WANITA PENUNGGU RUMAH NOMOR 13 PART 4

5 5 0
                                    

_Part 4_

Wanita Penunggu Rumah Nomor 13

Jen, mau kemana kamu? kata Ayah.

Main, jawabku singkat.

Mandi belum, apa belum, sikat gigi belum, main saja anak satu ini. Mandi dulu, ibuku menyahut

Hih elah, aku beringsut manyun ke dalam rumah. Kuteruskan saja nonton TV lah. Lagian panas matahari lagi nyengat-nyengatnya. Nanti saja mandi sekalian sore, hehehe. Begitulah aku, waktu kecil malas mandi banget.

------------------------

Sore menjelang, pukul 16.35 WIB aku masih ingat sekali jamnya. Lantaran itu jam berbentuk kotak yang bisa disetting ulang. Pasti kamu tahu, deh. Jam lama klasik dan dia berhenti tepat saat aku melihatnya. Nanti saja kusetting, sekarang mau mandi dulu. Mau main sepeda, yippie.

Kelar mandi, segar, wangi, aku langsung bergegas ambil sepedaku. Kali ini agak malas ke lapangan, nanti kotor lagi, kan aku udah mandi. Aku niatkan saja keliling komplek perumahan. Oia, nama-nama jalan di perumahanku ini diambil dari nama gunung. Ada Merapi (jalan rumahku), Ada Malabar, Pangrango, Gede, Tinombala, Rinjani, banyak lagi. Satu RT biasanya terdiri dari 4 baris rumah yang berhadapan dan membelakangi. Jalan rumah wanita itu bernama Gunung Kawi. Aku melewatinya nanti, kalau sudah mau pulang, biasanya deket-deket maghrib.

Karena komplek ini belum banyak yang menghuni, mobil dan motor sangat jarang. Aku bisa kebut-kebutan sepeda lalu menikung tajam di belokan tanpa takut ada kendaraan lain di hadapanku. Oh, sungguh mengasyikkan. Tapi itu dulu. Sekarang gak usah ditanya. Tetangga ibuku bisa punya 3-4 mobil dan garasi rumahnya hanya muat 1 mobil. Kebayang sempitnya jalan-jalan di perumahan ini.

Oke skip.

Hari menjelang maghrib. Saatnya untuk pulang. Aku melewati Jalan Kawi pelan-pelan. Di gang ini kuhitung hanya 7 dari 12 rumah yang sudah ditempati. Sisanya kosong. Aku mulai melewati rumah nomor 13. Pagarnya hanya setinggi dada orang dewasa, kira-kira setinggi kepalaku. Tapi pagarnya jarang-jarang dan tidak ditutupi apa pun sehingga kita bisa melihat ke balik pagar.

Entah kenapa aku berhenti agak lama di depan rumah itu. Sambil kuperhatikan setiap sudutnya. Rumah itu ada cahaya bohlam di terasnya tapi kayak bohlam di peternakan ayam negeri. Penuh debu, sarang laba-laba, dan temaram. Aku sampai merebahkan sepeda di tengah jalan, mendekat ke arah pagar.

Kuperhatikan kaca depan rumah, ADA YANG MENGINTIPKU! SEBELAH MATA YANG MELOTOT MEMBESAR! Hanya terlihat mata, tidak terlihat wajahnya! Buru-buru kuambil sepeda dan ngacir! Sial, seram sekali! Hingga hari ini mata itu masih suka terbayang-bayang. Bahkan mendefinisikannya saja aku gemetar.

Hingga saat aku melihat mata itu dan naik kelas 3 SMP tidak ada kejadian yang terlalu aneh.

Oke skip.

Hingga akhirnya menginjak kelas 3 SMP, ayah ibuku mulai bisa membangun rumah. Kami lumayan terpandang lah di komplek. Apalagi ayah bekerja di BUMN minyak itu. Gajinya mungkin yang paling besar di perumahan yang lebih mirip papan subsidi untuk warga tak mampu sebenernya. Tapi ya sudahlah, ya. Disyukuri aja.

Hore, rumahku bakal bertingkat. Tapi ibu bilang di atas khusus untuk mencuci, jemur, serta menyetrika. Jadi tidak dibuat ruangan bertembok. Tetap terbuka dengan dikelilingi teralis sehingga maling tidak masuk. Well, mantul juga ide ibuku. Jadiin.

Ada 1 tukang dan 2 yang membantunya, biasanya disebut kenek. Sebelum membangun, ibu minta izin tetangga kiri-kanan-belakang supaya tak terganggu aktivitas para tukang ini. Giliran di rumah belakang, lagi-lagi ibu tak bisa menemui pemiliknya. Ibu memintaku menemani pergi ke Pak RT mencari tahu siapa pemilik rumah nomor 13. Wah iya, kenapa gak dari awal nanya pak RT?

Pak RT sendiri merupakan seorang pegawai swasta yang hampir jarang memperhatikan warganya karena sibuk bekerja. Pak Ahmad namanya. Dia berusia kayak ayahku, pada waktu itu masih 47 tahunan. Pak RT mempersilakan ibu dan aku duduk.

Rumah pak RT ada di ujung jalan Merapi, jalanan rumahku. Kekuasaan pak RT meliputi Jalan Merapi dan Jalan Kawi. Ibu haha hihi sebentar sama bu RT sambil menanyakan pertanyaan-pertanyaan template. Anak berapa, di mana dulu tinggalnya, bla bla bla. Aku cuma bengong sambil ngeliatin ruang tamu pak RT.

Tibalah pertanyaan mendasar. Anu pak RT, saya mau tanya, itu rumah di belakang saya siapa, ya? Saya sejak 11 bulan lalu pindah ke sini, tidak pernah tahu. Siapa di belakang saya itu. Tapi kadang saya mendengar suara-suara aneh. Kayak orang nangis, atau bertengkar karena ada suara bag bug bag bug yang kedengeran sampai dinding rumah saya. Tiap saya samper, gak pernah ada yang keluar. Atau mungkin orangnya lagi pergi. Kalau bertamu malam-malam kan kurang sopan. Jadi jarang saya ke sana kalau malam. Biasanya siang. Saya mau minta izin ke dia, karena saya mau bangun rumah. Namanya tetangga, saya gak mau kalau dia merasa keberatan saat bangun rumah suaranya berisik. Saya minta kesediaan pak RT untuk menjelaskan sama yang punya rumah. Barangkali pak RT bisa membantu saya, kata ibu.

Pak RT dan Bu RT pandang-pandangan. Bu RT tersenyum agak kecut dan menghela nafas panjang, lalu mempersilakan suaminya untuk menjelaskan, monggo, pak.

Wanita penunggu rumah nomor 13 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang