3; Bersaing

61 3 0
                                    

Kalian baca chapter ini sambil ngapain?

***


"Kak, bunda nunggu kamu tuh" ucap seorang gadis berambut sebahu sambil mengetuk pintu sebuah kamar.

Dari dalam ruangan, remaja laki laki itu menjawab "Iya, sebentar lagi". Ia mengambil sisir merahnya di dalam sebuah keranjang kecil, lalu menyisirkannya dengan tergesa gesa. Tas ransel berwarna hitam berada di pundak kanannya. Ia berlari menyusuri lorong dan menuruni anak tangga satu persatu.

"Tas nya sudah siap?" tanya Harum.

"Sudah nda" jawabnya dengan ngos ngosan.

Sudah terhidang di atas meja, 4 porsi roti tawar yang berisi meses dan margarin. Ia meletakkan tasnya di sofa dan mulai menyantap sarapan.

16 tahun berlalu begitu cepat.

Kini, bayi mungil yang kuceritakan kemarin itu sudah beranjak dewasa. Tinggi tubuhnya mulai menjulang, dan suara nya kian membulat. Bahunya yang lebar membuat ia tampak gagah saat memakai baju kemeja seragam sekolah. Reyga tak banyak berbicara. Ia hanya suka mendengarkan ocehan adik perempuannya, dan gerutu Bagas bila Manchester United tak kunjung mendapatkan poin saat pertandingan.

Dia sering membantu Harum memasak makan malam. Memasak mungkin menjadi salah satu hobinya. Ia suka mencoba resep resep yang ia dapat di internet. Walaupun, kadang rasanya tak sesuai ekpektasi. Mungkin tak seperti remaja lain, Reyga selalu standby berada di depan meja belajarnya saat weekend tiba. Akan terdengar aneh di telinga Harum dan Bagas jika anak itu tiba tiba meminta pergi hangout bersama teman temanya. Mustahil.

"Nda, yah, Reyga mau berangkat" ia sedikit membungkukkan badan, menunggu bunda dan ayah menyentuh tangannya.

"Kamu buru buru? Tidak berangkat sama ayah saja?" tanya Bagas.

"Tidak usah yah. Akan ada ujian hari ini. Gurunya pasti datang lebih awal"

"Yasudah, hati hati di jalan ya nak" Harum mengelus surai Reyga dengan lembut.

"Eh kak, di sekolah ada yang jualan pentol kagak? Ntar bawain ye..pliss" sahut adik perempuannya yang sedang duduk di kursi teras.

"Kalau ada" jawab Reyga dengan nada datar.

"oke makasih." gadis itu mengacungkan jempolnya.

Reyga tersenyum. Ia segera melepas rantai yang masih terikat di ban sepedanya, dan membawa sepeda itu ke luar pagar. Cuaca hari ini tak sepanas kemarin. Sejuk dan masih bersahabat. Keringat yang dihasilkan dari tenaga mengayuh sepeda itu bahkan terhambat oleh angin pagi di kota Bandung.

Gerbang sekolah masih terbuka. Reyga memarkirkan sepedanya di halaman utama. Hanya ada beberapapa siswa yang terlihat. Mereka terlihat sibuk sendiri. Ada yang asyik membaca buku di koridor kelas, ada juga yang sudah berkerkumpul sambil memainkan uno. Memang, anak anak yang datangnya lebih awal di sekolah ini, biasanya adalah murid yang sifatnya polos,jarang dipanggil guru BK, dan tidak mau terlihat popular di sekolah.

Anak laki laki itu duduk di bangku barisan paling depan. Ia mengambil bangku paling pojok kanan karena jaraknya yang dekat dengan jendela kelas. Tas ransel hitam itu digantung di bahu kursi. Reyga selalu menjadi penghuni pertama di kelas. Rata rata di kelas ini datang 10 menit sebelum bel sekolah berbunyi.

Reyga memutar badannya ke belakang untuk mengambil sesuatu dari tasnya. Ia sedikit berdiri, berusaha untuk menjangkau barang itu. Sebuah buku berwarna abu abu dan bertuliskan sebuah inisial nama. Ia membuka lembaran buku, halaman per halaman. Reyga mulai menggesekkan ujung pensil nya yang tajam ke permukaan kertas.

PANDATYAWhere stories live. Discover now