9; Teman

29 3 0
                                    

♫︎ Tenang- Yura Yunita
recommendation song for this chapt.

Warna langit tak lagi biru. Sinar jingga senja mendandani angkasa, hadir di sela bergantinya siang dan malam. Dari arah barat, tampak sang surya yang hendak terbenam.

Habis sudah gilirannya untuk mendampingi kesibukan hari ini.

Tak di kira, ia sudah menghabiskan waktunya di tempat kursus itu dalam beberapa jam. Sama sekali tidak memberi kesan lamanya durasi, malah membuatnya merasa sedikit tidak puas karena kegiatan itu berlangsung sepintas.

Dengan ligat, Reyga membereskan seluruh barang barangnya yang akan ia bawa kembali pulang.

Ia bersicepat keluar dari ruangan kelas, khawatir akan bundanya yang cemas karena hari kian semakin gelap.

Tangan kanannya menenteng tas bekal makanan, sedangkan yang kiri membawa case biola. Ia membuka lebar langkah kakinya, berharap dalam hitungan detik ia sudah bisa sampai di halte.

"HOI!" suara teriakan itu terdengar jelas di telinga Reyga. Namun hanya ia hiraukan. Dia yakin panggilan itu bukan untuknya.

Tak sama sekali ia tolehkan wajahnya kebelakang untuk melihat asal teriakan itu.

"Eh elu yang pake tas warna item! Tungguin gua," ulang sosok itu kembali. Tas warna hitam?
Reyga menghentikan langkah. Dia tertegun.

Memutuskan untuk membalikkan badan, mencoba melihat siapa berteriak dengan suara bulat menggelegar itu.

"Aku?" tanya Reyga sambil mengarahkan jari telunjuknya ke dada.

"Iya, elu." jawab pemuda itu dengan anggukan. Sambil terengah-engah, cowok itu memberi tanda "tunggu" selagi ia mengatur nafas.

Kalian tahu anak bercelana jeans di kelas biola tadi? Dialah pemilik suara berat itu. Iya, pemuda yang memiliki eye smile dan datang terlambat gara gara mobilnya yang rusak ituu.. Ia berjalan menghampiri Reyga.

"Lu budeg? Tenggorokan gua sakit teriak teriak manggil lu." ujarnya gelagapan.

"Maaf, aku kira kamu memanggil orang lain" balas Reyga singkat.

Laki laki berkaos hitam itu menyeringit mendengar balasan dari lawan bicara. Terasa asing di kupingnya, nada bicara dan kalimat yang baku itu meresap ke gendang telinga.

"Baku banget bahasa nya anjir" gumam nya kecil.

"Maksudmu?" Reyga bisa menebak apa yang dibilang oleh anak itu walau suaranya terdengar samar. Ia terheran, bagaimana bisa anak ini berlagak dan berlogat seperti seseorang yang sudah kenal sangat dekat dengan dirinya.

"Lu mau kemana?"

"Aku mau pulang" jawab Reyga.

"Yaiya gua tau lu mau pulang, tapi rumah lu arah mana?"

Tangan kanan Reyga menunjuk ke arah timur, kemudian berkata, "Memangnya kenapa? Rumah kamu dimana?"

"Sama arah" tuturnya dengan dua kalimat itu.

Kehabisan topik untuk omongan basa basi, mereka terdiam untuk beberapa detik. Sangat terlihat konyol jika kedua oknum itu saling memandang canggung. Sungguh, membawa gelak. Bayangkan saja, yang awalnya sok akrab tiba tiba membawa suasana hening dalam sungkan seketika.

Alhasil, Reyga memutuskan untuk tunjuk bicara lebih dulu. "Jadi, tujuanmu memanggil aku apa?"

Lawan bicaranya itu tertegun.

"Gua mau pulang bareng. Mau kan?" katanya dengan ekspresi wajah bertanya. Reyga yang ingin melanjutkan percakapan itu, mendadak tercengang.

Bagaimana bisa ia tidak tercengang. Demi Tuhan, seumur hidup Reyga, ia tak pernah disodorkan kalimat ajakan itu oleh satupun manusia yang dianggapnya teman. Belajar bersama dirinya saja tiada seorang pun yang mau. Reyga kembali menatap anak laki laki itu- membinarkan kedua matanya. Memastikan ucapan apa yang laki laki itu katakan pada dirinya.

PANDATYAWhere stories live. Discover now