Setelah penampilan itu gue langsung pergi dari area panggung karena tiba-tiba merasa mual yang entah karena gugup atau mungkin gue yang masuk angin.
Yang jelas gue langsung berlari ke arah kamar mandi dan memuntahkan isi perut gue yang terasa menyakitkan karena emang gue belum sarapan saking buru-burunya.
Dirasa cukup, gue pun membasuh mulut gue dan menatap cermin untuk memperhatikan wajah gue yang sayangnya hal itu malah membuat gue terbayang akan kecupan Josh pada dahi gue saat sebelum gue tampil.
Gue masih bisa merasakan bibirnya yang menempel di dahi gue. Begitu juga dengan senyumannya yang kini kembali membuat jantung gue perlahan berdebar yang sayangnya harus terhentikan karena sebuah suara yang cukup lantang menyebut nama gue dari kejauhan.
"KOKOO..." panggilnya.
Gue menoleh, dan mendapati sosok Hesa yang ikut masuk kamar mandi lalu segera berlari menghampiri gue yang dengan gerakan cepak memeluk gue dengan kepala yang dia tempelkan pada dada gue.
Nggak ngerti apa yang terjadi sama dirinya. Gue cuma diam tanpa membalas pelukannya sampai akhirnya Hesa sendiri yang melepaskan pelukan itu dan menatap gue dengan mata yang berbinar.
"Suara kamu bagus banget, Koko. Gila, aku terpanah liat penampilan kamu tadi. Aku suka." ungkapnya. Gue yang mendengarnya segera saja menatapnya bingung.
"Lo udah nggak marah lagi sama gue, kah?" tanya gue pelan berusaha hati-hati agar nggak menyinggung perasaannya.
"Hah? Siapa yang marah?" tanyanya balik.
"Elo lah. Kemaren-kemaren lo nggak ngomong sama gue. Mengabaikan gue terus temenan sama yang lain. Jadi apa kalo bukan marah?" ujar gue yang sedikit terbawa emosi karena dia dengan mudahnya menanyakan hal yang sudah jelas.
Hesa menggaruk tengkuknya sambil terkekeh pelan. Setelahnya dengan nada kecil yang terkesan malu dia berkata.
"Maaf."
"Aku emang sempet marah sama kamu karena kamu ngasih harapan palsu sama aku. Tapi sekarang aku sadar, dan minta maaf karena udah ngabaikan kamu. Kita temenan lagi, ya? Please.." tambahnya, tangan yang tadi ia gunakan untuk menggaruk tengkuknya pun kini sudah berpindah posisi ke lengan gue dan digenggamnya untuk ia goyang-goyangkan.
"Bukannya lo udah punya dua temen baru ya? Gue rasa itu cukup. Lo nggak perlu gue lagi." ujar gue, lalu perlahan melepaskan genggaman tangannya pada lengan gue.
Setelah itu gue pun berniat untuk pergi dari sana meninggalkan Hesa di kamar mandi. Tapi gue mengurungkannya saat Hesa kembali berujar dengan kalimat yang ngebuat gue terdiam untuk beberapa saat mencerna ucapannya.
"Dasar munafik. Bilang aja kamu suka sama Josh. Makanya kamu nolak aku jadi temenmu lagi karena kamu nggak mau deketin sama Josh lagi kan? Muna kamu." tuduhnya. Gue yang merasa difitnah pun berbalik.
"Atas dasar apa lo nuduh gue begitu? Gue nggak nyimpen perasaan apapun sama Josh. Gue bahkan masih nyimpen kebencian atas tingkahnya dimasa lalu. Terus kenapa lo tiba-tiba ngatain gue munafik segala? Gue nggak mau temenin sama lo lagi karena gue kecewa. Bukan karena gue suka sama gebetan lo. Gila." ungkap gue panjang.
"Halah, omong kosong. Aku liat sendiri kamu diem aja pas Josh cium jidat kamu di belakang panggung. Kamu pikir aku nggak tau? Kalo kamu emang nggak suka, kamu pasti udah nolak dan dorong Josh jauh-jauh. Tapi buktinya apa? Kamu malah diem dan nerima kecupan itu dengan senang hati. Harusnya aku yang kecewa disini." balasnya.
Gue nggak bisa membalas ucapannya lagi. Karena yang barusan dia ucapkan membuat gue terdiam menyadari kalo yang Josh lakukan saat dibelakang panggung bukanlah tempat sepi yang nggak ada orang melihatnya.
Di tempat itu masih ada beberapa orang yang masih bersiap-siap untuk tampil yang mana besar kemungkinan kalo mereka juga menyaksikan aksi Josh yang memperlakukan gue seperti itu
Bahkan Hesa melihatnya. Gimana dengan yang lainnya?
"Kenapa? Beneran ngerasa muna? Bagus deh. Makanya, jadi orang tuh jangan muka dua. Kalo suka ya suka, jangan bilang nggak suka, tapi malah nusuk dari belakang. Sampah." ujar Hesa lalu pergi meninggalkan gue yang mana hal itu membuat keadaan jadi terbalik karena tadi gue lah yang ingin meninggalkannya pergi.
Gue terdiam cukup lama di kamar mandi dengan posisi berdiri yang sama. Sampai akhirnya gue sadar setelah perut gue kembali berbunyi untuk yang kesekian kalinya. Menyadarinya, gue pun segera pergi dan berlalu berniat ingin mengisi perut kosong gue sebelum hal yang nggak gue ingin terjadi.
Tapi saat gue berada di tengah-tengah tepat di persimpangan antara belok ke kantin atau ke tempat acara tadi, nama gue kembali disebut dengan lantang oleh dua orang pria yang memangil gue secara bersamaan namun dengan intonasi dan suara yang berbeda.
"KOKO!" panggil Azuan dan Josh.
Gue yang ada di tengah-tengah pun menatap mereka secara bergantian. Melihat mereka sama-sama berlari kecil menghampiri gue sampai akhirnya satu tangan gue digenggam oleh Azuan yang sampai lebih dulu dan menarik tangan gue perlahan.
"Gue cariin dari tadi juga. Lo dari mana?" ujar Azuan saat tiba di samping gue.
Baru aja gue membalas, tangan gue yang satunya ikut digenggam oleh Josh yang baru saja tiba. Dia terlihat kelelahan yang entah habis ngapain karena gue menebaknya dari wajahnya yang dibanjiri oleh keringat.
"Ayo ikut gue. Ada yang mau gue omongin." ujar Josh dan sedikit menarik tangan gue mengisyaratkan agar gue mengikutinya.
"Enak aja lo. Gue duluan yang sampe, berarti Koko harus ikut gue. Lo nanti aja, soalnya guru sama panitia nyariin gue sama dia." ungkap Azuan.
"Ini lebih penting dari itu! Ini tentang keluarga lo Ko." ujar Josh. Yang sontak ngebuat gue tertarik dan menatapnya penuh tanya.
"Ada apa sama keluarga gue?" tanya gue pada Josh. Entah kenapa tiba-tiba gue merasa cemas apalagi Josh mengeluarkan ekspresi seakan-akan dia sulit untuk mengungkapkannya ke gue.
"Lo lebih baik ikut gue dulu ke kamar. Kita omonginnya disana, soalnya gue tadi angkat telpon dari saudara lo tadi di kamar." jelas Josh.
Gue yang mendengar itu segera menoleh ke arah Azuan lalu kemudian memasang wajah penuh maaf karena harus melepaskan genggamannya pada lengan gue sambil berkata.
"Maaf, tapi lo wakilin gue aja ya, Wan. Gue lebih milik ikut Josh yang kayaknya lebih urgent." ujar gue padanya.
Untungnya Azuan mengerti, dia mengangguk pelan lalu tersenyum hangat sebelum akhirnya dia pamit untuk berbalik dan berjalan menjauh menuju acara yang masih berlangsung saat ini.
Sedangkan gue yang melihat sosok Azuan sudah menjauh pun berbalik menatap Josh, setelahnya gue menyuruhnya untuk segera ke kamar untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Tapi baru setengah jalan, tiba-tiba perut gue terasa sakit yang ngebuat gue berhenti melangkah untuk membungkuk sedikit sambil memegangi perut gue berharap rasa sakit itu mereda.
"Ko? Lo kenapa, Ko?" tanya Josh. Ia ikut membungkukkan badannya untuk melihat ekspresi gue yang saat ini menahan sakit.
Gue ingin sekali menjawab kalo gue nggak apa-apa. Tapi gue nggak bisa melakukannya, karena selanjutnya mata gue kunang-kunang dan kemudian menjadi buram sebelum akhirnya menghitam dengan tubuh gue yang perlahan melemas dan jatuh tak sadarkan diri.
• • •
to be continued...
skrg nunggu tembus 150 yak. Eheheh.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROOMMATE [END]
General Fiction"Eh, maaf, maaf. Tunggu diluar dulu ya, biar gue beresin dulu." ucap gue cepat dan segera mendorong tubuhnya keluar dari kamar. Setelahnya gue menutup pintu sambil memukul kepala gue sendiri merasa bodoh karena sudah menempel poster-poster cowok gan...