21
Damar Algranendra
Baru kali ini, seumur-umur kulihat makhluk mata duitan kenamaan Dinar jadi pendiam. Entah apa yang membuatnya jadi seperti ini. Makhluk jadi-jadian sepertia dia, meski kami lahir dari Rahim yang sama, selama hampir enam belas tahun kehidupanku, baru kali ini ia jadi seaneh ini.
“Nar, coba jelasin kamu kenapa sebenarnya? Dan, kenapa kamu kabur sewaktu kakek-kakek itu mau ngomong makasih sama kita? Gak ada sopan-sopannya sikap kamu.”
Kali ini ucapanku sukses menarik perhatiannya saat kami sampai di rumah.
“Kamu tidak tahu apapun, Mar. mending jangan ikut campur deh. Urusin aja ulangan harian atau PR-mu, kalau udah selesai baru kasih aku contekan.”
“Pore-mu (enak aja) giliran PR cepatr mau nyontek. Ogah Nar. Kerjain sendiri. Oke?”
“Up to you Mar aku mau masuk kamar, gak usah ganggu kecuali makan malam.”
“Ih, gak mandi? Tante Anggun datang, pintumu di gedor-gedor lo Nar, aku gak tanggung jawab.”
“Tante Anggun gak bakalan tahu, asal mulutmu gak bocor, ingat aja rahasiamu kupegang.”
“Gak fair, rahasiaku hanya satu dan kamu pake buat nutupin ratusan rahasiamu, ruginya di aku,” dengusku tak adil.
“Itu masalahmu, Mar. Ini nandain, otakmu boleh encer, pinter dalam segala hal, tapi, soal strategi kamu masih kalah telak dari aku.”
“Iya iya. Nah, terus tadi, gimana? Kenapa kamu maen nendang hajar? Kamu gak takut kalau genk mereka bikin keributan?”
“Takut sih. Kan ada kamu.”
“Hah? Aku? gila kamu, Nar.”
“Terus, fungsimu apa? Masa hanya melerai doang. Laen kali kalau liat aku jadi pahlawan, ya kamu bantuin dong, bukan kalut tanpa bikin apa-apa.”
“Intinya, aku, gak mau ikut campur urusan kenakalan kamu lagi, Nar. Atau sembunyiin dari Mama.”
“Terserah, intinya aku capek. Mau masuk kamar. kalau tante Anggun tanyain, bilang aku sibuk, oke?,” kata Dinar, lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya.
“Heh. Dasar makhluk astral!”
Dinar Astiranindra
Defenisi gila sesungguhnya mungkin bisa disematkan pada tingkahku barusan. Sungguh aku tidak bisa memikirkan jawaban yang pas buat menjelaskan tingkahku karena membela Pak Tua itu. Aku sungguh sulit menjabarkn semua pertanyaan yang berputar di kepalaku. Ya wajar sih, skala otakku dalam meramu masalah memang dibawah rata-rata. Beda sama damar.
Aku masih ingat bagaimana tatapan dan senyum kakek itu saat menatapku dan Damar. Aku juga tidak tahu apa yang dia inginkan setelah melihat kami. Dan aku pusing dengan semua hal yang baru saja kuhadapi.
Kemarin aku menghabiskan waktu mencari semua hal tentang keluarga pria itu. Semua tentang dia. Ajaibnya, selain tentang perusahaan, tidak ada apapun informasi tentang pria yang pernah kutemui di selayar beberapa hari yang lalu menjadi sorotan. Kecuali tentang si kakek tua itu. Yang pernah masuk daftar lima puluh konglomerat terkaya se Asia versi sebuah majalah. Dan yang paling membuatku terperangah jika keluarga mereka adalah pemilik salah satu provider terbesarn di Indonesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara di mata Bary
Storie d'amore(Bacaan untuk dewasa) 21+ Baryndra Ahmad Maliki tidak pernah tahu jika dia memiliki sepasang anak kembar setelah menceraikan istrinya belasan tahun silam. Situasi yang tak biasa, di tengah semua masalah yang menghimpit, membuatnya harus meninggalkan...