CHAPTER 03

640 68 0
                                    

THE GUARD
Not edited.

Semua orang berlari menghampiri Si Sulung Adhikari. Pria itu datang dengan setelan jas biru muda, dan kemeja putih tanpa dasi. Kacamata bertengger di tulang hidungnya, pria itu berjalan dengan menenteng beberapa map transparan dengan isi berkas-berkas. Ia tersenyum ketika beberapa murid lain menyapa, lalu segera bergegas ke ruang spesial yang ia miliki di universitas. Ruangan itu disebut-sebut sebagai ruang kerja keluarga Adhikari.

Ia terlihat cemas, berkeringat, dan terlihat tidak tidur semalaman ketika hitam mendominasi bawah matanya walau sempat menaikkan nada hingga terlihat ceria seperti biasa.

Mara melihatnya, pria yang sama seperti hari lalu namun dengan cara gerak yang berbeda. Ia tidak menatapnya aneh seperti biasa, pria itu bahkan tak menatapnya sama sekali, malah tubuhnya menghindari sekitar area yang ia tempati.

Setelah beberapa lama kepergian Dihyan ke dalam ruangan miliknya, seorang wanita dengan gaya fashion terbaru keluaran Channel datang dan membuat kerumunan orang yang awalnya bubar menjadi kembali mengerubungi lorong.

Perempuan itu terlihat lebih muda dari mahasiswi di sini, dan tatapan tajam di wajahnya tampak tidak tepat untuk berada di sana. Rambut perempuan itu cokelat terang dan bibirnya merona, untuk beberapa saat, ia merasa bahwa perempuan itu jelas-jelas adalah definisi dari dewi kecantikan itu sendiri. Tidak akan ada yang bisa mengalahkan kecantikannya di universitas ini.

Sandra, mahasiswi yang cukup terkenal di universitas ini menyenggol bahunya kecil. Lalu ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya untuk sekedar berbisik ke telinga Mara. "Namanya Waiduri Adhikari! Dia adik bungsu Dihyan!" Sandra terkikik lalu menepuk pundaknya yang sudah mengkaku dari awal ia terjebak di antara kerumunan penggemar keluarga Adhikari.

"Bukankah jam ini Waiduri harus mengikuti runaway?" Tanya Alexa yang tiba-tiba muncul dan menimpa ucapan Sandra.

"Don't be ridiculous darling, bukan dia yang bergantung pada 'mereka'. Justru kebalikannya, 'mereka' yang bergantung padanya. I think, runaway ini juga tidak terlalu penting untuk perkembangan career miliknya." Sandra memutar matanya malas, ia lantas mengeluarkan kaca dan sebuah lip cream merah muda yang selalu melapisi bibirnya, "Anyway.."

"Aku ada kelas sehabis ini."

Perempuan itu akhirnya memberikan sentuhan akhir yang merapikan rambut pirangnya, "Senang bisa berbincang denganmu, Mara." Sandra tersenyum manis. Sangat manis hingga matanya terlihat hampir menutup sempurna, ia kemudian menutup kacanya dan pergi dengan meninggalkan kesan misterius.

"Hei!" Sayup-sayup terdengar teriakan perempuan dari lorong, Mara mendengarnya, namun pikirannya masih menahan suara itu untuk menjadi kabur dan terdengar tidak jelas.

"Mar."

"Mara."

"Mara!!"

Mara tersentak dari lamunannya terhadap pintu yang menghalangi pandangannya terhadap Dihyan, perempuan itu kembali menoleh kepada sumber suara yang menyebutkan namanya. Setelah ia berbalik, ia disuguhkan dengan sepasang mata yang indah. Sepasang kelereng dengan warna hijau daun. "Mara, kata Brenn tunggu di depan setelah selesai ikut kelas." Mara tidak tahu siapa perempuan dengan potongan pendeknya itu. Tapi perempuan itu tampak tomboy dengan pakaian hitam serta piercing di beberapa titik wajahnya.

"Maaf?"

"Haduh ni anak." Gerutu ketus perempuan di depannya. Mara tambah mengerutkan wajahnya, perempuan itu sudah terlihat mulai tidak suka dengan perempuan yang mengajaknya bicara. "Denger, gue tahu lu tadi jelas-jelas denger. Ga usah sok-sok bego jadi orang. Brenn yang nyuruh lo buat nunggu! Brenn Djaja Tan!" Perempuan itu memutar matanya, "Yang lo buat babak belur! Sekarang minggir gak lo dari jalan gue!" lalu mendorong bahu kiri Mara.

Perempuan itu sampai terhuyung kebelakang untuk beberapa langkah. "Udah ah, memang freak lo!" Perempuan itu berbalik dan melangkah, tidak menghiraukan Mara yang terdiam. Ia lantas bergegas untuk berlari menuju kelasnya. Menaruh lembar-lembar kertasnya dan bersiap untuk menyambut dosen killer dengan kacamata tuanya.

Dua jam berlalu dan ia tak menyangka jika kedua kakinya berhasil membawa tubuhnya menuju gerbang sekolah. Menemui Brenn Djaja Tan. Pria itu terlihat kusut dan balutan perban mengitari bagian-bagian penting tubuhnya seperti kepala. Pria itu tidak tersenyum ataupun murung, pandangannya datar dan kosong tepat ke sepasang kelereng Mara yang kaget.

"Maafkan aku." Pria itu mengarahkan jari-jari tanganya yang membiru untuk menelusuri helai rambutnya, lalu menariknya kasar. Hingga beberapa rambut terpaksa tercabut bukan pada waktunya. "Ada seseorang yang mencari kepalaku, Mara. Aku tidak tahu harus memberitahumu apa, aku tidak bisa menuduhnya begitu saja." Brenn menatap Mara susah payah karena bengkak menghalangi pandangannya.

"Brenn? Apa Dihyan yang melakukan semua ini?"

"T-t-tidak, tidak, tidak! Bukan pria itu!" Bantahnya tegas. "Percayalah, ia hanya menorehkan sedikit memar di wajahku, tidak lebih. Hanya saja luka-luka lainnya kudapatkan saat sekelompok orang aneh menyerangku."

"Sekelompok orang? Kau sudah melaporkanya pada aparat kepolisian?"

Keringat membasahi pelipis Brenn, pria itu menutup mata seolah menghalau segala rasa sakit yang seketika ia rasakan dari luka-luka yang ia dapat. "Tidak dan tidak akan pernah bisa, Mara." Brenn menghela nafas lesu, ia menggigit bibirnya kencang. Hal itu tentu tak lepas dari penglihatan Mara. "Aku tidak mengingat wajah mereka."

"Kau sedang kesakitan, apa kau tidak apa-apa?" Mara memutari tubuh Brenn dan mendapatkan perban yang Brenn pakai basah dengan darah, seolah itu tidak berguna karena darahnya terus menetes. Mara ingin menyentuhnya, namun alih-alih iya menarik pelan tangan Brenn menuju parkiran. Brenn sejenak terhipnotis dengan sentuhan perempuan itu, dan kakinya berhasil berkhianat untuk terus mengikuti kemana perempuan itu menuntunnya.

"Tolong berhenti Mara, aku tidak bisa melawanmu. Tolong jangan sentuh aku." Brenn menepis tangan Mara dengan seluruh kekuatannya. Mara yang tersentak menatap kedua mata Brenn kaget. "Tolong jangan sentuh aku, aku sudah berjanji padanya." Brenn membuang muka, pria itu meringis untuk sekali lagi sebelum membuka mulutnya untuk kembali berbicara. "Nya?"

"Aku pikir pembicaraan ini akan menjadi pembicaraan yang menguras empati." Perempuan yang mendorongnya tadi tiba-tiba datang memotong pembicaraan mereka sanbilan memakan permen karet. "Tolong jangan membuatku marah, Africa." Brenn mendesis dan mengambil potongan kertas yang ia bawa di dalam dekapannya. Kertas itu terkena darahnya, Brenn mengumpat kecil namun ia tetap memberikannya pada Mara.

Pria itu tersenyum tipis walau lukanya menjadi tertekan. "Kita sama-sama terluka Mara. Aku akan pindah ke kota lain untuk keselamatanku dan kau. Africa akan menjagamu." Brenn menunjuk perempuan yang masih menatapnya sinis. Brenn lalu mengangguk kecil dan berbalik, berjalan meninggali kedua perempuan yang menatap kepergiannya aneh.

Setelah melihat kepergian Brenn, dan punggungnya terlihat menjauh dari kejauhan, Africa menatap lurus kepada Mara. Lalu telunjuknya mendorong kepala Mara. "Gue benci lo, lo udah gede. Tapi masih aja tolol." Perempuan itu menampar Mara dengan kencang hingga perempuan itu terduduk di atas aspal, ditonton oleh semua murid yang hendak memakirkan kendaraan mereka.

"Gara-gara lo masuk sini, Brenn pergi! Lo gatau betapa susahnya gue buat narik perhatiannya dan menjadi teman dekatnya hanya untuk perasaan gue!"

"Lo harus mati!"

Apa ia harus mati?

Man, Over LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang