Ternyata acara yang dimaksud bukanlah sekedar acara perayaan hari jadi sekolah ini aja.
Melainkan sekolah khusus putri yang ada di seberang jalan pun ikut merayakannya dan datang ke sekolah ini sebagai tamu undangan. Sehingga kini seluruh murid pada heboh dan berdandan sebaik mungkin untuk menemui para siswi yang sudah berkumpul di aula dekat panggung tempat gue tampil nanti.
Menyadarinya membuat kegugupan gue bertambah besar. Gue yang belum pernah tampil di panggung pun udah berkeringat dingin melihat banyaknya murid-murid yang sudah berkumpul dan saling berbincang disana.
Walaupun giliran gue tampil masih lama. Itu nggak menutup kemungkinan kalo gue udah kalah sebelum berperang. Apalagi sekarang gue sendirian. Di belakang panggung dan hanya menatapi murid-murid lainnya yang bersiap untuk tampil merayakan acara ini.
Sedangkan Azuan sendiri belum gue ketahui kabarnya.
Terakhir kali dia bilang, dia mau nyapa salah satu cewek di sana untuk dimintai nomor ponselnya. Namun hampir sejam berlalu sosoknya belum juga kembali. Membuat kekhawatiran gue semakin membesar yang bahkan kini sudah membuat gue menggigil yang disusul dengan perut mual dan mulas.
Rasanya gue pengen minggat dan sembunyi dari tempat ini. Tapi karena ada pengawas yang menjaga kami di belakang panggung, mustahil bagi gue untuk keluar karena hanya di bolehkan satu perwakilan saja kalo emang ada keperluan di luar.
Gue nggak tau apa yang ditampilkan di panggung saat ini. Yang jelas gue mendengarkan sorakan meriah para murid di depan yang ngebuat gue mendongak merasa penasaran akan apa yang terjadi disana.
Namun tanpa sengaja mata gue bertemu dengan sosok Azuan yang tertawa renyah bersama seorang siswi yang terlihat cantik dari sisi manapun yang juga sedang tertawa sambil menunjuk-nunjuk ke arah panggung.
Gue tau gue bukan siapa-siapanya Azuan. Tapi melihatnya dekat sama cewek kayak gitu, ngebuat gue kecewa dan menjadi lemas. Mungkin gue yang terlalu berharap kalo Azuan bisa aja belok dan ngelirik gue untuk dia jadikan pasangan.
Ternyata emang gue harus menahan perasaan gue agar nggak jatuh pada sosok Azuan karena sekarang gue tau betapa lurusnya sosoknya kalo lagi deketan sama seorang cewek kayak gini.
Jadi ya pilihan yang tepat bagi gue untuk menanamkan Azuan sebagai teman tanpa adanya embel-embel rasa suka. Biarpun mengecewakan, tapi gue bisa apa kalo emang itu jalan hidupnya.
Menghela napas sebentar, gue pun mengalihkan pandangan gue dari sosok Azuan untuk kembali merenungkan kegugupan gue yang masih terhitung beberapa puluh menit lagi sebelum nanti gue tampil.
"Lo nggak apa?" tanya seseorang dengan suara yang khas yang tentu saja gue tau kalo itu suaranya Josh.
Gue menoleh dan menatapnya heran karena setau gue dia nggak ada urusan apa-apa disini dan nggak terpilih sebagai murid yang akan tampil. Jadi sangat mustahil dia melewati penjaga kecuali dia emang punya urusan yang penting.
Tanpa gue sadari, tangan Josh terulur untuk mengelap keringat yang ada di dahi gue sambil mengecek suhu tubuh gue menggunakan punggung tangannya. Sedangkan gue yang menerima perlakuannya cuma diam sambil mendengarkannya berbicara.
"Lo nggak sakit. Tapi keringet lo banyak banget. Apa lo segugup itu cuma buat tampil satu lagu?" ujarnya. Kini tangannya sudah di bahu gue untuk sedikit ia remas dengan maksud menenangkan gue.
Rasanya aneh sih ngeliat Josh perhatian kayak gini. Karena semenjak dirinya meminta maaf waktu itu. Sikapnya berubah cukup drastis pada gue yang kini menjadi lembut dan hangat yang penuh akan perhatian. Layaknya seorang teman yang sudah kenal sangat lama.
Gue sih awalnya nggak memperdulikan. Karena gue pikir dia pasti nggak bakal bertahan bersikap begitu dalam waktu sehari.
Tapi hingga dua hari berlalu, Josh masih bersikap hangat dan bersahabat sepertinya ini. Jadi ya...gue ngerasa aneh aja. Walaupun gue tetep nerima perhatian yang dia berikan.
"Tenang aja, gue bakal terus disisi lo kok. Jangan gugup. Lo punya suara yang bagus. Jadi nggak bakal bikin orang yang denger kecewa." ujarnya lagi. Kini gue menoleh dan memutar kedua bola mata gue memandangnya.
"Lo ngomong gitu seakan-akan hubungan kita deket aja." balas gue padanya.
"Kita emang deket kok." gue menautkan alis gue menatapnya bingung.
"Sejak kapan?"
Tanpa berpikir, Josh langsung menjawab. "Sejak gue minta maaf kemaren. Kita udah jadi temen semenjak itu kan? Makanya gue bersikap baik kayak gini." ucapnya.
Mendengarnya membuat gue menghela napas. Dia pasti salah kaprah atas ucapan gue waktu itu yang mengatakan bakal memutuskan sesuai sikap dia ke gue kedepannya.
"Denger ya Josh. Kita itu belum temenan. Masa lo nggak paham maksud gue waktu itu? Gue kan bilang bakal mutusin maafin lo atau nggak setelah ngeliat sikap lo kedepannya. Bukan berarti kita udah temenan." jelas gue padanya.
Gue pikir Josh bakal marah dan kembali kayak Josh yang sebelumnya. Tapi gue malah terdiam dan bergeming merasakan gejolak pada jantung gue karena saat ini gue melihat dirinya tersenyum yang mana senyuman itu terlihat sangat memikat dan sangat dengan wajahnya yang tampan.
"Gue tau. Tapi gue bakal tetep anggap kita temenan karena gue emang menginginkannya. Gue bakal berusaha dan terus bersikap baik sampe lo memaafkan gue dan menerima gue sebagai Josh yang baru di kehidupan lo." ujarnya. Sangat lembut, di barengi dengan kedua tangannya yang hinggap di bahu gue membuat gue dan dirinya saling berhadapan dan saling tatap satu sama lain.
Entah kenapa jantung gue berdebar sangat kencang. Melihat sosok Josh didepan gue yang nggak seperti biasanya yang ngebuat gue bungkam dan sulit berkata karena memang perbuatannya saat ini belum pernah gue rasakan.
Bahkan sekarang kedua tangannya sudah berpindah ke pipi gue, mengelusnya pelan sebelum akhirnya gue rasakan kecupan kecil pada dahi gue yang terasa lengket yang terjadi cukup lama karena memang Josh menempelkan bibirnya sambil dengan dirinya yang menghirup aroma shampo yang berasal dari rambut gue.
"Nah, sekarang lo fokus sama penampilan lo. Jangan gugup dan terus pikirin gue yang baru aja ngasih lo semangat." ucapnya setelah selesai mengecup gue yang katanya sebagai penyemangat.
Gue nggak membalas ucapannya. Gue pun nggak bereaksi apa-apa. Yang gue lakuin cuma diem sambil terus memperhatikannya yang kembali mengeluarkan senyuman manis yang membuat jantung gue hingga saat ini masih berdetak kencang.
Sampai akhirnya gue mendengar suara panita yang menyebut nama gue sama Azuan untuk bersiap tampil sebentar lagi, gue pun tersadar, lalu menghirup napas dalam untuk kemudian gue hembuskan secara perlahan.
"Semangat." ucap Josh dengan satu tangan yang ia angkat untuk mengelus pipi gue untuk yang terakhir kalinya karena setelahnya dia berbalik dan berlalu pergi meninggalkan gue yang masih kayak orang bego menatapnya yang kini sudah berganti menjadi sosok Azuan yang baru saja tiba.
Azuan tersenyum menatap gue, lalu tanpa mengatakan apapun dia menarik tangan gue untuk naik ke atas panggung setelah penampil sebelumnya sudah selesai menampilkan penampilannya.
Dan saat gue berada di atas panggung. Rasa gugup yang luar biasa gue rasakan tadi, kini sudah menghilang. Perasaan gue sudah lebih nyaman karena benar saja, yang gue pikirkan saat ini bukanlah tentang penonton yang akan menilai penampilan gue nanti.
Melainkan pikirkan gue terus tertuju akan kecupan Josh, ucapannya, dan juga senyumannya.
Entah apa yang terjadi sama gue. Tapi yang jelas, ini mempermudah gue untuk tampil yang berakhir sukses dengan sorak penonton yang bertepuk tangan atas penampilan gue.
Dan gue seneng akan hal itu. Sangat seneng.
• • •
to be continued....
tembus 100 vote, auto up lagi ya ges. Hahaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROOMMATE [END]
General Fiction"Eh, maaf, maaf. Tunggu diluar dulu ya, biar gue beresin dulu." ucap gue cepat dan segera mendorong tubuhnya keluar dari kamar. Setelahnya gue menutup pintu sambil memukul kepala gue sendiri merasa bodoh karena sudah menempel poster-poster cowok gan...