Dorongan kuat gue rasakan begitu kaki gue baru saja memasuki koridor sekolah yang mana tadinya koridor itu terlihat sepi namun tiba-tiba menjadi ramai dengan siswa-siswa yang mengelilingi gue dan mendorong tubuh gue untuk mereka jadikan seperti bola yang di oper kesana-kemari.
Menyadarinya, gue langsung menutup wajah gue menggunakan tas selempang yang gue kenakan. Takut-takut mereka memukul wajah gue seperti minggu sebelumnya.
"Pagi, homo..." suara seseorang saat tubuh gue berhenti di satu tempat. Gue mengenali suaranya, tapi gue enggan menyebutkannya.
Tubuh gue kembali terhuyung dan ditangkap oleh tangan seseorang yang lebih besar dari sebelumnya.
"Bukannya kelas lo hari ini siang ya? Pagi banget datengnya." ucapnya, lalu kembali menghempaskan tubuh gue untuk di oper ke siswa lainnya.
"Menjijikan." suaranya datar, lalu dengan dorongan yang sangat kuat dia mendorong tubuh gue yang segera saja membuat gue terhuyung yang sayangnya kali ini nggak ada yang menahan tubuh gue sehingga membuat gue yang nggak sigap tersungkur jatuh saat merasakan kaki gue yang tergelincir mengenai ujung dari lantai koridor.
Rasanya menyakitkan, apalagi saat punggung tangan gue mengenai bagian kasar dari selokan yang untungnya kering itu. Dan karena kejadian itu lah gue terpaksa melepas pelindung wajah gue untuk meringis sesaat sambil melihat luka pada punggung tangan gue yang mengeluarkan sedikit darah.
Suara tawaan dari beberapa siswa yang memperhatikan pun terdengar. Gue yang pada awalnya enggan mencari tau siapa pelaku yang sudah mendorong gue, terpaksa harus melakukannya yang segera saja mendapatkan tatapan tajam dari tiga orang yang menjadi dalang atas kesengsaraan gue selama bersekolah disini.
Gue menunduk, lalu meniup pelan luka goresan pada tangan gue sambil perlahan berdiri yang mana hal itu membuat gue kembali meringis merasakan sakit pada bagian pergelangan kaki gue yang tadi tergelincir.
"Makanya pindah sekolah kalo gamau setiap hari lo ngerasain neraka." ucap salah satu dari tiga orang yang katanya berkuasa di sekolah asrama khusus pria ini.
Gue nggak mengindahkan ucapannya, gue menunduk lalu berusaha sebisa mungkin melangkah dan menjauh dari mereka semua.
Berjalan sangat pelan, gue pun berhasil menjauhi mereka yang kini hanya terdengar gelak tawa mereka ditelinga gue. Setelahnya gue bener-bener nggak menoleh ke belakang untuk fokus menuju ruang UKS untuk mengobati luka gue yang baru saja gue dapatkan hari ini.
Itu benar.
Yang barusan gue alami adalah sebuah pembulian yang hampir setiap harinya gue dapatkan.
Pembulian yang menurut mereka biasa dan tak pernah jera untuk mereka ulangi walaupun beberapa kali sudah di panggil oleh kepala sekolah atas perbuatan yang telah mereka lakukan.
Gue nggak tau mereka mendapatkan keberanian dari mana, sehingga beberapa kali gue mengadu pada pengawas sekolah dan guru-guru. Mereka tetap mengulanginya, dengan alasan yang sama menyuruh gue untuk pindah sekolah agar sekolah tempat mereka belajar nggak tercemari dari orang yang menyimpang kaya gue ini.
Ya gue mau aja sih pindah. Tapi gue nggak bisa, karena orang tua gue yang menyuruh dan memaksa gue untuk tetap berada di asrama sampai gue tamat setelah gue memberitahu jati diri gue ke mereka.
Gue nggak tau ya yang ada di pikiran orang tua gue itu apa.
Seharusnya kan mereka bawa gue ke pesantren atau hal-hal yang sering orang tua lainnya lakukan setelah tau kalo anaknya menyimpang. Tapi ini enggak, orang tua gue malah memasukkan gue ke asrama pria yang mana isinya hampir tujuh puluh persen ganteng-ganteng semua
KAMU SEDANG MEMBACA
ROOMMATE [END]
General Fiction"Eh, maaf, maaf. Tunggu diluar dulu ya, biar gue beresin dulu." ucap gue cepat dan segera mendorong tubuhnya keluar dari kamar. Setelahnya gue menutup pintu sambil memukul kepala gue sendiri merasa bodoh karena sudah menempel poster-poster cowok gan...