CHAPTER 10

122 16 0
                                    

GET OUT OF MY HEAD
not edited.

"Do you like it?" Tanya Dihyan padanya. Mara hanya dapat terdiam dan mulai makan dengan sendirinya. "Bibirmu sangat enak." Dihyan kembali mengecup Mara, tapi kali ini hanya pada pinggir bibirnya. Mara tidak bisa melakukan apapun, memang sepertinya Tuhan tidak berpihak padanya sekarang. "Maafkan aku, seharusnya aku tidak menggodamu. Sekarang kau kelaparan, kesakitan, dan juga melewatkan operanya." Dihyan menghembuskan napasnya.

"Apa Dihyan baik-baik saja?" Mara menatap Dihyan yang bersandar pada bantal kepalanya. Posisi yang sangat menguntungkan untuk melihat Mara yang makan di hadapannya.

"Hmm. Aku mungkin hanya shock dan kelelahan?" Dihyan terkekeh, apa perempuan kecil ini mengkhawatirkannya? "I just need a proper sleep Mara."

Perempuan itu mengkhawatirkan serigala yang ingin memangsanya saat itu hingga saat ini juga? Dihyan meraih sehelai rambut Mara dan memainkannya pada telunjuk. Tatapan itu sangat intens untuk sehelai rambutnya. Ia merasa tidak nyaman.

"Apa aku bisa pulang sekarang?" Tanya Mara dengan suara yang kecil, perempuan itu gemetaran.

"Let them check on you first okay?" Dihyan menekan bell, membuat beberapa perawat datang. "I'm fine." Kata Mara—yang tentu adalah sebuah kebohongan. Just what if... what if pria ini tidak mau membayar pengecekkan itu?

Akhirnya ia memilih untuk pasrah dengan semuanya dan ia dibolehkan untuk pulang. Mara bisa melihat Dihyan tertidur pulas ketika ia ingin pulang, ia harus segera pergi sebelum makhluk itu membuka matanya atau ia akan mati. Mara kemudian mengucap terima kasih dan pergi, untungnya salah satu orang yang pernah ia lihat pada acara panti—anak buah Adhikari siap untuk mengantarnya pulang ke panti.

Ia kemudian pulang tanpa gangguan, hanya saja kepalanya terasa amat pusing dan bokongnya sakit. It's gonna be okay, at least the doctors say so? Benar bukan? Mara menguatkan dirinya, ia tahu bahwa ke depannya akan ada manusia-manusia gila yang pastinya seorang Adhikari untuk menindasnya. Namun apalah daya seorang anak panti yang yatim piatu sepertinya untuk melawan?

"Terima kasih."

Pintu mobil itu ditutup oleh supir itu dan ia langsung menancapkan gasnya. Meninggalkan Mara yang mematung, berpikir bahwa pria itu bertingkah keterlaluan dingin. Sewajarnya saja karena ia berhubungan dengan Adhikari, ia pikir.

"Nak! Masuklah ke dalam, sebelum hujan turun. Uhuk!" Ibu panti menutup mulutnya ketika batuknya kembali menganggu. Di sana ibu panti menjemputnya dengan hangat. Kondisi beliau tidaklah membaik setelah sekian lama, ia juga selalu kukuh untuk tidak mau dicek dimanapun. "Baik bu." Mara mengikuti langkah ibu panti.

"Apa yang terjadi padamu Mara? Siapa yang melakukan ini padamu?"

Pertanyaan yang menghancurkan pertahanannya.

Saat itu Mara tidak dapat lagi menahan emosinya yang meluap-luap. Ia menangis dan terus menangis, tidak peduli bahwa setiap anak di panti mulai berkumpul untuk melihatnya bertumpu di dada ibu panti. Dengan mata merah, rambut yang kusut, baju yang lecek, dan lipstik yang tidak lagi pada tempatnya.

"Shush!! Uhuk uhuk! Masuk ke kamar kalian!" Usir ibu panti yang langsung dituruti oleh anak-anak di panti.

"Maraku." Ibu panti menitikkan air matanya, ikut luruh menyatu dengan hati Mara yang terpecah belah. Sama-sama bertanya hadirnya eksistensi diri mereka, apa bedanya mereka dengan pion di atas meja? Tidak ada harapan bagi ia dan Mara untuk maju tanpa digerakkan oleh pemainnya.

"Ayo, Ibu bantu berberes." Ibu panti memapah Mara yang masih terisak. "Apa kau sudah makan?" Tanya ibu panti, pertanyaan itu dijawab dengan anggukan pelan Mara.

Ibu panti menahan napasnya ketika ia menemukan anak kesayangannya—Mara telah kehilangan sekelompok rambutnya. Siapa yang telah menjenggut rambut indah Mara? Ibu panti menutup mulutnya karena dirinya yang sekarang penuh dengan isakan.

Pathetic.

Tatapan Mara berhenti pada atap kamarnya, dengan mata yang merah dan air mata yang tak kunjung berhenti turun menelusuri wajahnya. Tatapan penuh kebencian yang ia taruh di atas pandangannya. Auch. Apa Ibu baru saja menarik pecahan kaca di punggungnya?

"Bagaimana ini bisa terjadi nak...." Suara Ibu panti serak. Mara tahu ia harus menjawabnya, tapi apalah daya? Pulang ke sini saja sudah merupakan energi terakhirnya.

"My poor girl...." Malam habis dengan pelukan hangat yang Mara rasakan dari Ibu panti.

***

Segera setelah terbangunnya kesadaran, yang pertama kali Dihyan rasakan adalah kekosongan. Cahaya yang masuk dari celah-celah jendela meninggalkan aksen ia telah membuang waktu begitu banyaknya dari malamnya bersama Mara. Sejauh matanya berlabuh, tidak ada satupun unsur Mara yang tertinggal di ruangan ini. Tidak, bahkan tidak dengan mangkuk bubur yang sebelumnya ia gunakan.

Tangannya dengan perlahan meraih permukaan bibirnya dengan gemetar, "holy." Dihyan meremas selimutnya dan segera menutup mulutnya. "FUCKING HELL!" Pekiknya kegirangan, pria itu kemudian menekan bell berulang memanggil siapapun yang berjaga di luar kamarnya.

"Do you have any idea kenapa Mara tidak berada di sini?" Dihyan menarik kerah perawat pria—yang tampangnya langsung pucat dan tubuhnya bergetar.  Bahkan jika pria ini di dalam kondisi yang tidak sehat, tenaganya bagaikan binatang buas.... "Fuck, at least did you guys check on her?" Desis Dihyan.

"MOHON AMPUNI SAYA TUAN!" Pria itu berteriak.

"SHUT UP! Siapa yang menyuruhmu berteriak? What the fuck?" Dihyan refleks menjatuhkan tubuh pria itu ke lantai dan menutup salah satu telinganya. Bruk! Pria itu terjatuh dengan tulang ekor yang mendarat pada lantai.

"Fuck off now, siapapun selain dirimu. Fucking bastard." Dihyan menghempakan tangannya, lalu meraih telepon genggamnya. No text, no call. "How can you be so cold to me, Maravey?" Bisiknya pada dirinya sendiri.

"I miss you." Geram Dihyan.

Ia bisa saja keluar dari sini dan langsung menghampiri Mara, membawa perempuan itu untuk selalu berada di dalam dekapannya. Tidak sebelum ia membereskan penghalangnya. Tunggu? SHIT! Bajingan itu masih ada di ruang bawah tanahnya!

Dihyan dengan segera melepas segala yang merekat pada tubuhnya, pria itu berlari keluar dari kamar dengan sempoyongan. Bagaimana ia bisa seceroboh ini? Ia masih memerlukan makhluk bodoh itu untuk hidup, tidak! Ia tidak mau bajingan itu mati sia-sia tanpa melihat neraka yang sesungguhnya.

"Kembali ke apartmentku!"

Kendaraan yang dinaikinya melaju dengan cepat, Dihyan sendiri di sela-sela perjalanannya mengutuk dirinya sendiri karena telah melupakan tawanan yang berada di apartment miliknya. It's been days Dihyan, DAYS! Hampir saja ia akan membenturkan kepala supirnya dari belakang, untung ia masih bisa menahan dorongan impulsif itu.

"Sudah sampai tuan." Suara pria itu bergetar, "kau pergi dari sini. Tinggalkan mobilnya." Dihyan mengusir supir itu dengan kasar, lalu berlari menuju apartmentnya dengan tergesa-gesa. Ia membuka pintunya dan melihat bahwa badan Brenn telah dikerumuni beberapa lalat dengan posisi mengenaskan.

"SHIT!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Man, Over LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang