🌳🌳🌳🌳🌳🌳🌳
BaryndraAku berhenti saat merasakan sebuah atmosfir aneh. Cuaca terik, dengan angin kencang benar-benar mengganggu. Kembali ku lanjutkan perjalanan langkah lalu menyapa.
“Ada apa ini?”
“Kami hanya ingin beberapa dus makanan, tidak lebih,” jawab pria yang kukenali sebagai penduduk asli. Benarkah penduduk asli? Entahlah aku mengedarkan pandangan. Dan melihat ada dua wanita dan satu pria yang tengah berbicara pada pria yang kutenggarai pencetus ide masang palang di jalan ini.
“Ya kalau gitu beri aja, butuh berapa dus? Saya kasih, asal ambil palang, kami harus segera ke Palu,” sahutku tegas. Wajah pria itu terlihat mengamatiku.
“Tidak banyak, Pak. Sedikasihnya saja.”
“Oke, tapi kalai harus beri jalan kendaraan lewat. Saya minta teman saya nurunin bebebrapa bekal buat kalian, ya.”
Kemudian hanya berselang beberapa detik, seseorang diantaranya berlutut dan mengaku hanya kelaparan. Astaga drama apalagi ini. Hanya beberapa detik kemudian salah seorang wanita juga datang ikut marah karena jalannya terhambat. Ahh ini terlalu lama. Lalu tanpa berpikir panjang kudekati palang, dan menyingkirkan peghalang itu. Beberapa saat kemudian beberapa mobil menyalip dan melaju kencang.
Saat berjalan mendekati tempat sumber keributan tadi aku merasa mengenal salah seorang wanita yang tampak mencolok dari depan. Hanya melihat dari samping tadi, aku hanya bisa memandangi sekilas. Kugunakan kesempatan itu agar bisa berbicara, mungkin saja aku pernah bertemu mereka.
Sialnya, saat kudekati si wanita sepertinya sedang terburu-buru. Mengikuti insting aku mengetuk kaca dan berharap bisa memulai obrolan dan menuntaskan rasa penasaranku.
“Maaf, apa kalian juga akan tinggal Palu?,” tanyaku sembari mengedarkan pandangan dan cukup terkecoh bukan wanita yang berkacamata tadi yang kutemui.
“Benar Pak, ada yang bisa kami bantu?.”
“Sudah tahu akan kemana atau tinggal di titik mana?,” aku akhirnya menemukan wanita tadi, yang ternyata duduk di sisi yang berbeda. Ah..andai tadi aku mengetuk kaca yang satunya. Telat kamu bary.
“Belum Pak, kami berencana akan langsung ke titik bencana. Belum ada rencana pasti.”
“Oke Baik. Senang berkenalan, Oh dengan siapa saya bicara?,” kataku sengaja mengeraskan suara, sengaja ingin memancing, biar wanita itu tiba-tiba bangun dan terlibat dalam percakapan kami
“Saya Kadar. Kami relawan dari Makassar. Kalau bapak sendiri?”
“Ah saya karyawan Malikindo. Bawa bantuan juga. Jika, tim kalian butuh bantuan bisa menguhubungi saya di nomor ini,” kataku, seraya menyerahkan kartu nama Ralik.
“Baik Pak, tapi saya rasa akan percuma karena jaringan belum berfungsi baik,” jawabnya terlihat pasrah dan mengangkat kedua bahu.
“Kalau kalian tidak tahu, provider yang lain memang tidak berfungsi, tapi provider BL tetap berfungsi,” kataku memberi informasi dan bermaksud sombong. Dan memang berkat provider kamilah, beberapa video saat bencana bisa di tonton seluruh dunia di media social. Melampaui provider milik pemerintah Jekosel.
“Wah, benar. Saya baru ingat. Baik Pak, kartu namanya saya simpan. Saya pasti menghubungi Bapak jika nanti mengalami kendala di Palu.”
“Jadi, malam ini rencananya kalian akan menginap dimana?”
“Belum tahu, pak. Belum ada tempat.”
“Bagaimana kalau bergabung dengan Tim kami? kebetulan kami mengambil lima rumah penduduk yang tidak ditempati, dan lokasinya kata tim yang sudah tiba terlebih dahulu, terletak di tengah kota dan dekat bandara,bagaimana?”
“Wah ide bagus, Pak. Semoga kami tidak merepotkan.”
“Ah tidak. Ingat ya, nanti saat memasuki kota Palu, tanyakan pada sopir arah ke bandara, banyak spanduk Malikindo di beberapa tempat, kalau menemui salah satu dari kami, cukup tanyakan pada mereka di mana Basecamp inti Malikindo.”
“Terimakasih, Pak. Bantuannya sangat berguna. Sampai jumpa di Palu, Pak.”
“Baik. Sampai jumpa pak Kadar,” ucapku mengakhiri percakapan.
Lima menit kemudian Ralik datang dengan membawa salah satu anggotanya.
“Sudah beres Pak?”
“Sudah. Telat kalian. Eh tolong kirim pesan ke tim kita di Palu, kalau ada relawan bernama Kadar dan rombongannya yang meminta tinggal di basecamp kita, kamu harus terima. Tempatin mereka di salah satu rumah yang kita sewa.”
“Memangnya siapa mereka pak?”
“Entahlah. Aku merasa ada sesuatu yang harus ku kejar. Dan ini membuat adrenalinku berpacu lebih cepat tidak seperti biasanya.”
“Pak, ingat. Pak Maliki kirim pesan. Dari sini, setelah kunjungan bencana ini,ketemu dr. Audi. Bapak tidak lupa kan?”
“Ihh kamu nih, bikin mood ku jelek. Iya ingat. Ayo jalan. Jangan lupa turunin 10 kardus makanan dan air buat para pria di rumah pondok itu.”
“Baik Pak.”
“Lik, kalao aku minta kamu milih, kamu milih siapa? Aku atau si tua Bangka itu?”
“Saya tidak berani, Pak.”
“Ya sudah. Kalian balik ke mobil masing-masing. Kita lanjutin perjalanan.”
“Mau makan di mana Pak?”
“Di mana aja. Yang jelas bukan di pinggir pantai,” kataku akhirnya. Dan berjalan menuju mobil lalu melepas kacamata. Saat memeriksa ponsel kulihat sebuah pesan masuk.
{Om..}
Ini siapa lagi ni yang kirim pesan. Lalu kembali sebuah pesan masuk di ponselku.
{Minta nomor WA dong Om.}
{Maaf kamu salah sambung, saya tidk punya ponakan}
{Ini Om-Om yang ngasih aku jam di pantai kemarin siang, kan?}
Ya salam… Dosaku apa?
🌴🌴🌴🌴🌴
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara di mata Bary
Romantiek(Bacaan untuk dewasa) 21+ Baryndra Ahmad Maliki tidak pernah tahu jika dia memiliki sepasang anak kembar setelah menceraikan istrinya belasan tahun silam. Situasi yang tak biasa, di tengah semua masalah yang menghimpit, membuatnya harus meninggalkan...