CHAPTER 09

320 30 0
                                    

PRETTY WOMAN
not edited.

PRANG!!!

Tubuh Mara dan Dihyan terhempas ke bawah setelah Mara berusaha untuk berteriak. "Ah maafkan aku... a—aku sangat terkejut. Maafkan aku!" Mara berusaha menyingkirkan serpihan gekas kaca yang berhamburan karena tubuh Dihyan menghantam meja terlebih dahulu karenanya.

Dihyan yang tidak sigap dengan apa yang menimpanya mencengkram kedua pergelangan Mara dengan kuat, perempuan itu melukai tangannya sendiri hanya karena ia berusaha menyingkirkan pecahan kaca dari atas tubuhhnya. "Jangan lakukan apapun dan tetap diamlah." Kesalnya dengan parau.

Kepala Dihyan menaik dan napasnya mulai terengah, disusul dengan bagaimana lampu di bilik kelima tampak remang-remang dan memusingkan baginya. "Berikan aku napas buatan Mara, aku rasa aku akan pingsan." Ucapnya.

PRIA GILA? Apa pria itu menjebaknya? Mara menggigit jarinya kebingungan. Ia bergegas bangkit dan memanggil petugas begitu Dihyan Adhikari kehilangan kesadarannya.

Jadi begini rasanya ditolak ya? I will make sure there are no second chances. Dihyan kemudian berserah pada rasa pusing yang terus mengusiknya. Di sisi lain Mara kebingungan dengan apa yang terjadi.

Haruskah ia mengikuti pria itu? Haruskah ia kabur dengan kereta? Haruskah ia—haruskah?! Terlalu banyak kemungkinan yang dapat ia ambil namun ia memilih untuk... mengikuti pria itu. Ya, iya tahu ini adalah pilihan yang buruk dari yang terburuk. Bagaimana jika Dihyan mati dan ia beserta orang-orang di panti diburu oleh polisi seluruh Indonesia?

Ambulance yang biasanya lama untuk datang—telah tersedia di lima menit pertama pemanggilannya. Tidak disangka, memang kekusaan dapat mempermudah segalanya. Di sinilah Maravey duduk, menemani pria itu yang terbaring di atas kasur darurat. Ia tahu pria itu menghantam kepalanya cukup berat dan ia berharap tidak akan terjadi apa-apa karenanya.

"Shit." Gumam Mara.

Petugas rumah sakit yang melihatnya cemas tampak penasaran terhadap apa yang ia pikirkan—namun ia tidak bertanya apapun. Syukurlah perawat itu dapat memahami kondisinya. "Is he okay?" Tanya Mara ketika perawat itu melihat layar dengan intens.

"He will be okay."

"Oh okay." Mara kemudian memegang tangan Dihyan, berusaha menghangatkan telapak tangan pria itu yang dingin.

"Please do not touch him yet, miss." Pria yang merupakan perawat itu mengisyaratkan Mara untuk menjaga jarak, yang tentunya langsung ia patuhi dengan segera.

Mereka berdua menghabiskan waktu dengan keheningan hingga sampai di rumah sakit milik Adhikari. Sesuai dengan pertimbangannya, ketika mereka sampai Dihyan langsung dijemput secara cepat oleh sekumpulan tim medis.

Ia merasa bersalah... apakah itu hal yang buruk?

"Nona mohon tunggu di sini, kami akan melakukan pengecekan."

Mara tidak dapat berkutik, ia hanya bisa duduk dan kelaparan. Bukannya pria itu mengajaknya untuk makan malam? Ugh, ia rasa perutnya akan luka jika ia menahannya lebih lama lagi.

BUG!

Seorang wanita melempar tasnya ke wajah perawat yang baru saja keluar. Mara tahu bahwa perempuan itu tidak diperbolehkan masuk sama seperti dirinya, namun untuk memiliki keberanian untuk melakukan kekerasan itu—mengingatkannya pada keturunan Adhikari yang bisa seenaknya saja menindas orang.

"BERANI-BERANINYA KAU! KAU PIKIR KAU SIAPA? MINGGIR!" Bentak perempuan itu. Perempuan itu tetap cantik walau ia terlihat marah dan kasar bagi Mara.

"Maafkan kami nona, tapi hanya nona Mara yang diperbolehkan oleh tuan." Perawat itu menunduk, ya. Menunduk bahkan menjadi sujud? Mara melotot dibuatnya. Ketika ia mulai menyadarinya, ia tahu itu adalah Waiduri Adhikari.

Model yang waktu ia lihat, adik dari Dihyan Adhikari?

Mara segera beranjak dari kusirnya sebelum perawat tadi yang bersujud—memanggil namanya. "Nona! Tunggu dulu, tuan mengharapkan kehadiran Anda sekarang." Kalimat itu yang membuat tatapan murka Waiduri mengarah satu-satunya untuk Mara.

Screw you!

"Siapa kau?" Waiduri mencengkram bahunya dengan kencang, posisi Mara yang saat itu lemah didukung dengan rasa lapar membuatnya terhuyung. Ia jatuh dengan bokong yang menghantam lantai.

"Ah..." ungkapnya kesakitan.

"Siapa kau?!" Waiduri bergegas kembali menahan lengan atas Mara. Begitulah pertemuannya secara langsung dengan Waiduri, perempuan yang sama gilanya dengan Dihyan.

"Ma-Mara." Balas Mara, Waiduri langsung menunjukkan ekspresi tidak sukanya. Perempuan itu menghempaskan tubuh Mara untuk kembali beradu dengan lantai.

"AUH!" Pekik Mara dibuatnya.

"Bagus! Jangan kira aku tidak tahu bahwa kau menggoda kakak! Kau tidak bisa lari, dasar JALANG!" Teriak Waiduri.

"Tolong! Tolong aku! AHHH! SAKIT!!" Teriak Mara bergema di lorong rumah sakit.

"SIALAN! KAU PIKIR KAU KORBANNYA? KAU YANG MEMBUAT KAKAKKU PINGSAN KAN?!" Waiduri terus membuat Mara menghantam lantai.

"YEAH, CRY ABOUT IT BITCH? WHAT DO YOU THINK YOU ARE TO HIM! YOU... YOU JUST A TOY TO HIM!" Tambah Waiduri ketika Mara meringis dan meraung. Ia tidak dan bahkan tidak mampu melawan—saat ini kondisi mereka saja sudah tidak imbang.

"Tu-tuan!"

Dari kejauhan suara itu mulai terdengar. Ia bisa melihat dengan buram bahwa Waiduri ditarik dari atasnya, dan bagaimana perempuan itu dihantam oleh tinju pria yang tidaklah lain Dihyan Adhikari itu sendiri. Ya—oleh kakak kandungnya sendiri.

Pria itu menghantam wajah Waiduri tanpa belas kasihan, membuatnya harus ditarik oleh dua pria bertubuh kekar yang ia rasa merupakan bodyguard Adhikari yang berjaga. Jadi sedari tadi mereka hanya membiarkan ia disiksa karena majikan mereka yang melakukannya? Mara berusaha bangkit, ia tahu penampilannya sangat amat kacau atau bahkan dalamannya telah terlihat oleh beberapa pasang mata ketika kekerasan itu dilakukan secara sepihak. Ia tidak tahu dan ia tidak mau peduli.

Dihyan Adhikari, pria itu melepaskan jarum yang menusuk tangannya dan berjalan dengan murka menuju ke arah adiknya sendiri. Kemudian setelah ditahan, ia menyuruh para pria botak yang tadi untuk menyingkirkan adiknya.

"Mara, are you allright Maravey?" Dihyan memeluknya dengan lembut, pria itu menghirup wangi Mara yang entah sudah seperti apa baunya. Pertahanan Mara runtuh dan ia terisak di pelukan pria itu.

"Sakit... sakit sekali." Mara menenggelamkan wajahnya di dada Dihyan yang bergerak dengan cepat. "Shhh, it's okay. Aku menyuruh mereka membawanya pergi sejauh mungkin, maafkan aku." Bisik Dihyan.

Pria itu kemudian dengan mudah membawa Mara ke dalam gendongannya. Pria itu membawa Mara ke atas kasur mewahnya—kasur rawatnya tadi. "Aku tidak apa-apa, thanks for asking me." Ucap Dihyan setelah ia menatap Mara yang juga menatapnya berlinang.

"Maafkan perlakuanku."

"Aku juga minta maaf." Bisik Mara.

"No, aku justru lebih parah karena telah membuatmu telat makan. Maagmu sepertinya kambuh ya? Will you eat this?" Tunjuk Dihyan pada hidangan di samping mejanya.

"Ini bubur ikan dan caviar. Cobalah." Dihyan membuka penutup mangkok dan menaruh sendok di dalam bubur. "Ayo, selagi hangat." Dihyan mengarahkan tangan Mara ke sendok, tapi perempuan itu sudah dibuatnya merinding duluan karena bubur itu terlihat amat mahal dibandingkan dirinya.

"Okay, if this is what you want from me." Dihyan mengambil alih sendok itu dan dalih-dalih memakannya—pria itu mencium Mara dengan kasar dan memasukkan bubur itu ke rongga mulut milik Mara. "Will you like it this way then?" Tanya Dihyan menatap bibir Mara.

Oh, fuck off!

Man, Over LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang