CHAPTER 07

509 40 1
                                    

THE HIDDEN PALACE
not edited.

Fucking hell...

Dua jam yang begitu menyiksa, ia melonggarkan dasinya dengan kedua jari tangan kanannya. Rasa jijik masih sama ia rasakan ketika ia menemani adik tirinya, Waiduri Adhikari. Entah karena perempuan itu mirip dengan ibu tua–istri sah Rajendra, atau karena tingkah gilanya yang secara blak-blakan menunjukkan sikap obsesinya pada kakak tiri di wajahnya.

Di hadapan semua orang, perempuan itu bergelanjut manja dengan anehnya. Hal itu dianggapnya parasit, sesuatu yang mengiritasi dan harus segera ia singkirkan dalam jangka waktu cepat.

Ia menurunkan kaca mobil dan mengeluarkan sebatang rokok kesukaannya, dengan korek api ia menyalakannya, lalu mengambil satu hisapan kuat dan langsung menghembuskan asapnya keluar mobil.

"Felix. Tolong antar limosin yang tadi aku gunakan ke aya–bukan maksudku Rajendra tua itu." Ia tersenyum miring, lagian, ini bukan kali pertama ia memberikan kejutan kecil pada ayah tercintanya.

"Baik Tuan."

"Sekarang ke Freig Siegmann."

"Baik Tuan."

Dihyan mengangguk dan bergegas mematikan ponselnya. Bapak tua itu pasti akan menelponnya berkali-kali untuk menasehatinya sesuatu yang selalu ia dengar, tidak kreatif. Membosankan.

There's no point of telling your son to stay sane jika ia terus memprioritaskan 'kesempurnaan' yang ia bangun di layar media dan sosial. Hal itu membuatnya marah, kegilaannya seharusnya bisa berhenti jika saja pria itu mau egonya untuk membawanya ke rumah sakit jiwa.

Konyol memang seorang yang gila seperti dirinya berpikir bahwa ia bisa disembuhkan.

Perjalanan mereka terasa suram, Dihyan Adhikari akhirnya menghilangkan rasa bosannya dengan melihat Mara dari gadget lain yang ia punya. Ia menutup pintu dengan tenangnya ketika sampai pada tujuannya, lalu turun ke apartmentnya dengan aura yang gelap.

"Freig!" Teriaknya ketika masuk, dan di sanalah pria yang lebih gila darinya duduk masih di kursi yang sama mencoba membuka kembali luka jahitan di dahinya. "Bodoh!" Dihyan mengunci pergerakan Freig Siegman dan menekan luka di dahi Freig dengan kain yang bisa ia raih.

Setelah pria besar itu tenang, ia menyuntikkan bius perlahan yang membuat pria itu tumbang. Ugh, kepalanya serasa ingin meledak. Pria itu kemudian membasuh tangannya dengan sabun hingga bersih dan membersihkan sisa cipratan darah di lantai dengan pembersih lantai.

Pria itu harus meminum obatnya.

Ia melangkahkan kakinya menuju kamar dan merendahkan keterangan lampu di kamarnya. Di hadapannya, ada lukisan dari pelukis ternama Indonesia yang diincar banyak petinggi-petinggi buncit yang gila kertas mata uang.

Lukisan karya Raden Saleh yang berjudul Banjir di Jawa ini terbentang megah menghadap kasur nyaman tempat peristirahatannya. Lukisan dari era romantisme itu ia beli karena mengingatkannya pada suatu hal yang bahkan dirinya tidak pernah akan bisa lupa.

Ia mengelus pinggiran bingkai emas yang sedikit mulai berdebu, padahal baru dua hari kemarin ia bersihkan. Ia menelusuri mimik-mimik orang yang menumpuk mencoba menyelamatkan diri. Kemudian ia melirik salah satu dari mereka yang menggendong seorang anak kecil, ia mengelusnya.

Apa kabar ibu?

Ia merasa sedang tersenyum, tapi tidak terlihat ekspresi apapun di wajahnya.

Dengan perlahan ia menekan tombol yang ada di bingkai, searah dengan lukisan ibu dan anak tadi. Ketika ia menekannya, sebuah pintu terbuka di lantai, sebuah ruang bawah tanah yang terlihat dingin.

Dihyan terkekeh pelan. "Selamat.. selamat apa ya? Siang?" Teriaknya ketika satu persatu anak tangga ia turuni. "Selamat datang di kediamanku, yang sekarang menjadi kediaman sementara atau nantinya akan kediaman abadimumu. Breggie." Teriaknya kencang memecah keheningan.

Bunyi aduan antara tangga besi dan tongkat panjang yang baru ia ambil dari dinding menimbulkan suara nyaring yang langsung membangunkan pria yang bersimpuh di bawah kakinya.

Ia menaruh tongkat itu di samping tubuh Brenn yang terikat tali tambang, beberapa tempat yang terlilit sudah mulai menimbulkan memar yang semakin menghitam. "Rise and shine! Menu hari ini adalah.." Dihyan memperagakan gerakan membuka penutup, seolah-olah ia adalah kepala pelayan yang membawakan majikannya sarapan. Yang membedakannya adalah, ia hanya mempermainkan pria itu saja. "Terererenggg!!" Serunya.

"Rawon dan steak!" Kekehnya kecil sambil menaikkan kedua alisnya.

Brenn membalas tatapan lawannya dengan lelah dan jijik, ia tidak bisa memilih salah satunya. "Hitung-hitung sudah dua hari kau menginap di sini, bayarannya mahal loh!" Dihyan sekarang bertingkah seakan dirinya adalah reporter yang mewancarai lawan bicaranya yang sudah terlalu lelah. "Bagaimana perasaannya hari ini?" Pria itu tersenyum lebar.

"..."

DUK!

Dihyan mengayunkan tongkat besinya ke punggung Brenn. "Hey, aku sudah berperilaku sopan. Balaslah aku dengan hal yang sama!" Keluh Dihyan. "Nah aku ulang, bagaimana perasaanmu hari ini?"

"Baik!" Teriak Brenn sedikit gemetaran.

"What a pussy." Dihyan memutar matanya malas. "Stop pretending like you're boy scout or something, just don't reply back, that's the correct answer!" Dihyan melayangkan tongkatnya, kali ini ke bagian depannya, perut. "Seharusnya kau tetap diam, lebih seru kalau begitu!" Ia menatap Brenn yang meringis menahan sakit.

HUEKK!

Fuck?! Pria itu muntah?!

Dihyan menatap pria itu tajam, "aku mau lantai ini bersih. Tidak mau tahu dengan cara apapun, kalau kau tidak mau membersihkannya.. kau akan lapar lebih lama lagi." Ia kemudian mengayunkan tongkatnya sebagai act terakhir pertunjukannya, satu pukulan yang menjatuhkan lawan—bukan lawan tapi objek mainnya.

"Sekarang aku mau mengambil apa yang aku perlukan." Ia bergerak menuju deretan rak yang berisikan banyak botol-botol dan kaleng. "Obat, obat, obat? Ketemu!" Kekehnya pada salah satu botol yang ia punya.

TRING! TRING!

Dihyan memiringkan kepalanya ketika bunyi lonceng itu terdengar. Sudah saatnya, ia memutar-mutar telepon untuk menuju nomor yang ia mau "Halo?" Ekspresi wajahnya semakin semangat ketika suara Mara memasuki pendengarannya.

"Halo juga." Kekeh Dihyan.

"Dihyan?"

"Selamat siang, Mara."

"..."

"Would you like to join me for a dinner?" Tanya Dihyan.

Lawan bicaranya di lain sisi merasakan sesuatu yang tidak bisa ia tahan. Ia sedikit rindu? "Dinner?" Tanyanya memastikan sekali lagi. Dihyan sedikit terkekeh geli.

"Yes, dine with me. Will you?"

"Ah, but I have to look for the orphanage this evening." Ragu Mara, ia tidak yakin apa pertemuannya kali ini akan berakhir seperti yang kemarin.

"You're out of excuses, Maravey." Dihyan memiringkan kepalanya untuk melihat ke arah Brenn tumbang. Pria itu sudah terlihat mulai membangun  kesadarannya perlahan-lahan. "Please accept it, aku tahu apa yang aku lakukan salah. So please accept my invitation, join me for a dinner." Lanjutnya.

"Okay, I'll join you." Mara menggigit bibirnya.

"Sudah menerima barangnya?" Tanya Dihyan.

"Barang?"

"I send you a package. A gift." Dihyan memelankan suaranya.

"Red lipstick on my nightstand? Itu hadiahnya?"

"I know you look better in bold red. Maravey." Goda Dihyan, pria itu lalu mematikan telponnya sepihak dan menghampiri bisnis yang ia punya.

Makan malam bersama Dihyan? Ia rasa bukan pilihan yang buruk.

Man, Over LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang