka kau bertemu dengan Brenn. Entah kenapa, pria itu berhasil mengusik ketenangan dan kehidupan kita berdua, jadi jauhi dia dan terimalah permintaan maafku ini, Mara.'

Jantungku berdebar tanpa alasan, entah ini adalah debaran yang sama seperti pertemuan pertamaku dengannya atau ketakutan dari trauma yang kualami. Aku tersenyum manis, katakanlah aku gila. Tapi surat yang ditulis Dihyan berhasil membuatku tersenyum manis.

Asap yang mengepul dari mangkuk keramik berisikan bubur yang lembut dengan taburan abon ayam yang kugemari sejak hari pertama aku di sini, aku meraihnya, lalu melahapnya dengan perlahan dengan senyum di sela. Aku tertawa kecil, hal itu membuat ibu panti tersenyum dan menepuk puncak kepalaku. "Pelan-pelan." Ucapnya keibuan.

"Mara!" Suara Bayu disusul lari kecilnya berhasil membuat keributan, laki-laki itu menekuk kedua kakinya lalu memegang kedua lututnya. Dadanya naik turun dan ia menatap Mara dengan pandangan panik. "Dihyan! Dihyan di sini!" Pekiknya tertahan, Mara membelakakan matanya ketika nama Dihyan disebut oleh bibir mungil Bayu.

"Halo Mara." Suara serak itu terdengar dari pintu kamarnya yang terbuka, disusul dengan tubuh dalam balutan jas yang menyelip masuk melewati cela kosong. "Ibu akan meninggalkan kalian berdua, jika kau perlu sesuatu Mara, jangan sungkan untuk menekan bel ini." Ibu panti menunjuk sebuah kotak dengan tombol karet di tengahnya. Dihyan mendengus sebagai balasan.

"Aku yakin Mara tidak akan membutuhkan apapun selama ada aku di sini." Ia berkata dengan intonasi penekanan di setiap kata. Sementara ibu panti hanya tersenyum dan tatapannya mengarah ke lantai dan mundur perlahan dengan nampan kosong di atas kedua tangannya. Setelah pintu tertutup, Dihyan berjalan dengan langkah pelan ke arahku.

Rambutnya rapi, pelipis pria itu sedikit sobek dan ia tersenyum miring. "Apa kau sudah menerima suratnya?" Mara menatap penampilan pria itu yang lebih formal dari biasanya, sepatu mengkilap itu menarik perhatiannya, sepatu itu berwarna hitam dengan sebuah logo emas desainer ternama yang ia gemari sejak ia mengenal dunia fashion.

"Mara?" Tanya Dihyan kembali.

"Aku bahkan sudah membacanya, aku memaafkanmu Dihyan." Aku tersenyum paksa, lalu bagaimana dengan semua luka ini? Sebenarnya, apa mereka akan memudar seiring permintaan maaf Dihyan yang sangat sepele? Tapi kembali, hatiku terlalu mati rasa untuk sekedar memperdulikan diri sendiri.

"Aku harap kau cepat sembuh, aku akan mengajakmu untuk melihat rumahku." Dihyan tersenyum lebar, gigi-gigi pria itu terbaris rapi dan bersih. Pria itu lagi-lagi mengurangkan jarak antara mereka dan memeluk erat Mara secara spontan. "Bukankah kau sangat menggemaskan?" Bisik pria itu dengan intonasi polos, hampir sama dengan anak kecil lainnya.

"Rasanya aku ingin menidurimu, membawamu bersamaku, atau mungkin menghamilimu hingga tidak ada yang ingin menatapmu lagi dengan tatapan memuja. Aku, tidak akan membiarkan siapapun menyentuh sehelai rambutmu dengan kulit kotor mereka. Pegang janjiku Mara, kau, aku, juga akan menjadi selamanya." Pria itu berbisik, dan mengulum daun telinga Mara.

"Puja aku, jadikan aku dewa cinta. Puja aku sebagaimana Psyche mencintai Eros." Erang pria itu ketika berhenti di lengkung lehernya. Nafas pria itu menggelitik indera Mara begitu kuat.

Sejak itulah, perempuan itu mulai sadar.

Kegilaan pria itu baru saja hendak dimulai.

dan bukankah ia sudah terlambat untuk pergi?

Man, Over LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang