CHAPTER 05

503 48 2
                                    

BLOOD HE BLEED
⚠️mature content
not edited.

Ia mengiris kecil irisan-irisan bawang bombai dengan teliti. Diraihnya botol kaca dengan corong besi, lalu dimiringkannya botol tersebut sehingga minyak zaitun di dalamnya dapat mengalir ke dalam panci di sisi kiri tubuhnya. Api yang menyala membuat minyak tersebut memanas, dan ketika minyak itu sudah bergelora, ia taruh potongan-potongan bombai, lalu ia mengambil tomat puree yang ia buat sendiri, lalu menambahkannya ke dalam panci.

Beriringan dengan lada, garam dan sedikit gula, ia mengarahkan spatulanya ke dalam panci. Mengambil sedikit masakannya dan menaruhnya di atas sebuah sendok besi yang terlihat amat mengkilap.

Bibirnya membuka dan rasa yang enak memenuhi seluruh rongga mulutnya. Tahap selanjutnya, ia mematikan kompornya. Langit terlihat gelap saat itu, tampaknya ingin turun hujan, ia kemudian tak lupa kembali mencuci tangannya, lalu mengambil potongan daging dari kulkas. Sebuah daging yang merah dan segar, ia mengeluarkannya, lalu mengirisnya dengan kemiringan yang sempurna dengan tebal yang sama.

Ia menaruhnya di atas panci yang baru, memasaknya, lalu menyajikannya dengan saos yang telah ia buat. Ia duduk di sebelah jendela menanti hujan datang, lalu ia melihat arlojinya. Jam dua belas, Mara telah terlambat selama dua menit, perempuan itu seharusnya datang lebih awal. Dari jendela yang ia pandangi, ia dapat melihat sebuah bangunan familiar, panti yang telah ia ambil alih sudah tiga tahun lamanya.

Hujan membuat Dihyan semakin geram, ia mengenggam pisau makannya terlalu erat hingga menyisakan bekat yang pasti tidak akan hilang hingga besok pagi. Pria itu lantas berdiri dengan gerahnya, ia membuka dasinya yang mengekang, lalu ia mencuci piring kotornya dan setelah bersih, ia mengalihkan fokusnya untuk menatap foto-foto Mara di dalam tidur cantiknya yang ia pasang di seluruh permukaan dinding kamarnya, termasuk di permukaan lantainya.

Pria itu merombak lantainya sendiri ketika foto yang ia kumpulkan sudah cukup, ia menempelkan foto-foto Mara di sana, lalu ia menuangkan cairan transparan yang ketika kering ia berbentuk seperti kaca, ia menutup karyanya dengan akhiran resin, sehingga setiap ia melangkah ia dapat melihat wajah-wajah dan berbagai macam eskpresi Mara.

Pria itu duduk di atas lantai, gairah memenuhi pikirannya setiap ia datang ke kamar ini. Kejantanannya mengeras, tapi ia tidak mau melepasnya sekarang, tidak dengan kedua tangannya. Ia mendesis kesal, namun suatu bunyi membuatnya seketika senang.

Bunyi suara sepeda Mara yang melintas! Hal itu membuatnya tergesa, nafasnya seketika naik turun dengan cepat. Ia melihat sepeda yang sama seperti tahun sebelumnya sekarang sudah terparkir indah di samping bangunan panti.

Ia keluar, menempuh beberapa meter dengan lari kecil. Tapi ia tidak masuk ke dalam, pria itu berdiri di depan sebuah celah, di mana biasanya Mara akan ke sana untuk mengganti bajunya. Ia menggeram, langkahnya lebar dan panjang ketika ia mendobrak pintu panti. Ia sudah menyusunnya dengan rapi, sama seperti ia menyusun strategi-strategi kemarin.

Hari ini ia tidak bisa menahan monster yang ia simpan. Anak panti telah ia usir secara halus dengan trip pergi ke luar kota untuk dua hari secara mendadak tadi pagi setelah Mara pergi kuliah.

Setelah yakin hanya Mara yang kebingungan, maka besarlah peluangnya untuk bersenang-senang. Ia melihat Mara yang berdiri dengan kaku di depan kamar, menatapnya dengan kondisi yang sama basahnya dengan Mara sendiri. Pria itu mempercepat langkahnya, lalu meraih kedua tangan Mara yang tegap seperti upacara tanpa mengatakan apapun, ia dengan tergesa menyatukan bibirnya dengan milik Mara begitu brutalnya.

Perempuan itu berusaha melepaskan diri, tapi ia mengunci segala pergerakannya dengan memaksa untuk menjatuhkan tubuh yang jauh lebih kecilnya ke atas kasur. Ia menatap mata Mara yang bergelora dengan takut yang mendominasi, ia tidak berani meronta. Lidah Dihyan mencari miliknya dengan cepat dan mengeksplor rongganya.

Pria itu tidak memejamkan matanya, ia menikmati betapa rasa takut, marah, kecewa terpancar dengan jelas dari segala pori-pori tubuh Mara. Bibirnya yang dingin berjalan terus hingga ke bawah rahang, bermain lama ia di sana, diberinya sebuah tarikan yang dalam hingga timbul tanda ungu yang begitu terang.

"Aku, sangat mencintaimu." Dihyan tersenyum ketika suara itu muncul ke pikirannya. Walau ia tahu penyakitnya kembali mengambil alih, ia tetap senang walau hanya mendengar suara itu di pikirannya, menari dengan indah menjeritkan namanya dengan perkata.

"Dihyan!!"

"Dihyan!! Bangun kau!"

Dihyan terbangun, rasa ngilu membuatnya kesusahan untuk bergerak leluasa. Namun ia segera siaga ketika pikirannya langsung teringat bahwa tidak ada siapapun yang bisa masuk ke apartmentnya secara bebas.

Ia dengan tergesa memakai kembali celananya. Lalu mengambil glock 19 siaga. Ia dapat mencium darah yang amat bau dan pekat dari depan pintu, dengan wajah datar ia menempatkan moncong senjata yang ia punya ke arah suara.

Ia membuka pintunya, lalu mendapatkan sepasang mata yang sangat ia kenali berdiri. Menatapnya kosong, jiwanya terlihat renggang seperti habis digerogoti rayap, jejak darah memenuhi lorong.

"Tunggu di dalam." Dihyan mengumpat, ini yang tidak diharapkannya dengan berteman dengan seorang psikopat dan kanibal seperti Freig. Pria itu sebenarnya hanya ketololan yang tak bersisa ketika sehabis membunuh di luar kendali seperti ini.

Dihyan menatap sepasang perempuan dalam balutan baju hitam putihnya. Mereka bergetar, tentu saja, mereka terlihat seperti idiot yang baru pertama kali melihat kejadian ini.

"Dihyan.." Freig mulai membenturkan kepalanya ke atas lantai. Pria itu terus menggerutu layaknya orang gila.

"Diam. Aku harus membereskan kekacauan ini terebih dahulu." Kesalnya tak bisa tertutupi. Kepala Dihyan menampakkan diri, ia menatap kedua pelayan tadi lalu mendecih "Apa yang kalian tunggu? Jejak ini hilang sendirinya?" Dihyan menggerutu.

Lalu senyum terbit dari wajahnya, ia berbalik badan, "Apa kalian ingin mendengar ideku?" Kekehnya seram, "Bagaimana jika kalian membersihkan noda ini dalam waktu sepuluh menit. Jika belum selesai, lidah kalian yang akan membersihkan semuanya hingga ke sudut-sudut." Kekeh Dihyan melayangkan kecupan jarak jauh kedua pelayannya yang langsung berlarian.

Dihyan menutup pintunya, lalu menyilangkan kedua tangannya ke depan dada. "Nah, sekarang kau berulah lagi ya." Bisiknya kelam.

Man, Over LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang