24. Kekeh Bunda

12 5 1
                                    

Keesokan harinya, tepat tanggal 12 Juli 2019, siang itu Budeh datang ke rumah untuk bertemu keluarga. Hanya Abi yang tidak ada karena sedang bekerja. Sementara Bunda, Adik, dan Budeh sedang berkumpul di ruang tamu, menikmati waktu bersama sambil menonton televisi, Ency sedang di kamar tengah, asyik memainkan ponselnya seorang diri.

Budeh pun bertanya pada Bunda. "Anak lo lanjut kemana?"

"Lanjut ke SMA," jawab Bunda.

"Negeri apa swasta?" tanya Budeh lagi.

"Swasta, tapi di sekolah keagamaan," jawab Bunda dengan tenang.

"Ah, sekolah agama? Anakmu sanggup nggak?" Budeh terkejut, bertanya dengan nada tegas.

Bunda terdiam, sepertinya sedang berpikir alasan di balik keputusannya. "Sanggup. Biar dia bisa mendalami agama Islamnya."

"Biasanya, gak pernah tuh masukin anak ke sekolah agama. Tumben banget!" Budeh menegur Bunda dengan nada sedikit keras.

Bunda hanya diam, tampak sedang mencari alasan yang tepat. "Gak tahu, kepikiran aja masukin Ency ke sekolah agama itu."

"Di mana?" tanya Budeh penasaran.

"Di Islami School," jawab Bunda.

"Kenapa bisa kepikiran masukin Ency ke situ? Emang udah cari tahu gimana kelakuan siswanya di sana?" tanya Budeh lagi, tampak cemas.

"Belum sih, tapi feeling gua selalu pengen Ency masuk ke sekolah itu. Gua juga gak tahu kenapa," jawab Bunda dengan nada ragu.

Budeh semakin kesal. "Gimana sih lo! Awas aja kalau Ency kenapa-kenapa di sekolah itu. Awas aja kalau Ency gak bahagia di sana!" Budeh mengingatkan Bunda dengan suara meninggi.

Bunda terdiam, sepertinya berpikir untuk meredakan situasi. Budeh memang kakak perempuan pertama Bunda, dan mereka berdua sangat dekat, seperti sahabat, meskipun sebenarnya mereka kakak beradik.

"Insya Allah, jangan khawatir. Gua cuma ikut feeling aja. Kalau Ency masuk sekolah negeri, Gua gak yakin banget, takut terjadi sesuatu," jawab Bunda, mencoba meyakinkan.

Dari luar kamar, Ency mendengarkan semua pembicaraan tersebut. Suara Budeh memang cukup keras, jadi tak sulit untuk Ency menangkap pembicaraan mereka.

"Jadi penasaran deh, kenapa Bunda milih sekolah itu. Kok jawabannya selalu 'ikutin feeling'? Apa sih yang sebenarnya Bunda rasakan tentang sekolah itu?" gumam Ency dalam hati.

"Dan kecurigaan aku nih, mungkin Bunda pengen aku bisa lebih deket sama Jordan. Rasanya ini yang paling kuat," lanjut Ency sambil terkekeh pelan.

"Awas aja, Bunda. Kalau itu sih, gak akan aku kabulin," pikir Ency sambil kembali fokus pada ponselnya.

"Makasi banget, Budeh. Aku senang banget ada kamu di sini," gumam Ency, merasa bersyukur punya Budeh yang selalu mendukungnya. Kemudian ia kembali asyik memainkan ponselnya, melupakan obrolan tadi.

Di sore hari, Bunda pamit pulang jam 15.30 WIB kepada Ency dan ibunya. Saat jam 16.00 WIB, Bunda sedang main laptop dan mengetik sesuatu di kamarnya, sedangkan sekarang Florency berada di ruang tamu menonton televisi.

Saat menonton, pikiran Florency terganggu oleh kesibukan Bunda di kamarnya.

"Bunda ngapain ya buka laptop? Urusin kerjaan atau lagi apa sih?" gumamnya. Ia pun langsung pergi ke kamar dan menanyakannya.

"Bunda lagi apa?" tanyanya sambil duduk di samping Bunda dan melirik isi laptopnya.

Ternyata, Bunda sedang melihat nama-nama anak yang bersekolah di SMA 70 Negeri. Nama Raka Aditya Purnama muncul di layar. Raka adalah murid kesayangan Bunda setelah Jordan.

"Lagi lihat nama Raka di SMA 70," jawab Bunda tanpa mengalihkan pandangan dari laptop. Tiba-tiba, Bunda kebelet pipis dan pergi ke kamar mandi, meninggalkan laptopnya.

Saat Bunda pergi, Florency mengambil alih laptop tersebut dan mulai menggulirkan daftar nama-nama di SMA 70.

Betapa kagetnya ia melihat namanya ada di daftar itu. "Ada namaku di sini? Bunda masukin aku ke SMA 70, tapi kenapa gak bilang ke aku?" Pikirannya sekarang mulai kacau. Banyak sekali pertanyaan yang ingin ia lontarkan kepada Bunda.

Tak lama kemudian, Bunda kembali dari kamar mandi dan dengan sigap merebut laptopnya dari Florency.

"Jangan otak-atik, Kak!" tegur Bunda dengan ekspresi kaget sambil memegang laptopnya. Ia pun melanjutkan melihat daftar sekolah lain.

"Bunda kenapa gak bilang aku kalau udah daftar di 70?" tanya Florency langsung tanpa basa-basi.

"Sengaja, Bunda cuma pengen kamu masuk ke Islami School aja. Ini Bunda cuma iseng aja masukin kamu ke SMA 70," jawab Bunda santai.

"Bunda daftar ke mana lagi selain SMA 70?"

"Ke SMK 6 dan SMA 82. Dari ketiga itu, namamu selalu berada di peringkat yang sama. Di SMA 70, namamu stay di urutan 170 dari 200 yang daftar," jelas Bunda.

"Tapi, walaupun kamu masuk negeri itu, Bunda tetap yakin kamu harus sekolah di Islami School!"

"Loh kenapa? Kan aku masuk tuh ke negeri, ngapain lanjut lagi di Islami School."

"Ini nih yang Bunda sengaja gak kasih tau kamu. Bunda cuma pengen kamu lanjut di Islami School!"

"Gak mau, aku mau di negeri aja, Bun!"

"Gak bisa! Kamu tetap sekolah di Islami School. Biar Raka aja yang di SMA 70. Bunda udah kasih tau kok ke Raka, kalau kamu jadinya di Islami School, bukan di SMA 70," tegas Bunda.

Florency hanya terdiam mendengar ucapan Bunda. Mau mengelak bagaimanapun, keputusan Bunda tetap kokoh.

"Kenapa gak satu sekolah aja sama Raka? Kan Bunda jadi gak khawatir soal aku," tanyanya sambil mencari solusi.

"Tadinya begitu, tapi Bunda tetap pengen kamu di Islami School!"

"Sial, susah banget sih buka hatinya Bunda," batin Florency. Ia pun kembali ke ruang tamu untuk menonton televisi lagi. Namun, pikirannya kini makin kacau setelah mengobrol dengan Bunda.

Bersambung...

Masa SMA FlorencyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang