Bab 22

2.6K 431 17
                                    

22-

Baryndra

 

Aku menangkap wajah Guan yang  berbaur dengan para tim SAR dan kuduga juga dengan beberapa tim dari kampus mereka. Aku memberi kode pada Ralik agar tidak mengikutiku. Seperti biasa wajahnya tampak seperti orang yang kekurangan oksigen. Aku tidak begitu peduli dengan Ralik. Yang aku pedulikan bagaimana Guan.

Langkahnya terkesan terlalu cepat di mataku. ada apa ini? Mau kemana dia? Sedikit berbelok kuikuti langkahnya sembari berusaha menghindari  tumpukan material yang menggunung dan tak beraturan, kuikuti Guan dengan semangat empat lima. Mengherankan di usia seperti ini, saat beberapa orang yang kukenal sedang menikmati hidup dengan beebrapa anak yang beranjak dewasa, sedang aku? masih memeperjuangkan masa depan. Sungguh tidak ada yang lebih mengerikan ketimbang hal ini. 

Rangka motor yang tinggal separuh hampir saja membuatku jatuh saat mataku menangkap tubuh Guan yang seolah sedang berbicara dengan seseorang. Reaksinya membuatku cemburu dan merasa ingin menggigit apapun yang bisa kugigit. Dadaku cukup bergemuruh, aku masih menantikan pertemuan dengan si lumba-lumba, Bondan, pacar Guan. Kuharap semesta tidak lagi menambah masalah baru padaku.

Samar-sama kudengar suara Guan menyebutkan basecamp. Suara mereka cukup keras hingga dapat dengan mudah sampai di telingaku. Siapa pria setengah bule yang kelihatan akrab sama wanitaku? Langkahku berhenti manakala berhasil mendekati Guan dan menyaksikan langsung sosok pria yang membuatku serasa ingin menggigit lenganku sendiri.

“Basecam mana Guan? Basecamp Malikindo?,” sahutku lantang dan lebih condong ke sisi Guan. Jujur aku bisa menangkap keterkejutan di wajahnya.

“Bukan Pak Baryndra, sore ini kami berencana memasang tenda sebagai posko utama, agar bisa berinteraksi langsung dengan pengungsi. So? Bukan di basecamp Malikindo,” balasnya cepat dan makin sukses menyiram panas bara di hatiku.

“Ah...jadi, siapa pria ini?” ujarku sembari menyodorkan tangan pada pria kembaran Hamis daud ini. Benar-benar malapetaka jika benar seperti yang kupikirkan keadaannya.

“Rajabarat, just Barat,” sahutnya,”Ini, Siapa Gu?” tambahnya lagi. Pria ini menatapku erat. Potongan wajahnya membuatku serasa ingin mencemooh diri sendiri.

Hahahaha menegangkan jika sainganmu bahkan tidak tahu sedang bicara dengan siapa. Aku mantan suaminya, Bung. Mantan Suaminya.

“Dia pemilik basecamp yang kutumpangin kok, Prof, but, realy? Kita bicarain hal lain aja, Aku seperti mimpi liat Prof disini, aku pikir beneran udah gak ada di pulau Sulawesi. Ninggalin pulau sulawesi.”

“Ceritanya panjang, Gu. Bisa sampai di Palu beberapa tahun yang lalu karena ajakan teman juga.”

“So? Apa yang Prof cari di sini?”

“Yah..aku hanya kepikiran kali aja ada barang-barang atau pakaian yang bisa kuselamatkan, jadi, pas ketemu keluarga nanti, gak malu-maluin banget, tapi kamu tampak beda, Gu.”

“Beda? Beda apanya Prof?”

Heloowww aku ada di sini.

“Kamu jadi makin cantik, sejak kali terakhir aku liat kamu. Udah berapa lama ya?”

“Udah mau enam tahun prof, udah lama.”

“Iya pantes aja. Kamu masih di alamat lama?”

“Masih dong Prof, mau kemana lagi?”

“Yah..kali aja, kamu udah pindah, Gu. Eh iya, gimana kabar anak-anak? Si cewek tomboy sama Damar, kabarnya gimana? Udah SMP dong dia ya? Aku lupa sih.”

“Gimana mau pindah Prof, harga tanah dan rumah di Makassar mencekik leher, apalagi daerah perkotaan, bisa renov rumah jadi tiga kamar aja, syukurnya luar biasa, Prof.”

“Terus? Anak-anak Gu?”

“Mereka sehat Prof, malah kapan hari nanyaian kabar Dady Barat, gimana? udah gak ada yang bantuin mereka belajar lagi.”

“Astaga, anak kamu Gu. Kalau ingat dulu, aku sampai bolak balik jaman anak kamu SD.”

“Aduh…Prof, jangan ingatin itu, malu-maluin Prof.”

“Aku kalau ingat itu, gak berhenti ketawa Gu. Kocak banget anak kamu.”

“Sampe sekarang masih gitu dia Prof, padahal aku gak pernah ingat waktu hamilin mereka tergila-gila sama duit, kok segitunya ya?”

“Memang kamu gak tergila-gila sama duit, tapi secara gak langsung, dengan kamu gila kerja, anakmu jadi merasakan dampaknya.”

“Iya juga sih, Prof. Anak-anak kalau kuceritain ketemu sama Dady Barat pasti seneng banget, deh.”

“Eh iya, kapan deh, kalau situasi kondusif, kita jadwalin makan berempat deh.”

Hah? Dady? 

Makan berempat?

Tunggu ada Sesuatu yang gak asing di pembicaraan mereka.

“Ehm dia? siapa Gu?,” kataku cepat memotong pembicaraan. Secara otomatis perhatian Guan langsung tertuju padaku. Entah apa maksudnya. Apakah dia keberatan aku ganggu? Ataukah keberatan dengan intonasi suaraku? Aku tidak peduli sebenarnya.

“Tadi kalian udah kenalan,” ucapnya sepelan mungkin.

“Maksudku kenapa kalian bisa seakrab ini?”

“Ya karena kami kenal lama.”

“Kenal lama sejak kapan?,” tanyaku tanpa menurunkan intonasi suaraku.

“Sejak dulu, Profesor Barat yang membantu dan mempekerjakanku sebagai buruh cuci dan membayarku tiga kali lipat dari biasanya.”

“Eh, Tadi saya belum tahu nama Bapak, saya bicara dengan pak siapa, permisi?”

“Baryndra Ahmad Maliki, panggil saja Bary.”

“Salam kenal Pak Bary, jangan kuatir, saya sama Guan hanya kenalan lama yang kebetulan udah dianggap ayah sama anak-anak Bu Guan,” ucapnya lancar dan tak sedikitpun lepas memandang manik mataku.

Balas menatap pria yang bahkan telah dikenal anak Guan dan memanggilnya dengan sebutan dady seolah menambah ribuan jarum pada hatiku. Sulit menerima jika saat Guan sedang dalam keadaan sulit pria mengerikan inilah yang selalu ada di sampingnya. Dan membantu merawat anak-anaknya? Astaga, pria bejat seperti apa yang sempat kamu nikahi Gu? Hingga tega meninggalkan kamu dengan dua anak-anakmu? Aku jadi menyesal telah membohongimu tadi, bahwa aku pernah mengurus pernikahan kita secara resmi di catatan sipil. 

Ah ini lebih dari sekedar masalah. Ibarat bencana, kehadiaran si Rajabarat margasatwa ini menambah daftar panjang rintanganku. Ya Tuhan, Guan, apa yang harus kulakukan padamu? Apa?

Bara di mata BaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang