CHAPTER 04

552 51 0
                                    

THE FIRST MURDER
not edited.

Dua hari dari kepergian Brenn bukanlah hari yang terburuk awalnya, hanya saja sekumpulan pecinta gossip tiba-tiba menariknya begitu saja. Jika itu memang Gia–salah satu anggota, yang menariknya, ia mungkin bisa saja langsung pergi. Tapi kali ini yang menariknya lagi-lagi Sandra. Berharap lepas dari Sandra adalah omong kosong yang tidak pernah bisa dilawan.

"Eh gila! Lu tahu gak?! Bokap gue kemarin baru nanganin kasus aneh!" Sederet kalimat yang diucapkan Alexa terdengar menggema memecah kerumunan perempuan yang sedang sibuk merias diri di depan kaca toilet. Mara kebetulan muncul ke permukaan setelah selesai menyelesaikan urusannya di dalam bilik, ia keluar ketika kalimat itu tersebar luas ke enam siswa lainnya.

"Hm. Sebenarnya gue ga boleh kasih tahu lu pada, cuma ya gue percaya aja sama kalian." Ia menunjuk satu persatu wajah mereka, lalu ia terlihat seperti mengecek keadaan dengan menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri. "Ada mayat yang tenggelam di danau dekat hutan pinus, " Ucapan Alexa dengan raut jijik, tapi ia tak keberatan untuk melanjutkan ceritanya, "Mayat itu dilaporkan oleh seorang yang kami tidak tahu namanya, ia tenggelam dua meter ke bawah dan menyentuh permukaan danau yang suhunya hampir sama dengan awal musim dingin Eropa!" Tekan Alexa.

Mara memiringkan kepalanya, ia terlihat penasaran akan apa yang ia dengar. "Ketika orang mengeluarkannya, organnya vital dan tulangnya beberapa sudah hilang, dan pisau daging dalah penyebabnya. Pembunuhnya menyayat dari bagian leher korban hingga beberapa centi di atas vagina, lalu ia memasukkan pasir untuk mengisi kekosongan tubuh dan menjahitnya kembali dengan tali." Alexa bergidik, perempuan dengan mulut aktifnya itu terlihat merinding akan ucapannya sendiri.

"Apa kau punya fotonya, Alexa?" Sandra yang melipat kedua tangannya di depan dada menumpukan berat badannya di kaki kiri. Ia menghadap Alexa yang langsung mengangguk, ia mengeluarkannya di hadapan semua kumpulan Track–sebagaimana mereka menyebut perkumpulan gossip terkenal mereka.

Mara yang di belakang merasa takut, perempuan itu berusaha mendekat untuk segenap melihat namun anggota lain menutupi penglihatannya. Untungnya Sandra memecah keributan dengan suaranya, "Hei! Apa kalian melihat Mara?" Ucapnya lantang, semua orang membeli jalan. Mara maju dengan gugupnya menuju tempat Alexa, Sandra, Gianni berkumpul.

"Lihat ini Mara!" Ia menyerahkan beberapa lembar foto hasil jepretan amatir, seolah itu dilakukan sebelum mayat berhasil ditenggelamkan. "Mara!" Mara tersentak dari lamunannya, ia meraih foto bagian tubuh perempuan asing itu sementara. Namun ternyata tidak seasing itu untuknya, "ini baju Africa dua hari yang lalu. Katakan pada ayahmu ini adalah Africa." Ucapnya bergetar, ia terjatuh tanpa ada dorongan.

"Di dekat Calahu, kau yakin ini Africa? Kapan terakhir kali kau bertemu dengannya?" Sandra maju memegang pundak Mara untuk berdiri. "Dua hari yang lalu, aku sempat bersiteru dengannya. Namun semuanya berakhir dengan dia meninggalkanku di atas aspal." Mara tak bisa menutup matanya, bahkan mengedipkan matanya. Sebercah rasa menyelip ke dalam relung hatinya.

Yang ia tidak mengerti, rasa lain yang ia temukan adalah bahagia.

"Ayo kita ke kantor polisi." Sandra menarik lengan Alexa, namun mereka terhenti ketika pekikan Mara terdengar.

"Jangan ke kantor polisi!"

Wood Butchery

Dihyan datang dengan perlahan, ia menengok ke kanan dan kiri, lalu memasuki sebuah pintu di hadapannya. Sebuah toko daging, terlihat kaki-kaki sapi tergantung begitu luasnya di belakang meja cashier. "Saya mencari Freig Sigfrid." Cashier yang berjaga tersebut–Lilian jika dilihat dari name tag yang ia pakai mengangguk, namun tak sama sekali suara keluar dari mulutnya.

"Bisa tunjukan jalannya?" Lilian kembali menganggung kalem, perempuan itu menarik salah satu temannya yang duduk dengan nasi padang dipegangnya, mengetuk meja cashier dua kali lalu menunjuk sopan arah belakang cashier untuk ia dan Dihyan lewati. "Bisa kau bicara? Kesunyian adalah hal yang kubenci setelah kematian ibuku." Lilian terbelakak ia menggelengkan kepalanya ketika kata pertama yang keluar adalah ringkikan hewan kecil.

"Oh begitu rupanya," tubuh perempuan itu terhimpit oleh tubuh Dihyan yang dibalut kemeja setengah gulung. Perempuan itu tidak berani melihat tepat ke mata Dihyan, "kelinci putih yang sengsara rupanya." Dihyan melepaskan kurungannya dan menunggu Lilian untuk kembali menuntun jalan. "Senang bertemu denganmu." Bisik Dihyan.

"Ayo little rabit, tunjukan padaku jalannya. Sebelum Freig bersedia menebas kepalaku atas keterlambatan ini." Lilian membereskan bajunya, seolah Dihyan membuatnya berantakan. Dihyan tersenyum miring, mereka berdua berjalan menelusuri lorong. Tidak menghiraukan bau amis yang begitu kencangnya masuk ke indra penciumannya yang sensitif.

Tiga ketokan pada pintu dan suara berat terdengar dari dalam.

Pemandangan pertama yang Dihyan lihat adalah pagar besi yang membatasi ruang untuk satu meter pertama dan sisanya. Seolah ada ruang di dalam ruang, Lilian berhenti di balik pintu dan membuka pintunya untuk Dihyan. Ia pamit, namun suara Freig membuatnya berhenti. "Tunggu di sana Lily." Suara itu serak, "urusan kita berdua belum selesai." Lilian meneguk ludahnya paksa dan menunggu.

Dihyan terkekeh, "cantik juga eh?" Tanyanya dengan senyuman. Freig menghentikan kegiatannya menyayat bongkahan daging di hadapannya. Ia menaruh pisau delapan inchi dan memperlihatkan mukanya yang terdapat bekas luka. "Diam." Umpatnya kasar, pria itu bangkit dari kursinya, mata biru Jermannya menatap kepada Dihyan yang lebih rendah darinya beberapa centi tajam.

"Bagaimana dengan dagingnya? Kau suka?" Tanya Dihyan, pria itu tersenyum dan mengeluarkan sesuatu dari belakang kemejanya, lipatan kertas. "Mereka sudah menemukannya, tapi kebodohan tetap mendarah daging." Ia terkekeh, Freig tersenyum puas. "Dua otak melawan banyak orang bodoh sama saja kemenangan di udara, Yan." Freig menaruh kertas yang sudah ternodai darah itu di laci meja besinya.

Ia memotong potongan organ bagaikan sebuah mahakarya, ia kemudian menatap bingung Dihyan yang tak kunjung berhenti menatapnya dengan senyuman aneh. "Orang gila apa yang memakai jas saat memotong mahkluk mati, Freig?" Dihyan memegang beberapa tabung yang berjejer di belakang tubuh Freig.

"Aku." Freig berjalan dan memasukan potongan-potongan itu ke dalam kardus. "Dua mata, hatinya dan juga ginjal sebelah kiri. Siap untuk dikirim Dihyan." Dihyan menepuk kedua tangannya bagai anak kecil, ia terlihat puas dengan karya sahabatnya. "Terimakasih Freig, aku harap kau mendapatkan hari yang baik!"

Man, Over LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang