Bab 17

2.7K 365 0
                                    


Bara di mata Bary 17

 Dinar Astiranindra

Mam, kapan papa meninggal?”
 

“Papa kamu meninggal saat kamu masih dalam kandungan, Nak.”
 
“Mama punya foto papa nggak , Ma?”
 
“Jaman dulu, di Selayar Mama punya fotonya, tapi, gak sempat bawa sejak Mama pindah sama tante Angggun.”
 
“Kok bisa Mama lupa? Bukannya foto nikah biasanya selalau dibawa kalau pindahan kan Mam?”
 
“Din, sekarang kamu belum begitu dewasa buat mama certain. Nanti, kalau kamu udah cukup besar, dan Mama siap, pasti mama cerita, oke?”
 
“Kapan, mam?”
 
“Kalau kamu nggak bikin masalah lagi di sekolah, kamu. Ingat, Dinar, kita hanya hidup berempat, kalau ada apa-apa, Mama tidak akan bisa menolong kalian maksimal, kondisi kita masih sulit,”
 
“Dinar gak bikin masalah Mama, teman sekelas Damar di kelas lima, ngejekin kita anak buruh cuci. Memangnya salah kalau aku balas mereka dengan pukulan?”
 
“Salah sayang. Kamu salah kalau balas orang yang ngejekin kamu dengan pukulan. Buat balas orang-orang itu, cukup dengan kesuksesan kita, bukan dengan kekerasan. Membalas orang seperti itu dengan kekerasan menunjukkan kualitas kita gak beda jauh dengan mereka, sayang.”
 
“Tapi mereka udah keterlaluan, Mam. Ah..andai papa masih hidup mungkin mama tak perlu bangun pagi bersih-bersih dan jadi buruh cuci di rumah orang, Mam.”
 
“Kenapa? Kamu malu?”
 
“Nggak malu Mam, andai kita kaaaayyaaaaaa….kan Mama gak perlu kerja gini, iya kan?”
 
“Dinar, Mama jadi buruh cuci bukan di tempat sembarangan, lo. Lagipula mama hanya bersih-bersih dan jadi buruh cuci, di satu rumah aja. Dan yang utama gajinya empat kali lipat, makanya mama betah. Rumah yang kita tempatin ini butuh renovasi besar, kamu bantu mama berrdoa, biar kuliah mama cepat selesai, dan mama bisa segera cari kerja yang layak, jadi, gak malu-maluin kalian lagi? Oke?
 

Percakapanku dengan mama saat aku masih kelas lima SD, terekam jelas dalam memoriku. Aku punya begitu banyak ingatan tentang betapa susahnya Mama harus bertahan tanpa seorangpun, di sisinya. Mama yang berbeda dengan wanita kebanyakan yang bisa bebas ke sana kemari. Mama yang berbeda dengan wanita kebanyakan karena tak pernah menangis di hadapan kami. Aku hanya ingin Mama mendapatkan kebahagiaanya, mendapatkan semua hasil jerih payahnya karena telah membesarkanku.

Jadi, aku tidak boleh membiarkan pria yang dianggap mati oleh Mama, mendekati kami. Aku tidak akan sudi. Tidak akan pernah mau. Tidak!. 

“Kenapa, Guan? Apa yang ditanyakan Dinar?”
 
“Dinar mulai tanya soal, Papanya, Kak. Dan aku berhasil meyakinkannya.”
 
“Kenapa kamu gak jelasin aja?”
 
“Mereka masih kecil, kak, aku rencananya ingin memilih waktu yang tepat untuk menjelaskan ke mereka.”
 
“Gu, aku punya informasi tentang dia, tentang Baryndra, kamu mau dengar?”
 
“Aku sungguh tidak ingin mendengarnya, lagi kak. Aku sudah cukup bahagia. Aku tidak ingin lagi ada apapun kabar tentangnya, biarlah kabar tentang dia tidak pernah kudengar.”
 
“Baiklah kalau itu keputusan kamu, Gu. Tapi aku hanya kepikiran kedua anakmu, Guan. Yang aku dengar, Baryndra Ahmad Maliki ternyata bukan orang biasa. Dulu setelah kita pergi dia sempat ke….”
 
“Sudahlah, kak, jangan membuatku mengingat dia lagi. Kakak pasti tahu seberapa jauh upaya yang aku lakukan agar bisa bertahan sampai sekarang ini, semenjak kematian Toleran, kakak si kembar. Jadi, aku mohon dengan sangat, ini kali terakhir kak Anggun menyinggung pria itu lagi di hadapanku.”
 

Bara di mata BaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang