Bab 9

3K 476 16
                                    

Raguan Mindra Rysdad

Aku shok dengan intensitas yang sangat sulit kujelaskan. Sejak tadi aku menyadari Kusya melihatku dengan ekspresinya yang aneh. Aku..aku tidak bisa berkata banyak sekarang. Tidak bisa jika pengaruh pria itu masih bisa membuat irama jantung berdetak lebih cepat.

Itu dia pria bermata Biru yang dulu tega meninggalkanku dalam keadaan setengah hidup. Pria yang kuharap bisa bersamaku menjelaskan dan bercerita peristiwa naas yang baru saja kualami ternyata lebih pecundang dari pada yang kupikirkan.

Tidak.

Semuanya sudah selesai di antara kami belasan tahun silam. Tak ada lagi yang tersisa untuk dibicarakan. Jika kali ini kami bertemu, aku harus memastikan semuanya selesai disini.

“Guan, ekpresimu aneh banget hari ini. Nggak seperti biasanya. Kenapa sih?”

“Bukan hal penting, Sya. Tiba-tiba aja badanku gak enak habis liat situasi tadi.”

“Yakin kamu gak papa? Soalnya kita masih mau keliling nih sebelum gabung ke posko pak brewok anteng tadi, itu.”

Aku mengeluh lalu menutup mata frustasi. Sungguh aku tidak ingin lagi mengaitkan hidup dengan pria itu. Apalagi berniat mencari tahu keadaan yang sebenarnya. Atau kenapa dia bisa sukses seperti sekarang ini.

“Gak papa. Aku hanya keberatan kita ikut bersama tim dari pria yang kamu gilai itu, Sya. Mending kita cari tempat lain deh.”

“Realistis Bu Guan. Itu tuh bisa lakuin kalau banyak persediaan, atau toko yang buka. Pom bensin berfungsi. Nah ini? Suasananya bahkan udah mau gelap nih, jadi kita kemana dulu nih?”

“Jalan aja, kita ke Zona likuifaksi, jaraknya lumayan dekat dari sini. Hanya dua puluh menit. Mungkin saja kita menemukan sesuatu di sana,” kataku, sedikit mengeraskan suara agar mereka mendengar ucapanku.

Jalan jalan yang kami lalui bergelombang. Menunjukkan  parahnya kerusakan yang diakibatkan bencana ini. Atas arahan beberapa warga yang mengemukakan pusat kerusakan terbesar juga ada di tengah kota, kami melaju menuju titik lokasi.

Awalnya kami melenggang bebas sebelum melewati jalanan yang miring dua puluh derajat. Jalan yang semula lurus menjadi retak dan terlihat terpisah. Kabel listrik banyak membentang di jalanan. Beberapa dari kami turun untuk menciptakan jalan agar bisa melewati kerusakan itu. Tampak kondisi Masjid hancur dan tidak bisa di selamtkan. Anehnya hanya beberapa bagian saja yang seperti itu. Saat kami melanjutkan perjalanan beberapa rumah terlihat utuh tanpa kerusakan. Setelah berekendara kurang lebih lima belas menit lagi, akhirnya kami sampai di titik lokasi. Beberapa orang juga tampak memiliki tujuan yang sama denganku, berjalan menuju titik kerusakan sesuai dengan yang di instruksikan pengarah jalan tadi bersama beberapa penyelamat dari BASARNAS. Aku menegur dan memperkenalkan diriku dan menanyai mereka tentang hal spesifik kondisi di lapangan.

Rombongan meninggalkan mobil seperti beberapa pengunjung lainnya, Kami berjalan sejauh lima puluh meter sebelum menemukan tumpukan rumah yang kondisinya seratus kali lebih mengerikan ketimbang situasi jalanan yang tadi kami lewati.

“Astaga? Ini kenapa? Kalau gempa tanah gak bakal naik gini kan? terus itu kecampur gitu tumpukannya, gimana ceritanya?” histeria Kusya cukup menggangguku. Wajar jika di hadapan kami terbentang  berpuluh hektar luasnya tumpukan material banguan rumah dan beberapa lumpur dan bekas bangunan yang terbakar. Bahkan masih ada sisa asap.

Bara di mata BaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang