CHAPTER 06

481 44 2
                                    

ANGER
not edited.

Freig mengerang ketika cairan yang familiar mengenai wajahnya, Dihyan berdiri tenang di samping pria itu, dengan santainya ia menuangkan isi botol kaca yang berisi minuman kadar alkohol tinggi ke sapu tangan sulaman yang ia pegang.

"Kau membuatku mengotori sapu tangan Mara." Desisnya sambil menekan titik terngilu yang ada di kepala Freig. "Ugh!" Freig mengerang ketika rasa alkohol dan tangan Dihyan terasa memasuki luka barunya sempurna.

Tidak ada suara lain selain bunyi mesin karbon dioksida aquarium dan nafas memburu Freig. Dihyan, pria itu bernafas sangat pelan hingga hampir tak terdengar. Pria itu memfokuskan dirinya dan rasa perfeksionisnya menekan nafasnya agar tidak menganggu konsentrasi yang telah dibangunnya.

Freig benci kesunyian yang tercipta, pria itu kemudian menatap Dihyan dengan tatapan yang sangat aneh. Dihyan mengangkat sebelah alisnya, "jangan buat aku meludah ke wajah jelekmu." Dihyan berkata dengan tegas, pria itu menatap Freig yang memutar matanya tidak jelas.

Kesunyian kemudian kembali terbuat, Freig mulai merelakan kesadarannya ke pada rasa sakit. Ia kemudian menutup matanya, "sekarang bagaimana Dihyan? Sekarang aku bisa melihat banyak sekali kelinci." Freig kemudian tersenyum miring dan tangan kekarnya menunjuk angin sembarang dengan bergantian.

"Kelinci peliharaan? Kelinci liar? Atau maksudmu memang Si Perempuan bisu itu?" Dihyan kemudian beralih untuk mencari jarum yang akan ia pakai untuk menjahit luka menganga yang melintang di kepala Freig. "Dasar manusia aneh," Freig terkekeh.

Tangannya bergerak menunjuk bahu lebar Dihyan yang menjauh. "Lihatlah orang gila mana yang mensterilisasi jarum dengan cara barbar seperti itu." Freig mengerang ketika benang jahit sudah menembus epidermisnya. "Verfluchter!" Umpatnya bersemangat dalam bahasa German.

"Aku rindu dijahit seperti ini, rasa amatirnya begitu menyenangkan." Freig menunduk, namun Dihyan hampir kehabisan kefokusannya karena pergerakan mendadak yang Freig lakukan.

"Blutige sau, Freig! Just shut the fuck up and sit still!" Dihyan menekan luka di dahinya dengan jempol, Freig berteriak kesakitan, ia kemudian langsung duduk tegap dan matanya terlihat melebar.

"Ja, sir!" Ucapnya kuat.

"Sekarang biarkan aku bekerja dengan profesional, Freig." Senyumnya masam. "Ja, sir!" Teriaknya kembali. Dihyan mengeraskan rahangnya sebagi respon dari tindakan Freig.

Kemudian jahitan terakhir selesai dan Dihyan melepas sarung tangan karetnya, ia kemudian menepuk dahi Freig dua kali. "Tentunya kau tahu ada bayaran di balik pertolongan ini bukan?? Kau tentu tahu jika kau akan bekerja secara lebih karena bantuan di luar jam kerja bukan?" Senyum miring Dihyan tercetak jelas, pria itu mensejajarkan kepalanya dengan kepala Freig.

"Kau akan membayar ini lebih bukan?" Ia mengedipkan salah satu matanya. Freig menganggukan kepalanya pasrah. "Anak baik." Tepuk pelan Dihyan beberapa kali ke bahu Freig.

Kring!

Kring!

Kring!

Bunyi telepon berdering, Dihyan bergegas mencuci tangannya dari sisa darah dengan mengadu jari-jarinya dengan air dan sabun dengan kandungan alkohol kesenangannya. Ia kemudian dengan segera mengangkat panggilan itu dengan enggan setelah mengelap tangannya ke handuk bewarna khaki.

"Halo."

"..."

"Sekarang?"

"..."

"Baik."

Dihyan menghirup nafasnya dalam-dalam sebelum ia meraih kotak besi yang berisi puntung rokok, lalu ia menjepitnya di antara kedua bibirnya. Ia mengambil korek api dengan ukiran namanya kemudian menyalakannya lalu menghisapnya secara tergesa, lalu secepat mungkin mencabutnya.

Ia melihat kondisi Freig yang terlelap di kursi dengan darah di seluruh badannya. Tapi ia tidak peduli, ia kemudian masuk ke dalam kamarnya. Lalu kembali menghisap rokok dari sela-sela jarinya.

"Sialan." Umpatnya kasar.

Ia melihat monitor yang berada di atas meja di sebelah kasurnya. Di mana Mara sedang bergerak ke sana kemari dengan apron menggantung di lehernya. Ia kemudian mendekatkan wajahnya untuk menatap lebih dekat, mulutnya mengeluarkan hembusan asap rokok yang langsung menerpa layar monitor.

"Aku yakin kau baik-baik saja kalau aku tinggal sebentar bukan, sayang?" Bisiknya perlahan.

"Akan lebih indah lagi jika aku bisa menghembuskan asap ini ke depan wajahmu." Gerutunya.

Ia kemudian keluar dari ruangan untuk melihat Freig yang masih tertidur. Ia memutar matanya malas lalu bergegas mengambil kunci dan keluar. Menatap dua pelayan yang sedang sibuk mencuci lantai dengan sabun pembersih dipenuhi tangisan dan lendir dari hidung-hidung mereka.

"Kerja yang bagus." Cengeng! Ia tersenyum ceria.

"Selamat siang semua." Pria itu mengedipkan matanya dan bersiul dengan sedikit semangat keluar menapak turun.

"Tuan Adhikari?" Panggil seorang wanita setibanya ia menyentuh lobby gedung apartmentnya. Dihyan mengernyitkan alisnya sejenak, namun ia kemudian menyipitkan matanya, memasang topeng tersenyum di hadapan perempuan yang memanggilnya.

"Benar, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya Diana, dan saya ditunjuk oleh bapak Rajendra Adhikari untuk menemui anda. Saya sangat memerlukan bantuan anda untuk mencari kembaran saya yang hil–"

Dihyan menutup matanya, bapak tua itu lagi. Apa yang ia inginkan? Dihyan yakin uang bukanlah alasan utamanya pria berbau tanah itu mengirim perempuan seperti ini kepadanya, dan juga kasus apalagi itu? Pria tua itu pikir ia detektif pribadi Adhikari?!

"Aku sedang sibuk. Lain kali." Dihyan bergegas, ketika Diana mencoba menghentikannya, pengawal-pengawal di sekitarnya bergegas menahan pergerakan Diana karena gestur tangan Dihyan yang mengerahkan mereka semua.

Rajendra, Rajendra, Rajendra...

Rajendra.. atau ayah?

Dihyan terkekeh, lalu ia menarik nafas dan membuang wajahnya ke arah jalan. Mobil limosin baru memotong macetnya jalan dengan mudahnya karena ia dikawal sepasang polisi yang ia pikir terlihat sebagai anjing setianya.

Entah apa yang telah direncanakan pria tua itu, ia sama sekali tidak menyukainya.

Ia harus mempertimbangkan kelayakan pria itu sekarang, rasa ingin membunuh pria itu semakin menusuk di dalam kepalanya. Sangat memusingkan.

"Hey, kau mau membawaku ke mana?!" Sentak Dihyan kepada pengemudi di hadapannya.

"Tuan Rajendra baru saja memerintahkan saya untuk membawa anda menuju nona Waiduri." Pria itu berkata perlahan.

"Kau ini bawahan pria tua itu atau bawahanku? Hah!" Teriaknya, rasa amarah menyelimuti pikirannya ketika lagi-lagi ayahnya mencoba membuatnya kesal. Ia kemudian meraih ponsel genggamnya.

"Maafkan saya tuan." Jawaban pria itu dapat sayup-sayup ia dengar karena fokusnya jatuh pada pesan yang baru dikirimkan padanya.

Rajendra : Nikmati waktumu bersama Iduri. Nak Dihyan.

Begitu katanya. Ia menekan rahangnya begitu kuat. Butuh waktu lama untuknya mendinginkan kepala, dan ketika pikirannya sudah reda, ia menyarangkan peluru timahnya ke kepala pengemudi ketika mobil mereka sampai ke pakiran belakang.

"Fuck! For great sake! Look what I did, you old man." Dihyan membanting pintunya dan berjalan seakan tidak ada apa-apa. Denyut adrenalin berpacu dalam jantungnya, ia benci semua orang.

Wajahnya itu bertahan hingga adik tirinya datang mendekatinya dengan raut yang menjijikkan. Perasaan ingin mengoyak wajah perempuan itu semakin menjadi, ia menghembuskan nafas dan membuang muka, menolak membalas sapaan adiknya.

Ia butuh Mara.

Sangat membutuhkannya...

Man, Over LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang