Bab 4

3.4K 523 19
                                    

15 tahun kemudian

Raguan Mindra Risydad

“Dikit lagi kepalaku bakal gila kak hadapi dua anak ini. Mana mereka, mana!”

“Sabar Guan, sabar. Namanya aja anak-anak.”

“Ini karena kak Anggun selalu manjain mereka sejak kecil, jadinya gini. Lihat nilainya? Gimana mau lanjut kuliah ? Astaga, kak. Biaya les mereka gak sedikit. Kalau mereka gak giat belajar, jangankan masuk jurusan favorit, bisa diterima kuliah aja syukur,” keluhku frustasi sambil berjalan cepat mencari keberadaan Dinar dan Damar.

“Gu, mereka kan baru ujian akhir tahun depan. Jangan terlalu forsir lah, biar mereka bermain dulu, masih SMA juga.”

“Mereka tiap hari kerjanya main, kak. Kapan mereka gak pernah main?”

“Iya tapi nilai mereka selalu bagus kok. Hanya nilai les bimbingan aja kan yang jelek?”

“Sama aja. Kak Anggun pasti tahu kan, bagaimana aku ngasuh dua anak ini?’

“Iya kakak tahu, tapi kamu jangan terlalu keras, Gu

 Sama anak-anak apalagi mereka remaja.”

Tidak ada gunanya menjelaskan pada kak Anggun. Anak-anakku berusia lima belas tahun. Tahun depan mereka akan menginjak usia enam belas tahun. Damar adalah anakku yang tertua, dan Dinar, adiknya gadis remaja tanggung yang paling sulit ku atur. Saat malam tiba, aku sengaja menunggui mereka pulang dengan sapu di tangan. Ku dengar dua saudara ini tertawa cekikikan seolah bahagia karena berhasil mengelabuhiku. 

Hah! Inilah salah satu akibat kalau kita terlalu memanjakan anak-anak.

“Ohh..jadi begini kelakukan kalian selama ini?” kataku lalu mulai mengejar mereka dengan sapu di tangan. Kedua anak itu berlarian menghindari amukanku. Kulihat Dinar lebih cepat masuk ke kamar dan menguncinya secepat kilat. Tinggal Damar target terakhirku.

“Ma. Please deh. Ini gak bakalan lagi. Kami hanya main kok, Damar juga jaga Dinar.”

Kupandangi wajah anak laki-laki ku dengan tatapan menyelidik. Saat aku menatapnya, sesuatu, lebih tepatnya sekelibat ingatan muncul di kepalaku.

“Apa jaminannya?”

“Memangnya, Mama mau apa?”

“Mama mau kamu juara kelas lagi, buktikan. Jangan bikin mama jantungan dengan nilai kamu kemarin. Kamu mau kan jadi dokter?”

“Damar mau Ma, tapi apa yakin bisa biayanya? Mama aja sering ngeluh cicilan rumah ini masih lima tahun lunasnya.”

“Heh anak kecil, ikut campur mulu urusan orangtua.”

“Anak kecil? Bukannya Damar sering dikirain pacar mama di kampus?”

“Damar Baryndra Ahmad, jangan alihin percakapan kalau sama mama. Mama lagi serius ini.”

“Iya Ma. Damar duarius. Semester ini nilai Damar bagus. Terus? Si mata duitan? Gimana? Enak aja dia lolos, kok aku mulu yang kena getahnya mah?

“Ya maksud Mama, kalian berdua, bukan hanya kamu.”

Saat akhirnya aku duduk di sofa sesuatu pada mata Damar membuat ingatan itu datang lagi. Anehnya Damar juga terus menerus melihatku.

“Jadi, namanya Baryndra ya Ma?”

Oh tidak. Apa yang baru saja ku katakan?

 ===========


Bara di mata BaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang