Prolog

961 162 304
                                    

Seorang gadis bernama Florency sedang duduk di kamar, menikmati waktu santainya setelah lulus SMP. Ia merasa lega bisa melepaskan diri dari rutinitas belajar dan tugas-tugas sekolah yang penuh tekanan.

Dengan ponsel di tangan, ia membuka berbagai aplikasi, menyisir media sosial, dan menikmati kebebasannya. Pikirannya melayang sejenak, merasakan betapa bebasnya hidup tanpa ujian atau tugas-tugas yang menumpuk. Namun, kenyamanan itu tiba-tiba terhenti ketika Bunda masuk ke kamar dengan ekspresi serius.

Tiba-tiba aja, Bunda masuk ke kamar Florency dan menghampiri anak gadisnya sambil membawa ponsel. "Kak, jumat depan nya kamu tes yaa jadi belajar dari sekarang." Sambil duduk di sebelah Florency. Tangannya masih memegang ponsel, seolah tidak ada yang aneh dengan pembicaraan mereka.

Florency yang sedang asyik dengan ponselnya langsung menatap Bunda dengan wajah bingung. "Lah jumat depan? Ujian? emang ujian Apaan?"  Sambil mengernyitkan dahi, melepaskan ponselnya dan berusaha memikirkan ujian apa yang dimaksud.

Bunda tidak langsung menjawab, malah tampak asyik dengan pesan yang masuk di ponselnya. Florency menggaruk kepala, bingung. "Apa, ya? Ujian apa? Ujian apaan ya? Kan mau masuk negeri. Emang dinegeri ada ujian?" Pikirnya dalam hati, berusaha mencari kaitan dengan sesuatu yang ia ketahui.

Tidak ada ujian besar atau tes penting yang ia ingat. Ia mulai bertanya-tanya apakah ini tentang ujian sekolah, tetapi yang membuatnya bingung adalah, "Kenapa harus ujian di sekolah?"

Ia berpikir secara keras, dia mencerna apa yang dimaksud topik pembicaraan Bunda. Seketika muncul terlintas pikiran kalau Bunda masukin ke swasta makanya bisa ada ujian. Ia teringat tentang rencananya untuk masuk sekolah negeri, tetapi ia merasa Bunda tidak pernah berbicara tentang ujian semacam itu sebelumnya. "Apa jangan-jangan Bunda daftarinnya ke sekolah swasta? Tapi masa tanpa bilang apa-apa? Btw sekolah swasta mana ya?" Ia sama sekali tidak tahu.

Bunda akhirnya menatap Florency dan kembali berbicara, "Iya, ujian. Kamu harus belajar, buat persiapan ujian itu." Sambil sedikit menatap layar ponsel, terlihat sibuk dengan pesan yang sedang dibacanya. "Kamu hafalin surat Al-Ikhlas, ya. Bahasa Arabnya, terjemahannya, semuanya."

Florency benar-benar terdiam. "Hafalin surat Al-Ikhlas?" pikirnya bingung. Surat itu? Kenapa harus hafal itu? Apa hubungan dengan ujian? Ia memandangi Bunda dengan ekspresi bingung.

"Kenapa Bunda menyuruh hafal surat itu? Ada ujian apa sih sebenarnya?" pikirnya, tidak bisa menghubungkan kata-kata Bunda dengan apa yang ada dalam pikirannya.

Florency masih terdiam, pikirannya masih tidak konek. Ia masih mencerna ucapan Bunda. Dan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ada dipikiran Florency. "Tes? Belajar Tes? Kenapa mesti ada Tes? Dinegeri ada Tes kah? Apa Tes diswasta? Swasta mana yang Bunda masukin?"

"Dengerin kata Bunda, kamu hafalin tuh lafal bahasa arab surat al ikhlas beserta artinya!" celetuk Bunda nya lagi untuk mengingatkan Florency.

Melihat ekspresi kosong di wajah Florency, Bunda mulai mengerti bahwa anaknya belum memahami apa yang dimaksud.

"Tes apa sih? Kenapa hafalin lafal bahasa arabnya? Terus hafalin terjemahnya lagi. Itu pasti ditulis ya?" tanya Florency yang menanyakan kenapa harus hafalin yang diucapin Bunda.

"Dengerin Bunda, ya. Hafalin surat Al-Ikhlas, lafaz bahasa Arabnya, dan terjemahannya. Itu harus ditulis, seperti kaligrafi," jelas Bunda dengan nada yang lebih tegas. Bunda kini menoleh ke arah Florency, mencoba memastikan kalau anaknya mendengarkan yang berjalan duduk untuk nyender dikasur Florency dan masih setia membaca pesan diponsel.

Florency merasa seperti terjebak dalam kebingungannya yang semakin dalam.

"Sekolah mana yang akan aku tes, Bund?" tanyanya yang sudah menggeserkan diri untuk Bunda duduk dan sekarang berada disamping Bunda.

"Sekolah High School islami!"

Seluruh badan dan tubuh Florency membeku dan mematung diri saat Bunda menyebutkan sekolah High School Islami. Wajahnya sangat syok dan tubuhnya gemeteran sekali saat mendengarnya.

SEKOLAH HIGH SCHOOL ISLAMI????

Begitu nama "High School Islami" keluar dari mulut Bunda, seluruh tubuh Florency seperti membeku. Wajahnya pucat, matanya melebar, dan tubuhnya gemetar. Semua yang ia rasakan saat itu adalah kejutan dan kebingungannya yang tak bisa diajelaskan. 

"Sekolah High School Islami?" pikirnya dalam hati. Apa maksud Bunda mendaftarkanku ke sana tanpa memberi tahu? Jantungnya berdetak kencang, pikirannya kacau. 

Sekolah itu sekolah yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi pilihannya, tiba-tiba saja terbersit begitu saja dalam percakapan ini.

Florency merasa seperti terhempas ke dalam ruang yang penuh pertanyaan yang tak terjawab. "Kenapa Bunda tidak memberitahuku lebih dulu?" pikirnya, rasa terkejut dan bingung semakin mencekamnya. Sebuah ketakutan muncul apakah ia akan cocok dengan sekolah yang, sangat berbeda dengan apa yang ia bayangkan?

Bunda tidak memperhatikan perubahan ekspresi Florency. Dia tampaknya masih sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari betapa besar dampak perkataannya terhadap anak gadisnya.

Florency hanya bisa menatap kosong ke depan, pikiran dan perasaannya berputar-putar. Sekolah High School Islami? Nama itu terus bergema dalam pikirannya, tetapi tidak ada yang bisa dia pahami dengan jelas. Semua perasaan campur aduk itu mengalir dalam dirinya tanpa bisa ia kendalikan.

Bersambung....

Masa SMA FlorencyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang